Benteng PKS di Depok Runtuh!

Benteng PKS di Depok Runtuh!

KOTA Depok yang selama ini terkenal sebagai benteng PKS akhirnya runtuh pada Pilkada serentak 2024.

KPU Kota Depok pada Senin, 2 Desember 2024, mengumumkan dan sekaligus menetapkan pasangan Wali Kota dan Wakil Wali Kota Kota Depok, Supian Suri dan Candra Rahmansyah meraih 451.785 suara.

Sementara pasangan Imam Budi Hartono-Ririn Farabi Arrafiq meraih 396.863 suara.

 

Dengan membaca rekapitulasi dari KPU Kota Depok diputuskan bahwa pasangan Supian Suri - Candra memenangkan Pilkada Serentak Kota Depok 2024.

Kemenangan Supian-Candra menggambarkan dinamika elektoral dalam preferensi politik masyarakat Kota Depok akhirnya bisa berubah.

Perilaku pemilih warga Depok yang selama sekitar 20 tahun konsisten dengan calon PKS, pada akhirnya runtuh pada Pilkada serentak 2024.

PKS telah lama menjadi kekuatan politik yang powerfull di Depok tanpa terkalahkan, dengan mengandalkan basis massa tradisional yang solid.

Sejak awal 2000-an, PKS sukses menempatkan kandidat atau kader terbaiknya Nur Mahmudi Ismail hingga Mohammad Idris melalui pendekatan berbasis agama, kedekatan dengan masyarakat, serta program sosial.

Kekalahan jagoan PKS dalam Pilkada Kota Depok 2024, dapat dianalisis pada beberapa faktor kunci yang merepresentasikan dinamika politik di Kota Depok.

Pertama, kinerja calon petahana dianggap kurang memuaskan warga Depok. Sebagai petahana, Imam Budi Hartono (Wakil Wali Kota) secara langsung memperoleh evaluasi dari warga Depok atas kinerjanya yang dianggap kurang memuaskan bagi warga Depok.

Menurut hasil survei Pusat Kajian Politik (Puskapol) Universitas Indonesia pada 5 November 2024, tingkat kepuasan warga Depok terhadap kinerja Mohammad Idris dan Imam mencapai 58 persen.

Meskipun kepuasan 58 persen tergolong positif, dalam konteks politik elektoral, angka tersebut belum cukup memberikan rasa aman dalam kontestasi. Pasalnya, tingkat kepuasan saja tidak selalu berbanding lurus dengan elektabilitas.

Pemilih mungkin puas terhadap beberapa aspek kinerja petahana, tetapi tetap memilih alternatif jika mereka merasa calon lain menawarkan perubahan dan harapan baru.

Kedua, Kota Depok dianggap kurang progresif dalam menangani pembangunan insfrastruktur. Selama lebih dari dua dekade kepemimpinan wali kota dan wakil wali kota yang diusung PKS, pemerataan akses transportasi yang nyaman dan layak masih belum terwujud, sehingga meninggalkan tantangan besar bagi warga Depok dalam mobilitas sehari-hari.

Banyak warga yang mulai mempertanyakan kinerja pemerintahan sebelumnya, terutama dalam menangani isu-isu strategis seperti kemacetan, banjir, layanan publik, dan tata kelola perkotaan.

Ketiga, pasangan Supian-Candra sesungguhnya diuntungkan dengan situasi dan kondisi Kota Depok yang dianggap tidak sigap dalam menangani masalah-masalah Kota Depok.

Jadi bukan berarti Supian-Candra memiliki reputasi kuat, melainkan keduanya diuntungkan oleh kejenuhan warga Depok terhadap kepemimpinan rezim berkuasa saat ini.

Hal ini menggambarkan bahwa kemenangan Supian-Candra lebih merupakan manifestasi dari keinginan masyarakat Depok akan perubahan dibandingkan dengan kekuatan personal atau kekuatan partai Politik.

