BPKP Beberkan Modus Pertanggungjawaban Hibah Fiktif di Papua Barat

BPKP Beberkan Modus Pertanggungjawaban Hibah Fiktif di Papua Barat

MANOKWARI, KOMPAS.com - Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Provinsi Papua Barat memaparkan soal pertanggungjawaban fiktif terkait pemberian hibah kepada organisasi masyarakat di lingkungan Pemerintahan Provinsi Papua Barat.

Temuan ini disampaikan dalam Focus Group Discussion (FGD) yang digelar oleh Kejaksaan Tinggi Papua Barat, di Manokawari, Senin (09/12/2024).

FGD tersebut dibuka oleh Penjabat Gubernur Papua Barat Ali Baham Temongmere, dan dihadiri oleh Bupati Manokwari Hermus Indou, serta aparatur sipil negara (ASN) yang terlibat dalam pengadaan barang dan jasa.

Pemateri dalam acara ini termasuk Wakajati Papua Barat, perwakilan dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah (LKPP), dan perwakilan dari BPKP Papua Barat.

P. Haryadi, Korwas di BPKP mengungkapkan, dalam periode April 2024 hingga saat ini, pihaknya menemukan beberapa modus di pemerintahan yang perlu diperbaiki di masa mendatang.

Dia menjelaskan, pemberian dana hibah merupakan kewajiban anggaran Pemerintah yang diberikan kepada organisasi masyarakat untuk membantu kegiatan mereka.

Ini biasanya diawali dengan proposal kepada SKP atau OPD melalui Nota Perjanjian Hibah Daerah (NPHD).

"Sering kita temui ada beberapa kasus hibah yang pada akhirnya berujung pada masalah hukum," kata P. Haryadi saat menyampaikan materi.

Dia juga mengingatkan para pimpinan OPD untuk tidak menunggu hingga penggunaan hibah selesai sebelum mengejar pertanggungjawabannya.

"Sekarang ini kita mengabaikan sampai hibah itu selesai, tapi mengejar pertanggungjawaban," kata dia.

Haryadi menambahkan, ada hibah di Papua Barat yang ditarik untuk kepentingan pribadi, sehingga saat OPD mengejar pertanggungjawaban, dan sudah tidak dapat dilakukan.

"Akhirnya penerima hibah pun dipanggil oleh APH untuk dimintai keterangan," ungkap dia.

Lebih lanjut, BPKP mengungkapkan bahwa pertanggungjawaban hibah oleh penerima sering dilakukan secara fiktif.

"Setelah hibah digunakan, pada akhir masa diminta pertanggungjawaban, mereka (penerima) bingung, maka mereka membuat SPJ fiktif kepada bapak ibu (OPD), itu pun bapak ibu tidak melakukan verifikasi," ungkap P. Haryadi.

Sebelumnya, Kepala Kejaksaan Tinggi Papua Barat, dalam sambutannya, menekankan pentingnya tata kelola pemerintahan yang baik.

Dia menyatakan, tata kelola yang baik hal ini tidak hanya memerlukan peraturan dan kebijakan yang tepat, tetapi juga sistem yang mendukung transparansi dan akuntabilitas dalam setiap aspek administrasi negara.

"Namun kita tidak bisa menutup mata terhadap berbagai tantangan yang kita hadapi saat ini."

"Pengelolaan anggaran yang tidak tepat sasaran, pengadaan barang dan jasa yang sering kali berisiko terhadap praktik kolusi, serta penyalahgunaan wewenang oleh oknum yang tidak bertanggung jawab adalah beberapa masalah utama yang harus kita hadapi," ujar dia.

Dalam FGD bertema "Perbaikan Sistem Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah serta Akuntabilitas Pengelolaan Keuangan Daerah" ini, Kajati menekankan, pengelolaan keuangan yang akuntabel akan berdampak positif terhadap pembangunan dan kesejahteraan masyarakat.

"Di Indonesia, khususnya di wilayah Papua Barat, kita sudah banyak melihat dampak dari korupsi, mulai dari penurunan kualitas pelayanan publik, terhambatnya pembangunan hingga ketimpangan sosial yang semakin parah."

"Oleh karena itu, perjuangan memberantas korupsi bukan hanya tugas penegak hukum tetapi juga tanggung jawab elemen masyarakat," tegas dia.

Sumber