Bisnis Keadilan
MANTAN pejabat Mahkamah Agung, Zarof Ricar, ditangkap oleh Kejaksaan Agung karena diduga menjadi makelar kasus Ronald Tannur.
Uang tunai dan emas batangan dengan nilai mencapai hampir Rp 1 triliun ikut disita dalam operasi penangkapan yang dilakukan secara senyap.
Dalam rangkaian yang sama, tiga orang hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memeriksa kasus Ronald Tannur ditangkap tim Kejaksaan (Kompas.com, 28/10/2024).
Kejadian itu semakin membuat masyarakat mengelus dada lebih dalam lagi. Tidak berlebihan kalau kita mengatakan bahwa keadilan telah diperlakukan sebagai barang dagangan oleh sejumlah oknum yang menggawangi tatanan hukum.
Peradilan tak lagi menjadi pilar kokoh yang menaungi hak dasar manusia, melainkan bertransformasi menjadi ladang bisnis.
Keadilan dipasangi label harga oleh mereka. Siapa saja yang berani membayar lebih akan mendapat pelayanan “lebih baik”.
Miris dan ironi, pengadilan berubah fungsi, bukan lagi tempat di mana argumen hukum diperdebatkan dengan sengit dan jujur.
Pengadilan dijadikan arena tawar-menawar yang mirip pasar malam, penuh intrik, bisikan “diskon” atau “penawaran khusus” bagi mereka yang berani manawar harga tinggi.
Ruang sidang yang semestinya menjunjung tinggi kebenaran menjadi lapak transaksi para oknum makelar, menjadi tempat di mana “harga keadilan” dapat dikompromikan demi kepentingan “peminat” yang mau menebak harga.
Ketika kita tidak berniat dan berupaya menghentikan keadilan dijadikan barang dagangan, para penegak hukum akan kehilangan jati diri.
Hakim, jaksa, hingga aparat penegak hukum lain yang "masih suci” bisa tergiur ikut-ikutan menjadi pedagang, bukan penjaga keadilan dan kebenaran.
Kita sangat miris apabila proses penegakan keadilan tidak lagi merujuk pada pasal dan ayat di undang-undang, tetapi pada negosiasi yang terjadi di belakang layar. Praktik ini akan menciptakan ketidakadilan berantai (cumulative injustice).
Mereka yang tidak memiliki akses atau tidak mampu “membeli” keadilan cukup sekadar meratapi nasib yang direnggut oleh ketidakadilan struktural.
Para pencari keadilan dari kalangan bawah akan menjadi sekadar penyumbang angka-angka laporan jumlah kasus. Lain halnya dengan mereka yang berduit bisa tersenyum lebar dengan hasil putusan yang dikendalikan harga penawaran.
Implikasi dari praktik perdagangan keadilan akan berdampak secara sosial. Masyarakat akan kehilangan kepercayaan pada institusi hukum, menciptakan sinisme terhadap siapa pun yang mewakili hukum.
Hukum yang seharusnya menjadi simbol kesucian akan dilihat sebagai instrumen kotor keuntungan finansial. Hal ini akan memperlemah keutuhan sosial dan memicu rasa frustasi kolektif yang semakin dalam.
Ketika keadilan diperdagangkan, maka hukum dan tatanannya akan kehilangan keabsahannya. Seperti kapal tanpa jangkar, hukum menjadi hanyut ke mana arus uang membawanya.
Akibatnya, putusan hukum yang dihasilkan oleh sistem ini tidak lagi memiliki legitimasi moral di mata masyarakat, baik lokal maupun global.
Peraturan menjadi tidak jelas atau abu-abu, dan interpretasi hukum tergantung siapa yang memiliki keleluasaan finansial.
Ketika keadilan diperdagangkan, peraturan akan banyak bermunculan, tapi kebenaran menjadi langka. Praktik dagang keadilan akan melahirkan budaya pura-pura bermoral.
Akan banyak penegak hukum di depan publik berpidato tentang pentingnya integritas, tetapi tetap terjebak dalam kubangan “bisnis” keadilan.
Ketidaksingkronan antara realitas sebenarnya di balik layar dengan retorika di panggung semakin merusak kredibilitas tatanan hukum.
Ketika keadilan didagangkan para makelar, tatanan hukum, terutama lembaga peradilan, akan menjadi seperti arena pialang saham yang dipenuhi kalkulasi untung-rugi, selling and buying, dan spekulasi liar.
Harga keadilan bisa naik atau turun sesuai siapa yang mampu membayar harga tertinggi.
Para makelar hukum memainkan peran sebagai spekulan, “memutar” nasib para pihak yang berperkara.
Keadilan bukan lagi tujuan luhur, melainkan sekadar instrumen permainan yang makin menjauh dari prinsip-prinsip keadilan yang sebenarnya.
Keputusan hukum tak akan lagi murni berdasarkan kebenaran dan bukti, melainkan lebih sering dipengaruhi oleh tawar-menawar di balik layar, layaknya perdagangan saham yang ditentukan oleh informasi orang dalam.
Nilai keadilan bergeser dari sakralitas hukum menjadi komoditas yang siap dijual bagi siapa pun yang sanggup memenuhi nominal yang mereka tetapkan.
Praktik dagang saham keadilan akan mengancam ritual hukum yang serius menjadi praktik spekulasi.
Sistem hukum yang semestinya berjalan objektif berubah menjadi mesin kalkulasi, tempat keputusan hukum yang ditakar dengan perhitungan untung-rugi.
Pasal dan ayat dalam undang-undang yang semula diharap menjadi pilar kokoh malah menjadi “aset spekulatif” yang naik-turun sesuai permintaan pasar.
Sementara itu, mereka yang tak sanggup “berinvestasi” terpaksa menerima risiko ditinggalkan dalam pusaran pasar keadilan yang penuh intrik, taktik dan spekulasi.
Perdagangan saham keadilan hanya menguntungkan “investor” kelas atas yang bisa menjangkau “harga hukum”.
Keadilan semakin sulit diakses oleh mereka yang benar-benar membutuhkan. Keadilan bukan lagi soal benar atau salah, melainkan soal besar kecilnya modal yang dikeluarkan.