Berebut Minyak Tanah Suci
Masuknya Iran dalam konflik Israel-Palestina menstimulasi respons keras dari blok Barat, yang merasa supremasinya di Timur Tengah semakin terancam. Eskalasi konflik militeristik bisa meluas ke skala regional, dan Palestina kembali menjadi episentrum destruksinya. Dalam situasi ini, asa kemerdekaan Palestina akan musnah, dan imbasnya juga dirasakan global pada dua sektor utama.
Pertama, kompetisi pertahanan regional akan menghancurkan asa perdamaian MENA. Jika ketegangan meningkat, kompetisi antar-aliansi aliansi militer akan melahirkan imperialisme modern. Kedua, instabilitas rantai pasok energi. Sebagai oil checkpoint vital transit routes para raksasa minyak, Selat Hormus akan terus jadi "tawanan perang" kelompok bersenjata sehingga krisis energi meningkat ke skala global.
Palestina kian terjepit di antara kepentingan besar dengan bendera yang beragam agama, ekonomi, dan politik –semua berambisi melabeli diri sebagai pembela paling "suci". Lantas bagaimana alternatif perspektif memandang konflik ini?
Potensi Penyeimbang
Kontestasi hegemoni AS dan Iran mengguncang keamanan Timur Tengah. BRICS+ muncul sebagai potensi penyeimbang, namun blok Islam di dalamnya terjebak dilema mendukung AS-Israel untuk kepentingan "perut", atau mendukung Palestina untuk menjaga legitimasi keislamannya. Akibatnya, politik ambiguitas jadi jalan pintas yang mereka ambil, dengan Palestina hanya jadi alat ‘politik’ untuk memenangkan konsesi internasional.
Di tengah dilema ini, langkah terobosan China dalam mediasi rekonsiliasi Saudi-Iran setahun lalu telah menjadi kunci stabilitas regional, meredam eskalasi konflik Palestina-Israel dan perang proksi lainnya. Dengan hilangnya kompetisi kepemimpinan ekonomi dan religius, blok Islam kini bisa tantang AS dan bergaul ke "Timur". Jika sukses, pergeseran kebijakan ekonomi-politik ke arah "Timur" akan tak terhindarkan, dengan Beijing/BRICS+ siap terus jembatani soliditas keduanya.
Tren persatuan Arab ini jelas mengisolasi AS-Israel. Sentimen anti-Barat makin populer, dan tercermin dalam Resolusi Melawan Agresi Israel pada KTT Luar Biasa Arab-Islam di Riyadh, menyoroti standar ganda dalam penerapan hukum dan norma internasional. Akibatnya, posisi politik-diplomatik AS-Israel, termasuk progres Abraham Accords pada 2020, semakin melemah, memaksa mereka untuk mengandalkan kekuatan militer. Inkorporasi NATO ke dalam konflik dipandang sebagai upaya terakhir untuk menahan agresi Iran.
BRICS+ upayakan two-state-solution menjadi resolusi konflik. Presiden Putin bahkan menawarkan "kursi khusus" bagi Palestina di BRICS+, menjamin kesetaraan dan kedaulatan penuh dalam mediasi, serta menegaskan komitmen jadi partner ekonomi/keamanan berkelanjutan pasca rekonsiliasi. Hal ini vital untuk negara merdeka baru, jika berhasil Palestina bakal berdikari dan revitalisasi perdagangan global melalui MENA akan terjamin.
Mandatori Awal
Jika ingin berdaulat penuh, maka Palestina harus makmur, dan rekonstruksi sosio-ekonomi Palestina adalah mandatori awal. Caranya satu, alokasi adil SDM migas di wilayah pendudukan dan Mediterania Timur, yang sejak 2007 hak eksplorasi dan pengembangannya dikelola oleh British Gas dan Israel. UNCTAD mengestimasi temuan besar baru migas di Levant Basin bernilai $524 miliar, jika kecipratan Palestina bisa keluar dari zona kemiskinan dan direhabilitasi.
