Benarkah Houthi Berlakukan Pungutan Liar di Laut Merah?
Dikabarkan, perusahaan pelayaran internasional membayar biaya keamanan kepada kelompok pemberontak Houthi di Yaman sebesar USD 180 juta atau sekitar Rp 2,8 triliun setiap bulan. Benarkah demikian?
Sebuah panel ahli Perserikatan Bangsa-Bangsa, PBB, yang didirikan untuk memantau evolusi militer Houthi berpandangan demikian. Dalam sebuah laporan untuk Dewan Keamanan PBB pada bulan Oktober, para ahli menulis bahwa Houthi mulai mengenakan biaya kepada kapal-kapal yang melewati garis pantai Yaman sebesar jutaan dolar untuk jaminan bahwa mereka tidak akan diserang.
Houthi telah memblokade lalu lintas maritim di lepas pantai Yaman sejak November tahun lalu. Kelompok pemberontak yang menguasai sebagian besar Yaman utaran itu mengklaim serangannya demi mendukung Palestina dan untuk melawan Israel dan AS, yang mereka anggap sebagai musuh.
"Houthi diduga memungut biaya ilegal dari beberapa agen pelayaran untuk memungkinkan kapal mereka berlayar melalui Laut Merah dan Teluk Aden tanpa diserang," kata laporan PBB, mengutip sumber anonim. "Sumber tersebut memperkirakan pendapatan Houthi dari biaya transit aman ilegal ini sekitar USD 180 juta per bulan."
Uang ini ditransfer ke Houthi melalui jaringan transfer uang informal yang dikenal sebagai "hawala," lanjut laporan tersebut.
Jumlah uang ini dapat bertambah hingga sekitar USD 2,2 miliar per tahun dan akan menjadi salah satu aliran pendapatan terbesar Houthi. Pungutan ini mungkin juga memberi kelompok tersebut insentif finansial untuk melanjutkan serangan mereka, apa pun yang terjadi di Gaza dan Lebanon, kata pengamat.
Namun, seperti yang juga diakui para ahli PBB, tidak ada cara memverifikasi informasi tersebut secara independen.
Pakar keamanan dan asuransi maritim sebaliknya meragukan keabsahan dugaan adanya skema pungutan liar oleh Houthi untuk menyediakan "lintasan aman".
Angka-angkanya tidak sesuai, kata Stephen Askins, seorang pengacara di sebuah firma hukum Inggris, Tatham & Co., yang fokus pada pembajakan dan terorisme maritim.
"Jika Anda mulai menghitung dan melihat jumlah kapal yang berisiko dibajak, maka Anda hanya akan mendapati segelintir kapal yang mungkin harus membayar," katanya kepada DW, seraya mencatat bahwa sebagian besar kapal yang sekarang melewati Yaman tidak melayani kepentingan Israel atau AS, melainkan negara seperti Rusia dan China yang umumnya tidak menjadi sasaran Houthi.
"Tentu saja tidak dapat dikesampingkan bahwa mungkin ada beberapa perusahaan pelayaran yang memilih untuk membayar lintasan aman," tegas Lars Jensen, kepala firma intelijen pelayaran Denmark, Vespucci Maritime. "Tetapi jumlah yang disebutkan tampaknya tidak realistis."
Jensen mencatat bahwa laporan PBB tahun 2013 memperkirakan bahwa bajak laut Somalia berpotensi menghasilkan hingga USD 413 juta selama tujuh tahun. "Dari perspektif ini saja, anggapan bahwa Houthi menghasilkan USD 180 juta per bulan tampaknya sama sekali tidak sesuai dengan kenyataan," katanya kepada DW.
Askins juga berpikir gagasan bahwa sistem hawala digunakan untuk mengirim jutaan dolar ke Yaman tampaknya tidak mungkin.
"Hanya sekali saya mendengar, seperti bisikan di angin, bahwa sebuah perusahaan keamanan menyarankan bahwa uang tunai dapat diserahkan di laut, di ujung utara Laut Merah," tulisnya dalam sebuah posting di LinkedIn minggu ini.
