Bos Smelter di Sidang Pleidoi Kasus Timah: Kerugian Rp 271 T Tuduhan Naif

Bos Smelter di Sidang Pleidoi Kasus Timah: Kerugian Rp 271 T Tuduhan Naif

Terdakwa kasus korupsi pengelolaan timah, Suparta, mengatakan jumlah kerugian negara senilai Rp 271 triliun merupakan tuduhan naif dan gegabah. Suparta meminta majelis hakim mengabaikan hitungan kerugian negara Rp 271 triliun tersebut.

Hal tersebut disampaikan Direktur Utama PT Refined Bangka Tin (PT RBT) itu ketika membacakan pleidoi atau nota pembelaan di Pengadilan Tipikor Jakarta, Rabu (18/12/2024). Dalam perkara ini, Suparta merupakan Direktur Utama PT RBT sejak 2018.

Mulanya, Suparta mengatakan sejarah PT Timah berasal dari gabungan tiga perusahaan Belanda sejak tahun 1800-an. Suparta mengatakan penambangan timah sudah dilakukan sebelum Indonesia berdiri, sehingga kerusakan lingkungannya merupakan akumulasi selama hampir 100 tahun.

"Mengenai kerugian negara yang disebabkan kerusakan lingkungan senilai Rp 271 triliun sungguh suatu tuduhan yang naif dan gegabah. Bagaimana mungkin dalam kurun waktu 18 bulan kami bisa merusak begitu banyak dan luas terhadap alam Bangka Belitung," kata Suparta.

Suparta pun mempertanyakan alasan jaksa menggunakan perhitungan dari ahli Bambang Hero. Menurutnya, perhitungan dari Bambang Hero tidak tepat dan tidak berkualitas.

"Apakah yang diinginkan dan diharapkan oleh jaksa penyidik dan penuntut umum dengan menetapkan pada surat dakwaan dan surat penuntutan kerugian negara sebesar Rp 271 triliun?" ujarnya.

"Apakah nilai-nilai kerugian negara sebesar ini dari ahli dan BPKP? Atau karena keinginan dan permintaan atau intervensi dari jaksa penyidik kepada ahli dan BPKP terhadap besaran kerugian keuangan negara tersebut? Itu hanya jaksa yang bisa menjawab hal itu," sambungnya.

Suparta lantas meminta majelis hakim untuk mengabaikan kerugian negara senilai Rp 271 triliun tersebut. Sebab, kata dia, total kerugian itu tidak bisa dipertanggungjawabkan.

"Kami mohon Yang Mulia Majelis Hakim dapat mengabaikan kerugian lingkungan sebesar Rp 271 triliun tersebut. Karena kerugian tersebut tidak nyata dan tidak pasti dan tidak dapat dipertanggungjawabkan," ungkap dia.

Lebih lanjut, awalnya Suparta mengaku tidak ingin bekerja sama. Namun kerja sama itu disebut sebagai upaya dalam membela negara. Suparta lantas menyetujui kerja sama itu dengan niat untuk membantu negara.

"Pada saat saya mendengar imbauan, bantuan untuk kerja sama PT Timah, hal pertama yang saya rasakan adalah sebenarnya saya males, Yang Mulia, untuk membantu. Karena saya sudah cukup nyaman dengan bisnis timah yang saya jalani. Bisnis saya sudah tenteram dan sudah tidak ada lagi ambisi," ungkapnya.

"Buat saya, sebenarnya tidak peduli berpengaruh apakah Indonesia mau berperan atau tidak ditimahi dunia. Apakah Indonesia mau menjadi penghasil timah nomor satu di dunia? Secara hitungan logis tidak berpengaruh langsung untuk hidup saya. Tapi, karena yang digaungkan adalah bela negara, demi martabat Indonesia," sambungnya.

Suparta pun mengaku menyesal ikut bekerja sama dengan PT Timah. Akibat kerja sama itu, dirinya saat ini harus terjebak dalam perkara korupsi timah.

"Siapa sih warga negara yang tidak mau membela negaranya? Pada saat itulah saya tergerak oleh kata-kata nasionalisme. Maka saya pikir, baiklah, akan saya bantu semampu saya," paparnya.

Padahal, kata dia, dalam kerja sama itu, tidak ada keuntungan pribadi. Bahkan Suparta menyampaikan ekspor dari produksinya pun ikut tergerus hingga harus memiliki pinjaman di bank.

"Bahasa kasarnya adalah, sial sekali hidup saya, Yang Mulia. Ini bantuan negara, malah masuk penjara. Saya yakin semakin banyak pihak yang ragu dan mungkin tidak akan mau bantuan negara ke depannya jika akhirnya nasibnya akan seperti saya. Percayalah, negara kita akan krisis nasionalisme," jelasnya.

Suparta juga meminta agar majelis hakim memberikan kesempatan kepadanya. Dia juga menilai uang pengganti yang dituntut kepadanya sangat besar. Selain itu, dia meminta agar harta istrinya dikembalikan.

"Saya mau mohon kepada Yang Mulia Majelis Hakim agar kiranya memutuskan untuk mengembalikan harta istri saya yang disita oleh penyidik, karena harta-harta tersebut saya peroleh jauh sebelum peristiwa ini dan tidak ada kaitannya dengan peristiwa ini," pungkasnya.

Dalam kasus ini, Suparta dituntut 14 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsider 1 tahun kurungan. Dia juga dituntut membayar uang pengganti Rp 4.571.438.592.561,56 (Rp 4,5 triliun) subsider 8 tahun kurungan.

Jaksa meyakini Suparta melanggar Pasal 2 ayat (1) juncto Pasal 18 UU Tipikor juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan TPPU juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.

Sumber