Bos Smelter Ungkap Ada Perusahaan Boneka Titipan PT Timah

Bos Smelter Ungkap Ada Perusahaan Boneka Titipan PT Timah

JAKARTA, KOMPAS.com - PT Timah Tbk disebut “titip” kepada pihak perusahaan smelter swasta, PT Stanindo Inti Perkasa untuk mendirikan perusahaan cangkang atau boneka, CV Rajawali Total Persada.

Informasi ini diungkapkan pemilik PT Stanindo Inti Perkasa, Suwito Gunawan yang dihadirkan sebagai saksi mahkota dalam dugaan korupsi pada tata niaga komoditas timah yang menjerat pemilik CV Venus Inti Perkasa, Tamron alias Aon dan kawan-kawan.

Mulanya, Jaksa Penuntut Umum dari Kejaksaan Agung menanyakan perusahaan-perusahaan cangkang untuk mengumpulkan bijih timah dari penambang maupun kolektor.

“Kita disuruh mendirikan CV untuk menerima pasir timah dari masyarakat yang ditentukan PT Timah,” ujar Suwito di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Jumat (1/11/2024).

Kepada jaksa, Suwito menyebut PT Stanindo Inti Perkasa membentuk perusahaan boneka bernama CV Bangka Jaya Abadi (BJA) dan CV Rajawali Total Persada.

Jaksa lantas mengulik, pembentukan dua CV tersebut atas permintaan PT Timah atau pengajuan PT Stanindo.

“Kalau BJA kita yang mendirikan atas permintaan PT Timah. Kalau Rajawali atas titipan PT Timah,” tutur Suwito.

Suwito juga mengakui, bijih timah yang dikumpulkan kedua CV itu berasal dari wilayah izin usaha pertambangan (IUP) PT Timah.

Sebagai informasi, bijih timah ditambang oleh masyarakat maupun dikumpulkan oleh kolektor. Setelah ditampung CV yang sebenarnya hanya perusahaan boneka, bijih timah itu disetorkan ke lima perusahaan smelter swasta, termasuk PT Stanindo Inti Perkasa untuk dilebur menjadi logam.

“Lalau untuk pembayaran-pembayaran untuk bijih timah itu melalui perusahaan mana?” tanya jaksa.

“Setahu saya, BJA dibayar (PT Timah) ke BJA,” tutur Suwito.

Dalam dakwaan jaksa disebutkan, pembentukan perusahaan cangkang yang digunakan untuk menampung dan mengangkut bijih timah ke lima smelter swasta.

Sebanyak 12 perusahaan cangkang dibentuk setelah pihak PT Timah bersama bos-bos smelter swasta menggelar rapat. Perusahaan boneka itu berada di bawah kendali smelter swasta.

Adapun 12 perusahaan boneka itu adalah CV Bangka Karya Mandiri, CV Belitung Makmur Sejahtera, CV Semar Jaya Perkasa, CV Bukit Persada Raya, CV Sekawan Makmur Sejati, CV Bangka Jaya Abadi.

Kemudian, CV Rajawali Total. Persada, CV Sumber Energi Perkasa, CV Mega Belitung, CV Mutiara Jaya Perkasa, CV Babel Alam Makmur, dan CV Babel Sukses Persada.

Dalam perkara korupsi ini, negara diduga mengalami kerugian keuangan hingga Rp 300 triliun.

Mantan Direktur Utama PT Timah Tbk, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, eks Direktur Keuangan PT Timah Emil Ermindra, dan kawan-kawannya didakwa melakukan korupsi ini bersama-sama dengan crazy rich Helena Lim.

Perkara ini juga turut menyeret suami aktris Sandra Dewi, Harvey Moeis yang menjadi perpanjangan tangan PT Refined Bangka Tin (RBT).

Bersama Mochtar, Harvey diduga mengakomodasi kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah untuk mendapat keuntungan.

Harvey menghubungi Mochtar dalam rangka untuk mengakomodir kegiatan pertambangan liar di wilayah IUP PT Timah.

Setelah dilakukan beberapa kali pertemuan, Harvey dan Mochtar menyepakati agar kegiatan akomodasi pertambangan liar tersebut di-cover dengan sewa menyewa peralatan processing peleburan timah.

Selanjutnya, suami Sandra Dewi itu menghubungi beberapa smelter, yaitu PT Tinindo Internusa, CV Venus Inti Perkasa, PT Stanindo Inti Perkasa, dan PT Sariwiguna Binasentosa untuk ikut serta dalam kegiatan tersebut.

Harvey meminta pihak smelter untuk menyisihkan sebagian dari keuntungan yang dihasilkan. Keuntungan tersebut kemudian diserahkan ke Harvey seolah-olah sebagai dana corporate social responsibility (CSR) yang difasilitasi oleh Helena selaku Manager PT QSE.

Dari perbuatan melawan hukum ini, Harvey Moeis bersama Helena Lim disebut menikmati uang negara Rp 420 miliar.

“Memperkaya terdakwa Harvey Moeis dan Helena Lim setidak-tidaknya Rp 420.000.000.000,” papar jaksa.

Atas perbuatannya, Harvey Moeis didakwa melanggar Pasal 2 Ayat (1) dan Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 3 UU Tahun 2010 tentang TPPU.

Sumber