Bioskop Syariah: Mungkinkah Terwujud di Banda Aceh?

Bioskop Syariah: Mungkinkah Terwujud di Banda Aceh?

BANDA ACEH, KOMPAS.com - Wacana pembangunan bioskop di Kota Banda Aceh kembali mencuat pasca debat publik pertama calon wali kota dan wakil wali kota Banda Aceh.

Salah satu pasangan calon nomor urut 4, Teuku Irwan Djohan-Khairul Amal, berjanji akan membangunnya jika terpilih nanti.

Irwan Djohan menyebut, untuk menampung aspirasi anak muda di Banda Aceh, pembangunan bioskop syariah masuk dalam salah satu program unggulan.

"Untuk generasi muda kami memiliki beberapa program unggulan, salah satunya adalah bioskop syariah," ujar Irwan, Rabu (30/10/2024) malam.

Aceh merupakan satu-satunya provinsi yang tidak memiliki bioskop. Medio 2019-2020, rencana pembangunan bioskop sempat ramai dibahas.

Namun, Pemerintah Kota Banda Aceh kala itu mengaku belum mendapatkan restu dari Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU).

Alasannya, karena bioskop dinilai belum dibutuhkan di Aceh. Kini, rencana pembangunan bioskop kembali muncul.

Mungkinkah bioskop berdiri di Aceh?

Hingga kini belum ada aturan khusus tentang pelarangan bioskop di Aceh. Bahkan, MPU belum mengeluarkan fatwa atau larangan tentang pendirian bioskop tersebut.

Namun MPU Aceh mengatur tentang keramaian atau hiburan yang tidak membolehkan bercampurnya antara lelaki dan perempuan.

Dalam keputusan MPU Aceh Nomor 06 Tahun 2003, terdapat beberapa poin, yaitu para pemain dan pemegang peran dalam pertunjukan yang ditampilkan tidak boleh bercampur antara laki-laki dan perempuan.

Materi, bentuk, dan cara penampilan tidak boleh menjurus kepada maksiat atau pornografi.

Tidak boleh membawa kepada syirik, merusak akidah, melecehkan agama, dan moral.

Panitia, pemain, pelayan, dan penonton harus berpakaian menutup aurat, sopan, layak, dan tidak merangsang.

Tempat antara penonton pria dan wanita harus dipisahkan, diatur secara baik dan pantas.

Kegiatan keramaian di malam hari dilaksanakan setelah shalat isya, dan diarahkan kepada yang baik dan bermanfaat.

Jika kegiatan keramaian dilaksanakan pada siang hari, maka kegiatan dihentikan menjelang waktu shalat untuk melaksanakan ibadah.

Pelaksanaan ibadah menjadi tanggung jawab panitia.

Lokasi keramaian yang bersifat hiburan tidak boleh terlalu berdekatan dengan masjid dan tempat ibadah lainnya.

Perlu ditumbuhkan budaya islami dalam segenap aktivitas masyarakat di tempat-tempat umum, terutama dalam penggelaran kesenian.

Ketua MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali atau Abu Faisal, mengakui pihaknya belum pernah mengkaji tentang keberadaan bioskop di Aceh.

"Baik itu bioskop syariah maupun yang tidak bersyariah. Belum kita kaji, tidak ada fatwa, tidak ada tausiah," katanya saat dikonfirmasi via telepon.

Menurut Abu Faisal, dalam mengkaji hal ini, tentu pihaknya bakal melibatkan semua pihak.

"Baik itu bioskop syariah maupun yang tidak bersyariah. Belum kita kaji, tidak ada fatwa, tidak ada tausiah," ujarnya singkat.

Sementara itu, sineas muda Aceh yang juga Ketua Yayasan Aceh Bergerak, Eva Hazmaini, menilai bioskop sangat memungkinkan berdiri di Aceh.

Sebab, syariat seharusnya membatasi, bukan menghentikan.

"Kalau syariat justru menghentikan gerak kreativitas, maka di Aceh industri perfilman tidak akan maju, para sineas akan memilih untuk keluar Aceh," kata dia saat diwawancarai Kompas.com via telepon.

Eva menyebutkan, Aceh memiliki Satpol PP/Wilayatul Hisbah. Mereka bisa mengawasi dan memisahkan antara laki-laki dan perempuan atau keluarga.

"Sudah ada beberapa contoh seperti yang kita lakukan setiap kali membuat nobar, jadi tidak ada yang tidak mungkin. Sekarang adalah tentang mau dan tidak mau. Jangan memandang bioskop sebagai sarang maksiat," tuturnya.

Menurut Eva, Aceh juga memiliki Komisi Informasi Aceh (KIA).

Mereka punya wewenang untuk mensensor film atau konten yang layak ditonton sesuai syariat.

Di sisi lain, menyangkut soal dunia perfilman di Aceh, Eva mengaku ruang gerak para sineas selama ini berjalan secara mandiri.

Bahkan, mereka lebih banyak mendapatkan dukungan dari kementerian dalam melakukan kerja-kerja kreatif.

Selama ini, Aceh Bergerak sudah sering menyuarakan tentang bioskop atau ruang tonton publik sebagai wadah apresiasi bagi teman-teman sineas di Aceh.

Bioskop bukan hanya sebagai wadah hiburan, tetapi juga pendidikan dan transfer budaya.

"Jadi tidak mustahil untuk dibuat bioskop, hanya saja bagaimana komitmen itu bisa dilakukan dan benar-benar dilaksanakan," tegasnya.

Bioskop di Kota Banda Aceh telah hadir sejak era 1930-an.

Saat itu, ibu kota provinsi tersebut memiliki dua bioskop, yaitu Deli Bioskop di Jalan Muhammad Jam dan Rex Bioskop di kawasan Peunayong.

Seiring berjalannya waktu, gedung-gedung bioskop semakin tumbuh hingga jumlahnya bertambah.

Dikutip dari Jurnal Ilmiah Mahasiswa Pendidikan Sejarah Volume 1, Nomor 1, Oktober 2016, Garuda Theater berdiri pada 1947 di Jalan Muhammad Jam, Merpati pada 1960 di Peunayong, dan Gajah Theater pada 1975 di Simpang Lima.

Ada juga Bioskop Elang pada 1978 di Setui, Sinar Indah Bioskop (SIB) pada 1979 di Peunayong, Jelita pada 1979 di Beurawe, dan Pas 21 di Pasar Aceh yang berdiri sejak 1980.

Sementara di Aceh pada umumnya, bioskop sudah ada sejak tahun 1900-1936.

Bioskop yang cukup berkembang seperti Deli Bioscoop di Kota Banda Aceh, Bioscoop di Bireuen, Bioscoop Langsa, Tiong Wha Bioscoop di Lhokseumawe, Sabang Bioscoop di Sabang, dan Gemeente Bioscoop di Sigli.

Seiring berjalannya waktu, bioskop di Aceh kemudian banyak yang gulung tikar karena kondisi konflik yang semakin berkecamuk hingga bencana gempa dan tsunami melanda.

Sumber