Ada preseden untuk ini, di masa lalu perusahaan biasa membayar bajak laut Somalia dengan menjatuhkan koper berisi uang tunai dari helikopter. Tetapi sistem hawala tidak bekerja seperti itu.
Memang ada sejumlah bukti yang mendukung klaim bahwa perusahaan pelayaran bernegosiasi dengan Houthi, tetapi tidak seperti yang diklaim dalam laporan PBB, menurut para pakar.
Klaim pungutan liar oleh Houthi pertama kali dipublikasikan pada bulan Februari tahun ini oleh sebuah organisasi Yaman bernama Sheba Intelligence, yang menulis bahwa pemilik kapal membayar Houthi antara USD 500 ribu hingga 1 juta untuk perjalanan yang aman. Biaya tersebut masih lebih murah daripada biaya rute yang lebih panjang dan lebih mahal untuk menghindari ancaman Houthi di Laut Merah.
Sheba Intelligence, yang menyatakan diri sebagai outlet investigasi sumber terbuka namun tidak memiliki situs web, tidak memberikan bukti apa pun atas klaimnya dan tidak menanggapi pertanyaan DW.
Motif politik juga bisa berperan. Setelah satu dekade perang saudara, Yaman terbagi dua, antara Houthi di utara, dan pemerintahan yang diakui secara internasional serta berpusat di pelabuhan selatan Aden.
Yang jelas adalah bahwa Houthi berhubungan dengan perusahaan pelayaran melalui apa yang mereka sebut Pusat Koordinasi Operasi Kemanusiaan, atau HOCC. Lembaga ini didirikan pada bulan Februari dan seharusnya mengurangi dampak perang terhadap warga sipil dan "mematuhi ajaran Islam dan menghormati hukum humaniter internasional."
HOCC dijalankan oleh Ahmed Hamed, yang juga mengendalikan organisasi yang mengawasi bantuan kemanusiaan yang masuk ke wilayah Yaman yang dikuasai Houthi. Menurut lembaga pemikir Yaman, Sanaa Center for Strategic Studies, Hamed memiliki rekam jejak "pemerasan," termasuk pengalihan dana dari lembaga kesejahteraan pemuda, olahraga, pensiun, dan keagamaan setempat.
Sangat masuk akal bahwa Houthi dapat menggunakan HOCC sebagai "mekanisme mencari keuntungan," Mohammed Albasha, pendiri Basha Report, konsultan berbasis di AS yang mengkhususkan diri di Timur Tengah dan Yaman, mengatakan kepada DW. Melalui berbagai komunikasinya dengan perusahaan pelayaran, HOCC bahkan mungkin telah mengembangkan "basis target," tambahnya.
"Saya tidak memiliki informasi konkret untuk mendukungnya, tetapi saya tidak akan terkejut jika mereka memang mulai menghasilkan pendapatan dari pos pemeriksaan virtual," saran Albasha.
"Dalam skenario ini, HOCC mungkin awalnya mengenakan biaya pendaftaran kepada kapal dan kemudian meminta pembayaran untuk perjalanan yang aman," jelasnya.
"Preseden untuk hal ini dapat dilihat pada awal tahun 2010-an, ketika perusahaan-perusahaan yang terkait dengan pejabat militer dan keamanan Yaman bekerja sama dengan broker keamanan maritim untuk menyewa kapal perang dan pelaut Yaman sebagai pengawal pribadi bagi [kapal-kapal] yang melintasi Teluk Aden yang dilanda pembajakan, dengan biaya mencapai hingga USD 55.000 per kapal, per perjalanan."
Albasha juga meragukan angka USD 2,2 miliar per tahun. "Klaim itu tampaknya sulit untuk diselaraskan," katanya.
"Sebagai konteks, pendapatan Terusan Suez turun 64,3 persen pada Mei 2024, turun menjadi USD 337,8 juta dari USD 648 juta pada Mei 2023. Angka tersebut menegaskan bahwa sulit untuk mempercayai klaim bahwa Houthi, yang tidak mengendalikan terusan atau mendominasi seluruh pantai Laut Merah, memperoleh hampir USD 200 juta per bulan di wilayah yang aktivitas pengirimannya telah berkurang setengahnya."
Diadaptasi dari artikel DW berbahasa Inggris