Bos Smelter Sebut Perusahaan Cangkang Hanya Dipakai untuk Tempat Pembayaran Bijih Timah

Bos Smelter Sebut Perusahaan Cangkang Hanya Dipakai untuk Tempat Pembayaran Bijih Timah

JAKARTA, KOMPAS.com - Direktur PT Stanindo Inti Perkasa, M.B. Gunawan menyebut, sejumlah perusahaan cangkang pengangkut bijih timah sebenarnya hanya menjadi tempat pembayaran.

Pernyataan ini Gunawan sampaikan ketika dihadirkan sebagai saksi dugaan korupsi dalam tata niaga komoditas timah dengan terdakwa pemilik CV Venus Inti Perkasa, Tamron alias Aon.

Baik PT Stanindo Inti Perkasa maupun CV Venus Inti Perkasa merupakan dua dari lima perusahaan yang smelternya disewa PT Timah Tbk.

Dalam persidangan tersebut, jaksa mengulik pembentukan sejumlah badan usaha berbentuk commanditaire vennotschaap (CV) yang hanya menjadi boneka di bawah kendali lima smelter swasta.

Jaksa lantas menanyakan bagaimana perusahaan-perusahaan cangkang itu memperoleh bijih timah dari wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah.

“Cara memperoleh CV itu adalah badan usaha yang diminta dibikin dan nanti itu hanya sebagai tempat untuk media tempat pembayaran saja sebenarnya,” ujar Gunawan di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (1/11/2024).

Menurut Gunawan, pada dasarnya pihak pengirim bijih timah ke lima smelter swasta yang statusnya disewa PT Timah adalah para pengepul.

Mereka mengkoordinasi masyarakat penambang di wilayah IUP PT Timah dan yang telah mendapatkan persetujuan dari perusahaan pelat merah tersebut.

“Artinya masyarakat penambang di wilayah IUP PT Timah, mengumpulkan bijih timahnya kepada para pengepul, kemudian diserahkan memadai CV tadi?” tanya jaksa.

“Sebelum diserahkan dia harus koordinasi dengan PT Timah,” jawab Gunawan.

Jaksa lantas menegaskan bahwa bijih timah yang diangkut ke smelter-smelter swasta bukan hasil penambangan dari perusahaan cangkang.

“Berarti bukan melakukan penambangan sendiri ya, tapi menerima dari pengepul?” tanya jaksa.

“Masyarakat yang nambang,” jawab Gunawan.

Adapun 12 perusahaan boneka itu adalah CV Bangka Karya Mandiri, CV Belitung Makmur Sejahtera, CV Semar Jaya Perkasa, CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, CV Bangka Jaya Abadi.

Kemudian, CV Rajawali Total. Persada, CV Sumber Energi Perkasa, CV Mega Belitung, CV Mutiara Jaya Perkasa, CV Babel Alam Makmur, dan CV Babel Sukses Persada.

Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.

Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.

Perkara ini juga turut menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).

Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.

Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.

Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.

Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.

Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.

“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.

Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.

Sumber