Bidan Warni, 26 Tahun Melawan Dukun dan Mitos di Sumbawa

Bidan Warni, 26 Tahun Melawan Dukun dan Mitos di Sumbawa

SUMBAWA, KOMPAS.com - Warni tak kuasa menahan tangis saat mengingat kembali perjalanan panjang selama 26 tahun menjadi bidan desa di Sumbawa, saat ditemui Kompas.com, pada Senin (2/12/2024) lalu.

Perempuan berusia 44 tahun itu kini pun masih aktif di Puskesmas Kecamatan Labuhan Badas, Kabupaten Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB).

Ia sudah bertugas menjadi bidan desa sejak usia 18 tahun. Pengalaman panjang dan penuh liku tentu sudah dirasakan Warni.

Kisahnya berawal pada 1998, ketika Warni bertugas pertama kali di Desa Lantung, tepatnya di Dusun Lebin.

Perjalanan menuju Dusun tersebut tidak mudah. Sulitnya medan, harus ditempuh dengan menaiki kuda selama 2,5 jam. Melewati hutan belantara, lumpur, sungai, dan jalan berbatu.

Sebagai bidan, saat awal penugasannya, ia berjuang melawan hagemoni dukun, tradisi, serta mitos yang dipercaya masyarakat perihal persalinan dan kesehatan reproduksi.

Di tengah keterbatasan, persalinan di dusun itu masih di tolong oleh dukun. Warni baru mengetahui ternyata cara dukun menyelamatkan ibu hamil dengan menginjak perut sang ibu.

Hal itu dilakukan agar bayi cepat keluar. Hingga ada satu kasus yang fatal. Ibu hamil yang melahirkan mengalami pendarahan hebaṭ.   

Meski bayi ibu itu tertolong, tetapi sang ibu mengalami penderitaan luar biasa. Sementara, sang dukun ketakutan dan lari ke atas gunung, karena takut dipersalahkan.

“Ibu itu melahirkan pagi dengan dukun, dia panggil saya sore. Saya coba dorong rahim itu, tapi tidak bisa. Saya minta dirujuk ke RSUD,” kata Warni.

 

DOKUMENTASI PRIBADI MIN Proses bidan Min kala membantu persalinan di wilayah sulit akses di Alas, Sumbawa. Ada pula mitos juga di Lebin, bayi yang baru lahir harus langsung dimandikan dengan air kelapa. Alhasil, ada bayi yang langsung kejang dan menggigil.

Begitu juga, ibu hamil yang baru melahirkan langsung dimandikan, dan setelah itu pingsan.

“Saya saat itu ambil obat di Pustu, saya dipanggil dan saya langsung marahin semua yang mandiin itu,” kata dia.

"Bayangkan, ibu hamil tidak tidur semalam, tidak makan, dan setelah lahiran langsung dimandiin pasti drop," sebut dia.

"Ada juga bayi baru lahir diletakkan jempol kaki kakaknya di mulut bayi. Kata mereka biar jadi penurut, dan tidak melawan dengan saudaranya."

“Saya hadapi dukun dan mitos luar biasa di dusun itu. Awalnya banyak kematian bayi, setelah dua tahun saya bertugas, di sana nol kematian,” ujar dia.

“Saya perang dengan dukun. Begitu ada kejadian, saya langsung masuk dan berikan edukasi,” kata dia.

Kini Warni sudah bertugas selama 18 tahun sebagai bidan di Puskesmas Labuhan Badas.

"Kalau sekarang kondisinya mereka sudah lebih paham mereka yang sudah mendekati melahirkan ibu hamilnya akan ke rumah keluarganya setelah mendekati persalinan untuk lebih dekat dengan Puskesmas."

"Melahirkan di sini kemudian satu minggu setelah lahiran baru pulang ke pulau," kata dia.

Plasenta previa, plasenta tertahan, dan pendarahan adalah kasus yang banyak terjadi di Pulau Moyo dan Medang dulu.

Menggunakan kapal, perjalanan ke Pulau Moyo membutuhkan waktu dua jam, kondisi hujan dan ombak besar. Perjalanan menjadi lebih panjangan karena kondisi cuaca.

Sexual and Reproductive Health Programme Specialist, UNFPA Indonesia, Sandeep Nanwani, menyampaikan upaya mendorong pemerataan distribusi bidan terus dilakukan.

Kementerian Kesehatan terus mengestimasi beban pekerjaan, dan ini sangat membantu daerah.

“Jika kita melihat dari jumlah bidan, maka kita tidak kekurangan. Tetapi yang perlu ditekankan adalah distribusi pemerataan penempatan bidan,” kata dia saat dikonfirmasi, Jumat (22/11/2024).

Disebutkan, tugas bidan tanpa didukung oleh sistem kesehatan primer yang baik, tidak akan bisa menyelamatkan nyawa ibu dan anak.

“Karena bidan tidak bisa melakukan penyelamatan dengan baik, pada kasus persalinan dengan resiko,” sebut dia.

Ada kecenderungan memang di masyarakat, ada stigma untuk menyalakan bidan jika ada terjadi kasus kematian baik pada ibu dan anak.

“Jika kita lihat lebih mendalam lagi, sebetulnya bidan selain dari penguatan kompetensinya mesti didukung dengan penyediaan sarana prasarana layanan primer yang memadai ini wajib,” tegasnya.

Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB) masih menghadapi tantangan terkait angka kematian ibu (AKI).

Berdasarkan hasil long form Sensus Penduduk 2020 NTB menduduki peringkat delapan dari 38 provinsi di Indonesia dengan 250 AKI.

Angka kematian ibu di luar pulau Jawa khususnya Papua dan Nusa Tenggara menduduki peringkat tertinggi.

Kepala Dinas Kesehatan (Kadinkes) Provinsi NTB, Lalu Hamzi Fikri, menyampaikan pada akhir periode pembangunan tahun 2019-2023, kasus kematian ibu di NTB menurun dalam tiga tahun terakhir, dari 144 kasus pada tahun 2021 menjadi 91 kasus pada 2023.

“Pada semester I tahun 2024, kasus kematian ibu yang berjumlah 38 kasus lebih rendah dibandingkan dengan semester I tahun 2023 yang berjumlah 51 kasus,” kata dia saat ditemui Jumat (29/11/2024).

Ada pun penyebab kematian ibu terbanyak pada tahun 2023 disebabkan perdarahan obstetrik (26 persen) dan hipertensi dalam kehamilan (21 persen).

Ia mengingatkan, 70 persen kematian ibu dan bayi bisa dicegah melalui jaminan akses terhadap pelayanan kesehatan yang baik, dan pelayanan kesehatan yang berkualitas. 

Sumber