Bioplastik: Ilusi atau Solusi?
Negara-negara di dunia kini terlibat dalam kampanye untuk mengurangi dampak lingkungan dari sampah plastik yang semakin meningkat. Indikatornya dapat terlihat di banyak Tempat Pembuangan Akhir (TPA) sampah di berbagai kota di Indonesia, yang kini sudah over-capacity. Tidak hanya menyebabkan gangguan pernafasan, dalam jangka panjang manajemen yang buruk terhadap sampah bisa mengakibatkan bencana lingkungan.
Lalu muncul ide untuk menggunakan bioplastik sebagai alternatif pengganti plastik sekali pakai. Meski begitu, sebagian besar pihak belum mengetahui efektivitas metode baru tersebut, bahkan banyak yang meragukannya.
Kalangan aktivis lingkungan mendalilkan bahwa pemakaian bioplastik tidak serta-merta menghilangkan permasalahan sampah plastik. Itu juga tidak langsung sebagai substitusi kantong plastik sekali pakai. Justru sejauh ini, bioplastik yang berbahan dasar tanaman ini, menimbulkan masalah baru terkait ancaman terhadap ketahanan pangan dan ketersediaan lahan.
Permasalahan ini diperparah dengan adanya ketidaksesuaian informasi serta kurangnya pengetahuan mengenai dampak bioplastik terhadap lingkungan. Klaim bioplastik mudah terurai menjadi perbincangan hangat.
Masyarakat awam melihat bioplastik hanya dari bahan bakunya yang kelihatan pro lingkungan. Tapi kita juga wajib melihat sampai akhir siklusnya (end of life). Di bawah ini terdapat sumber utama bio-derived (plastik berasal dari bahan alam) yakni bahan Polylactic Acid (PLA), Polyhydroxyalkanoate (PHA), dan Thermoplastic Starch (TPS).
PLA dapat terurai di lingkungan industri, artinya membutuhkan kondisi khusus seperti suhu tinggi dan kelembaban tertentu untuk dapat terurai. Sedangkan PHA dan TPS dapat terurai secara alami di lingkungan, termasuk di laut atau tanah tanpa memerlukan kondisi khusus.
Dalam sebuah ilustrasi, PLA dibuang begitu saja di alam, seperti di laut atau di tanah, plastik ini tidak akan terurai secepat yang kita harapkan dan bisa tetap mencemari lingkungan. Hal yang perlu digarisbawahi adalah pentingnya infrastruktur pengolahan sampah yang tepat untuk mengolah PLA. Itu diperlukan agar bioplastik ini bisa berakhir dengan cara yang ramah lingkungan.
Sebagian bioplastik berbahan PHA & TPS yang berasal dari bahan alam memiliki potensi untuk lebih ramah lingkungan karena dapat terurai secara alami.
Survei singkat yang penulis lakukan di platform Instagram dengan pertanyaan, "Apakah bioplastik ramah lingkungan?". Sebagaian besar 81% audiens menjawab tidak ramah lingkungan. Sementara sisanya, 19% ramah lingkungan.
Sekali lagi, penting untuk mengetahui pengertian bioplastik dengan benar. Bioplastik adalah plastik yang berbahan baku terbarukan (bio-based), dan atau dapat terurai secara alami. Industri Daur ulang mengkhawatirkan hasil proses daur ulang plastik konvensionalnya dapat tercemar dengan adanya sampah bioplastik di lingkungan. Seberapa jauh pengaruh kontaminasi bioplastik ini menjadi peluang topik riset yang dapat dilakukan.
Pengalaman Korea Selatan dalam mengelola masalah yang sama, layak menjadi pelajaran. Disana pemerintah mengadopsi bioplastik yang berasal dari bahan organik. Temuan itu menyumbang peran penting dalam mendukung ekonomi sirkuler. Namun, tantangannya ada pada biaya produksi yang relatif tinggi.
Pemerintahan Indonesia juga menyebutkan masalah bioplastik dalam pengelolaannya harus memenuhi kriteria dan bioplastik tidak boleh bersaing dengan ketahanan pangan. Selain itu, pada perjanjian International Legally Binding Instrument (ILBI) bioplastik dan alternatif plastik dibahas dalam konteks pengelolaan sampah dan produk yang lebih berkelanjutan. Masalah yang diangkat terkait dengan bioplastik meliputi kriteria kepentingan, klasifikasi, inklusi progresif, dan bio-degradabilitas.
Di Indonesia, penggunaan bioplastik terus berkembang, terutama pada industri kantong belanja atau kemasan. Edukasi masyarakat luas sangat penting agar dapat memahami dan memanfaatkannya dengan bijak. Namun, seperti kekhawatiran berbagai pihak, sejumlah company belum memberikan label pada kemasan bioplastik untuk memudahkan pengolahan sampahnya.
Mudahnya, dalam kehidupan sehari-hari banyak penggunaan kantong belanja dan sedotan plastik dari bioplastik. Atau juga penggunaan sedotan dari material kertas dan plastik. Untuk memahami lebih jelas mengenai dampak lingkungan, mari kita bandingkan emisi gas rumah kaca ke lingkungan dari berbagai jenis kantong belanja.
