Beratnya Perjuangan Para Bidan di Daerah Terpencil Alas Sumbawa...

Beratnya Perjuangan Para Bidan di Daerah Terpencil Alas Sumbawa...

SUMBAWA, KOMPAS.com - Rintik hujan yang turun sejak siang di kawasan Pegunungan Matemega, tak menyurut langkah sejumlah warga untuk menggotong tandu kain, membawa seorang ibu hamil di dalamnya, menuju ke Puskesmas.

Sore itu, mereka harus berjalan kaki sejauh 11 kilometer demi menyelamatkan nyawa sang ibu dan juga bayinya.

Jalan rusak dan berlumpur membuat puluhan warga harus lebih bersabar. Mereka terlihat bergantian menggotong tandu tersebut.

Bahkan, ketika matahari mulai tenggelam, minimnya penerangan di tengah hutan membuat mereka harus berjibaku lebih keras untuk menyelamatkan kerabatnya itu.

Ibu hamil yang ada di dalam tandu itu adalah perempuan berusia 18 tahun bernama Dewi. Saat diangkat dengan tandu, Dewi sudah mengalami pendarahan.

Sebelumnya, dia sempat mencoba menjalani proses persalinan di kampungnya, namun terpaksa dirujuk ke Puskesmas karena kondisi pendarahan tersebut.

“Kami baru jalan kaki pukul 18.00 Wita, setelah konsultasi dengan dokter terkait kondisi pasien,” kata bidan desa yang menangani kasus yang terjadi beberapa waktu silam ini, Min Amri, Senin (2/12/2024).

Kondisi akses jalan di Desa Matemega, Kecamatan Alas, Kabupaten Sumbawa, NTB ini memang buruk. Alhasil, warga tidak mempunyai pilihan moda transportasi lain untuk menuju Puskesmas.

“Medan jalan belum beraspal, terjal, berbatu, dan berlumpur. Jadi lebih baik jalan kaki daripada naik motor,” kata Min.

Kondisi jalan semakin sulit kala hujan semakin deras. Beberapa kali rombongan ini berhenti di tengah jalan saat pasien kesakitan. Min lalu bergegas memberikan pertolongan kepada pasien.

“Saya berada di samping pasien. Saat dia teriak karena kesakitan kontraksi, saya langsung periksa pasien. Saya cek infus dan berikan penanganan darurat,” cerita Min.

Sebelumnya, setelah mendapatkan sinyal internet menjelang magrib, Min baru bisa menghubungi dokter untuk meminta pertimbangan dan persetujuan rujukan pasien.

Setelah melewati perjalanan panjang selama lima jam, akhir rombongan tandu tadi tiba di Desa Marente.

Di situ, akses jalan sudah bagus, pasien langsung dibawa menggunakan ambulans menuju Puskesmas.

“Kami baru tiba di Puskesmas Alas sekitar pukul 22.30 Wita. Sekitar lima jam perjalanan jalan kaki. Alhamdulillah ibu dan bayi selamat,” kata Min.

“Saya berharap kepada Pemerintah semoga akses jalan Matemega bisa diperhatikan. Karena tugas kami sebagai bidan bisa lebih optimal ketika layanan kesehatan lebih cepat diakses,” harap Min.

Sebagai bidan kontrak (honorer), ia berharap agar Pemerintah lebih memperhatikan gaji petugas kesehatan. Saat ini Min digaji Rp 1 juta per bulan, dengan tantangan medan yang tak mudah.

“Setiap kali ke Desa Matemega saya naik ojek motor, biaya perjalanan ke sana Rp 350 ribu sekali jalan,” cerita Min.

“Bayangkan jika dalam satu bulan, saya 2-3 kali bolak balik, apalagi kalau ada emergency. Tentu gaji saya akan habis di perjalanan saja,” keluh dia.

 

DOKUMENTASI PRIBADI MIN Proses bidan Min kala membantu persalinan di wilayah sulit akses di Alas, Sumbawa. Tantangan bertugas di wilayah sulit akses juga dirasakan Sri Wahyuningsih (46) di wilayah pegunungan Desa Mungkin, Kecamatan Orong Telu, Kabupaten Sumbawa.

“Tapi, harus dinikmati sebagai amanah,” kata Sri, Selasa (3/12/2024).

Ia memiliki tugas ganda yaitu di Puskesmas dan Desa Mungkin dalam memberikan pelayanan kepada ibu hamil dan bayi balita.

Ia menyebut, Puskesmas Orong Telu masih kekurangan SDM bidan. Dari total sembilan bidan, ada satu yang sedang pendidikan.

Dari total empat desa di Kecamatan Orong Telu, setiap bidan memiliki tugas ganda di puskesmas dan desa rangkap.

Sri sudah bertugas 26 tahun di Puskesmas Orong Telu, terhitung sejak 1998.

“Alhamdulillah, saya sekarang sudah jadi penduduk Orong Telu saking sudah lama bertugas di sini,” kata Sri.

“Karena geografis yang sulit, seandainya ada kondisi kedaruratan tengah malam atau kapan pun, kami siap berangkat ke sana,” ujar dia.

Petugas bidan biasanya dijemput oleh keluarga pasien menuju desa sulit tersebut, jika tidak ada yang jemput, maka kami akan berangkat sendiri dengan menyewa orang.

Menurut dia, tidak mungkin untuk pergi sendiri dengan medan yang sulit, serta kondisi menyeberang sungai dan banyak lumpur bebatuan.

“Jika ada teman perawat bisa temani kita jangkau pasien di desa sulit akses, tapi kalau misalnya teman lagi berhalangan, saya akan menyewa orang,” imbuh dia.

Edukasi kepada ibu hamil yang sudah memasuki trimester tiga mendekati waktu persalinan gencar dilakukan tetapi masih sulit untuk di desa-desa terpencil.

Keterbatasan biaya menjadi alasan utama, ketika mereka turun lebih awal ke desa atau rumah keluarganya untuk menunggu proses persalinan.

Meski Pemerintah sudah menyiapkan rumah tunggu di dekat Puskesmas sambungnya, atau bisa juga pasien menunggu di rumah keluarganya dengan tetap dalam pemantauan bidan.

“Kami sudah edukasi tetapi pasien ibu hamil ini dengan berbagai alasan tetap tidak mau untuk turun atau tinggal di rumah singgah."

"Kalau begitu saya yang datang ke lokasi menolong persalinan ibu hamil dengan peralatan seadanya,” cerita Sri.

Di wilayah pedalaman Pulau Sumbawa ini, akses kesehatan masih sangat menjadi tantangan. Para bidan desa seperti Min dan Sri-lah yang kerap kali menjadi pahlawan yang menjaga nyawa ibu dan bayi.

Sumber