Besarnya Perputaran Dana Judi “Online” dan Wacana DPR Bentuk Panja Kejahatan Siber
JAKARTA, KOMPAS.com - Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) Ivan Yustiavandana mengungkap sejumlah data perputaran dana transaksi judi online (judol).
Di hadapan jajaran Komisi III DPR RI, Ivan mengatakan, ada kecenderungan pengguna judi online berkembang.
"Jadi apabila kita melihat perkembangan judi online, saat ini memang terlihat kecenderungan naik dibandingkan dengan periode sebelumnya, ini kalau kita bicara pada 2023," kata Ivan dalam rapat Komisi III DPR, Kompleks Parlemen, Jakarta, Rabu (6/11/2024).
Hal tersebut terlihat dari meningkatnya jumlah perputaran transaksi terkait judi online.
Berdasarkan data yang dipaparkan Ivan, perputaran transaksi terkait judi online pada 2021 mencapai Rp 57,91 triliun, kemudian meningkat menjadi Rp 104,42 triliun pada 2022.
Perputaran transaksi pada 2023 melonjak menjadi Rp 327,05 triliun. Sedangkan pada semester pertama 2024 sudah mencapai 174,56 triliun.
“Perkembangan transaksi juga mengalami peningkatan. Transaksi pada 2024 semester satu saja sudah melampaui jumlah transaksi di tengah semester 2023 atau bahkan lebih dari satu tahun penuh pada 2022. Artinya ini ada kecenderungan naik sampai 237,48 persen," ucap Ivan.
Menurut Ivan, salah satu faktor yang menyebabkan peningkatan transaksi judi online yakni banyak bandar judi yang memecah transaksi dengan nominal yang lebih kecil.
Dengan demikian, transaksi judi semakin besar serta menyasar masyarakat kecil.
"Jadi kalau dulu orang melakukan judi online transaksinya angkanya juta-jutaan. Nah sekarang bisa Rp 10.000, kita sudah melihat ada seorang bisa judi. Itu lah yang membuat transaksi semakin masif," ucap Ivan.
Bukan hanya orang dewasa, kini juga ada anak-anak yang melakukan judi online termasuk yang berusia kurang dari 10 tahun.
"Umur pemain judi online juga cenderung semakin merambah ke usia rendah, usia kurang dari 10 tahun ini kita melihat. Jadi populasi demografi pemainnya semakin berkembang," ujarnya.
Ivan juga mengatakan, ada kelompok masyarakat yang menghabiskan hampir 70 persen gaji untuk judi online.
Namun, sangat disayangkan bahwa kelompok masyarakat yang menghabiskan hampir 70 persen gaji untuk judi online tersebut ternyata berpenghasilan maksimal Rp 1 juta.
“Kalau dulu orang terima Rp 1 juta hanya akan menggunakan Rp 100.000-200.000 untuk judi online, sekarang sudah hampir Rp 900.000 dipakai untuk judi online. Jadi, kami melihat semakin addict-nya (ketagihannya) masyarakat melakukan judi online,” kata Ivan.
Data tersebut menjadi bagian pemaparan Ivan terkait persentase penggunaan dana untuk judi online dibandingkan dengan penghasilan pada 2017 sampai dengan 2023.
Sementara itu, Ivan mengatakan bahwa data tersebut juga dikonfirmasi dengan data jumlah pelaku judi online berdasarkan nominal deposit di rekening bank.
Ivan mengungkapkan bahwa sekitar 25,15 persen masyarakat mendepositkan uangnya pada kisaran Rp 10.000-100.000.
“Jumlah terbesar pelaku judi online di kita itu adalah masyarakat yang melakukan deposit kecil. Jadi, depositnya cenderung Rp 100.000 sampai dengan Rp 1 juta,” ujarnya.
Dengan panja ini, Rano berharap agar Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dapat lebih transparan dalam membagikan data intelijen hasil analisis yang selama ini dilaporkan kepada aparat penegak hukum.
"Ke depan dengan adanya panja ini, nanti kami harapkan kita lebih terbuka lagi dalam hal data yang didapat Kepala PPATK atau PPATK untuk setiap kejahatan, baik itu siber maupun kejahatan yang lain," ujar Rano.
Menurut dia, selama ini Komisi III DPR RI tidak pernah mendapatkan data utuh mengenai hasil analisis dari PPATK.
Ia mengusulkan agar rapat panja diadakan secara tertutup jika diperlukan untuk membahas data yang lebih mendalam.
"Jadi kita ini kan suka rapat ini tapi dapat datanya setengah-setengah. Jadi kami meminta nanti, misalnya narkoba, kan tadi sudah disampaikan berapa besarnya narkoba, perkara judi online dan lain-lain, datanya nanti dibuka saja saat kita rapat lagi ke depan," ujar politikus PKB itu.
Menurut Rano, Komisi III DPR RI berkomitmen untuk melakukan intervensi jika aparat penegak hukum tidak menindaklanjuti data yang diberikan oleh PPATK.
Sebab, selama ini data analisis PPATK selalu diserahkan ke aparat penegak hukum untuk ditindaklanjuti.
"Nanti kalau perkara yang Bapak sampaikan atau hasil temuan yang Bapak sampaikan tidak ditindaklanjuti, maka kami sebagai mitranya akan ikut masuk intervensi ke situ," katanya.
Sementara itu, Anggota DPR RI dari Fraksi Nasdem Rudianto Lallo mengapresiasi kinerja PPATK yang sering kali memberikan informasi terkait transaksi keuangan yang menggemparkan publik.
Namun, ia menyayangkan bahwa hasil analisis PPATK hanya bersifat data intelijen.
Oleh karena itu, ia meminta PPATK bisa memastikan bahwa data intelijen tersebut ditindaklanjuti aparat penegak hukum secara serius.
“Kira-kira selama ini data yang dimiliki oleh PPATK, tiga APH ini Kejaksaan, Polri, maupun KPK, institusi mana yang banyak menindaklanjuti laporan-laporan PPATK ini? Atau apakah laporan PPATK hanya disimpan, hasil analisis dan laporan hanya disimpan di atas meja, lalu kemudian tidak ditindaklanjuti?" kata Rudianto.