Berdasarkan studi analisis daur hidup (LCA), terlihat bahwa dampak lingkungan terkecil (0,04 m CO2e) dicatat dari plastik sekali pakai (bahan polyethylene) dibandingkan dengan kantong belanja berbahan kertas. Berbeda jika penggunan plastik tersebut 8 kali, material yang mempunyai dampak gas rumah kaca terendah justru kantong belanja spunbond (reusable polyethylene) dibandingkan kertas. Studi LCA menunjukkan bahwa plastik dapat digunakan berdasarkan aplikasi atau keperluannya. Lalu jika dikelola dengan benar, sejatinya bisa lebih berkelanjutan dibandingkan material kertas.
Tren lainnya, penggunaan sedotan semakin tinggi, walaupun beberapa resto sudah mulai mengurangi penggunaan tersebut atau beralih ke penggunaan sedotan yang ramah lingkungan. Hasil penelitian G.M. G.M. Zanghelini et al (2020) di Brazil mengenai penilaian LCA sedotan minuman.
Pasti semua orang bertanya-tanya, Apakah ada penilaian daur hidup (LCA) untuk bioplastik?. Diluar negeri Karli James seorang Manager Sustainable Products Centre for Design at RMIT University melakukan penelitian dan perhitungan terkait dampak lingkungan dari bioplastik.
Dari klasifikasi itu, yang tergolong biobased plastic adalah PLA, PHA dan TPS (Thermo Plastic Strach). Jika dilihat dari jenis PLA dampak lingkungan dari gas rumah kacanya lebih tinggi dibandingkan dengan penggunaan material dari kertas. Namun jika diliat dari kebutuhan bahan baku lebih besar kertas dibandingkan dengan PLA. Sehingga kembali lagi, kebutuhan dan aplikasi penggunaan seperti apa dari kemasan tersebut.
Salah satu kesalahpahaman (mis-persepsi) terbesar di masyarakat adalah bahwa semua plastik itu buruk dan berbahaya. Padahal, setelah kita lihat aplikasi plastik bergantung dari aplikasi penggunaan dan pengelolaan sampahnya, bila dikelola dengan baik, bisa menjadi solusi berkelanjutan. Sudah saatnya kita bertindak untuk menjaga bumi untuk mengurangi sampah plastik yang semakin menumpuk.
Dikarenakan harganya yang masih relatif lebih mahal dibandingkan dengan plastik konvensional, maka sampai saat ini penggunaannya lebih banyak ditemui di kalangan konsumen dengan daya beli yang lebih tinggi. Beberapa merek ternama sudah mulai menggunakan kantong belanja berbahan bioplastik, sementara di marketplace, beberapa merek fashion juga memanfaatkan bioplastik untuk kemasan produknya.
Di sisi lain, tren permintaan untuk produk ramah lingkungan dan berkelanjutan terus meningkat. Namun, biaya bioplastik yang tinggi dan isu ketahanan pangan di Indonesia perlu diperhatikan. Dengan program ketahanan pangan yang diusung Presiden Prabowo Subianto, muncul pertanyaan apakah penggunaan bioplastik dapat mempengaruhi pasokan pangan dan lahan.
Misalnya, peningkatan produksi bioplastik berbahan jagung berpotensi memengaruhi ketersediaan jagung sebagai bahan pangan. Untuk mengatasi hal ini, beberapa industri bioplastik bekerja sama dengan petani lokal untuk memastikan pasokan bahan baku tetap aman dan berkelanjutan.
Oleh karena itu, masyarakat dan pemerintah agar tidak "serampangan" menghakimi plastik, baik konvensional maupun bioplastik sebagai masalah lingkungan. Benar bahwa ancaman perubahan iklim menjadi dasar kita untuk menekan emisi karbon.
Meski begitu tak cukup hanya berhenti di kampanye plastik. Lebih baik semua pihak fokus membangun sistem pengelolaan sampah yang lebih baik, peningkatan infrastruktur, dan edukasi masyarakat tentang berbagai jenis plastik serta cara pengelolaannya. Hal di atas jauh lebih mendesak dan memiliki dampak nyata terhadap pelestarian lingkungan. Dalam kehidupan sehari-hari, perlu ada pemahaman pentingnya pemilihan jenis plastik sesuai penggunaannya. Setelah itu penting untuk membangun infrastruktur pengolahan sampah yang tepat guna mengolah plastik menuju hasil akhir yang lebih ramah lingkungan.
Itu semua jika dilakukan secara benar dan kolektif, dengan sendirinya akan mampu menekan emisi gas rumah kaca. Sebagai penutup, aksi nyata melalui solusi kebijakan yang mudah dipahami dan dilakukan oleh masyarakat bawah hingga atas jauh lebih panting. Daripada sekedar kampanye berlebilan yang menjurus ilusi tentang bioplastik, dimana tak banyak orang memahaminya.
Geby Otivriyanti. Periset di Pusat Riset Sistem Produksi Berkelanjutan dan Penilaian Daur Hidup, BRIN.