Kejenuhan terhadap kepemimpinan yang dianggap kurang responsif dalam menangani masalah-masalah seperti banjir, tata Kelola sampah, dan pemerataan insfrastruktur menjadi katalisator bagi warga Depok untuk menjadi anti-tesis dari rezim berkuasa.

Dari ketiga alasan penting tersebut pada akhirnya menjadikan demografi perilaku pemilih di Depok mengalami perubahan secara signifikan, terutama jumlah warga muda, urban, dan profesional yang memiliki kecenderungan menggunakan keputusan politiknya berdasarkan program kerja daripada afiliasi ideologis dan identifikasi partai.

Kelompok ini cukup kritis dan pragmatis, sehingga pendekatan berbasis ideologis agama yang selama ini menjadi andalan PKS mulai pudar dan kehilangan daya tariknya.

Ada indikasi bahwa PKS menghadapi tantangan internal, termasuk dinamika perbedaan pandangan di internal yang melemahkan soliditas partai.

Penyebab lain melemahnya dominasi PKS, yakni keputusan partai yang tidak lagi mendukung Anies Baswedan dalam kontestasi Pilkada Jakarta.

Keputusan ini dinilai blunder dan memiliki konsekuensi negatif bagi pasangan calon yang diusung PKS, terutama di Kota Depok.

Mengingat figur Anies masih kuat pasca-Pilpres 2024 dan jika diusung masih berpotensi memenangkan dalam kontestasi.

Kehilangan dukungan terhadap Anies di Pilkada Jakarta, misalnya, bisa dimaknai menjadi kerugian strategis bagi PKS. Anies masih menjadi magnet elektoral yang mampu meningkatkan elektabilitas dalam Pilkada, termasuk pasangan calon di daerah-daerah terutama di Depok.

Kondisi dan situasi ini menjadi celah bagi lawan PKS untuk menguatkan mereka. Partai-partai mulai menyasar basis suara yang sebelumnya menjadi lumbung elektoral PKS, dengan memanfaatkan ketidakpuasan sebagian pemilih.

Selain itu, dinamika politik elektoral juga semakin terbuka lebar untuk mencari alternatif baru yang menawarkan “perubahan” sesuai dengan harapan masyarakat Depok.

Hal ini menunjukkan bahwa loyalitas warga Depok yang selama ini solid dan konsisten untuk PKS, kini semakin cair, terbuka, dan dinamis.

Dengan demikian, Depok tidak lagi menjadi benteng PKS, melainkan wilayah yang kian terbuka dan kompetitif.

Pergeseran perilaku pemilih ini menandai era baru dalam pilkada Depok 2024, di mana loyalitas pada institusi politik, tidak lagi menjadi penentu utama yang bisa diandalkan, melainkan kualitas dan kekuatan figur serta program kerja yang ditawarkan menjadi kunci utama kemenangan kontestasi.

Sementara itu, di tingkat nasional, kebijakan PKS bergabung dengan koalisi pendukung Prabowo Subianto juga dianggap blunder dan kurang tepat.

Sebelumnya, PKS mengusung jargon “Perubahan” pada Pilpres 2024. Namun pasca-Pemilu, PKS justru memutuskan bergabung dengan pemerintahan.

Ironinya lagi, meskipun menjadi bagian kekuatan koalisi Prabowo, tidak ada kader PKS di kabinet Merah Putih. Hal ini memunculkan persepsi internal PKS bahwa langkah tersebut sama sekali tidak menguntungkan partai sebagai institusi politik.

Keputusan ini juga memberikan konsekuensi pada citra politik PKS di mata pendukungnya. Basis pemilih tradisional PKS memiliki jarak dengan kebijakan petinggi partai.

Hal ini tidak hanya melemahkan politik PKS di tingkat nasional saja, tetapi juga meruntuhkan loyalitas pemilih PKS pada Pilkada Kota Depok, kemudian bergeser ke alternatif calon lain yang dianggap sejalan dengan aspirasi perubahan.

Sumber