Potensi migas Tanah "Suci" ini tentu menjadi rebutan. Sadari potensi ini, Iran janjikan koridor khusus ke pasar "Timur" dan kedaulatan penuh atas SDM. Di sisi lain Israel/AS tidak mau melepaskan cengkeramannya. Akibatnya, dari sengketa wilayah/ideologi Palestina-Israel, konflik ini meluas jadi sengketa migas.
Menanggapi konflik ini, perusahaan/negara migas cenderung pragmatis. Meski menabrak aturan 1995 Oslo II Accord dan The Hague Regulations, selama mengantongi izin Israel, trade dan eksploitasi energi tidak akan diputus. Dengan kontrol de facto ini, Israel menggaransi pasokan energi ke Uni Eropa dan menggantikan Rusia. Kontrak besar Israel-Uni Eropa ini memperkecil dampak dari upaya global boycott dan divestment yang sporadis terhadap sektor migas pro-Israel oleh aktivis pro-Palestina.
Untuk mengatasi imperialisme migas, ada dua solusi utama. Pertama, memperkuat kerangka hukum internasional mengenai kedaulatan maritim dan teritorial serta pengelolaan sumber daya. Israel, perusahaan, dan negara pengelola migas harus mematuhi hukum internasional tentang batas maritim dan daratan, dengan sanksi ekonomi, diplomatik, dan hukum diberlakukan terhadap pelanggar. Lebih lanjut, persatuan Arab menjadi kunci untuk menjaga keamanan kolektif dan mencegah tindakan ekspansi atau pelanggaran kesepakatan.
Kedua, advokasi kolektif via BRICS+. Persatuan Arab melahirkan advokasi kuat dan mengikat, menciptakan detterent bagi Israel. Integrasi pasar hulu-hilir BRICS+ menjadi solusi pasar alternatif blok Islam untuk melepaskan intervensi AS dan ketergantungan terhadap Barat.
Kemerdekaan Timur Tengah adalah kemakmuran global. Perdamaian menjadi peluang MENA untuk diversifikasi ekonomi dan fasilitasi integrasi jalur perdagangan via Indian Ocean Region, IMEC, dan koridor utara-selatan. Kedaulatan penuh ini akan mengurangi tekanan eksternal dan instabilitas keamanan regional.
Peran Indonesia
Sesuai mandat konstitusi, Indonesia teguh mendukung kedaulatan Palestina. Peran Indonesia krusial dalam advokasi perdamaian di forum internasional. Lewat partisipasi aktif di BRICS+, Indonesia dapat mempercepat mediasi konflik dan rekonstruksi sosio-ekonomi berkelanjutan pasca-perang. Jaringan diplomasi melalui normalisasi dan kolaborasi strategis antara blok Islam, Barat, Timur dengan Israel-Palestina, harus dijembatani oleh Indonesia/BRICS+ untuk fasilitasi keamanan regional.
Dalam mengatasi intervensi ekspansif AS di Timur Tengah, Indonesia/BRICS+ mesti menyatukan bangsa Arab. Dengan persatuan visi, aliansi BRICS+ dan blok Islam dapat mengontrol stabilitas regional, kedaulatan ekonomi, dan respons kebijakan agresif AS. Kooperasi kemampuan pertahanan regional Timur Tengah menjadi vital untuk meningkatkan interoperabilitas, keamanan kolektif, dan soliditas hubungan, sekaligus mencegah intervensi asing. Hal ini meliputi berbagi intelijen, keamanan perbatasan, dan operasi militer gabungan untuk ciptakan deterrent bagi "tangan kanan" AS.
Selain itu, Intensifikasi kerja sama ekonomi ke "Timur" juga perlu dilakukan untuk meningkatkan diversifikasi ekonomi, transfer pengetahuan, dan eksplorasi potensi kerja sama strategis baru, seperti energi terbarukan. Dengan mengurangi hegemoni destruktif AS via BRICS+, pengendalian kepentingan eksternal menjadi lebih terkelola, sehingga mendukung otonomi regional dan mendorong perdamaian jangka panjang di Timur Tengah."
Jika disimpulkan begini Jika Arab bersatu, Timur Tengah akan merdeka dan kemakmuran global dapat tercapai.
Fasyeh Hamid pengamat politik energi, alumnus Gubkin Russian State University of Oil and Gas