Buntut Darurat Militer, Presiden Korsel Hadapi Upaya Pemakzulan Kedua

Buntut Darurat Militer, Presiden Korsel Hadapi Upaya Pemakzulan Kedua

Keputusan kontroversial Presiden Yoon Suk Yeol memberlakukan darurat militer yang pertama sejak empat dekade, menyeret demokrasi Korea Selatan ke jurang krisis politik.

Kelompok oposisi Sabtu (7/12) silam gagal menjaring pembelot dari Partai Kekuatan Rakyat, PPP, demi mendukung pemakzulan. Tanpa dukungan anggota fraksi pemerintah, kelompok oposisi Korsel kekurangan suara untuk melengserkan Yoon.

Namun, setelah sepekan melobi, ditambah penyelidikan dugaan makar terhadap Yoon, para analis kini mengatakan bahwa Partai Demokrat berpeluang sukses dalam sidang istimewa kedua.

Pemungutan suara pemakzulan pada hari Sabtu (14/12) sore, dengan Yoon didakwa dengan "tindakan pemberontakan yang merusak tatanan konstitusional" untuk upayanya memberlakukan darurat militer.

Dua ratus suara diperlukan agar pemakzulan itu dapat diloloskan, yang berarti anggota parlemen oposisi harus meyakinkan delapan rekan partai yang berkuasa untuk membelot.

Pada hari Jumat, pemimpin Partai Demokrat, Lee Jae-myung, memohon PPP untuk mendukung pemecatan presiden dari jabatannya.

"Yang harus dilindungi oleh para anggota parlemen bukanlah Yoon atau Partai Kekuatan Rakyat yang berkuasa, tetapi kehidupan rakyat yang meratap di jalan-jalan yang dingin," kata Lee.

"Silakan bergabung dalam mendukung pemungutan suara pemakzulan besok. Sejarah akan mengingat dan mencatat pilihan Anda."

Dua anggota parlemen partai yang berkuasa mendukung mosi tersebut minggu lalu.

Dan hingga Jumat siang, tujuh anggota parlemen dari partai berkuasa telah berjanji untuk mendukung pemakzulan.

Artinya, pemungutan suara akan berlangsung sangat ketat. Namun, anggota oposisi yakin mereka akan memperoleh cukup dukungan.

Anggota parlemen Kim Min-seok mengatakan pada hari Jumat bahwa dia "99 persen" yakin pemakzulan akan diloloskan.

Jika lolos, Yoon akan diskors dari jabatannya ketika Mahkamah Konstitusi Korea Selatan bersidang. Perdana Menteri Han Duck-soo akan bertindak sebagai presiden sementara.

Pengadilan kemudian akan memiliki waktu 180 hari untuk memutuskan masa depan Yoon. Jika mendukung pemecatannya, Yoon akan menjadi presiden kedua dalam sejarah Korea Selatan yang dimakzulkan.

Ada juga preseden bagi pengadilan untuk memblokir pemakzulan. Pada tahun 2004, presiden saat itu Roh Moo-hyun dicopot oleh parlemen karena dugaan pelanggaran hukum pemilu dan ketidakmampuan. Namun Mahkamah Konstitusi kemudian membatalkan pemecatannya.

Pengadilan saat ini juga hanya memiliki enam hakim, yang berarti keputusan mereka harus bulat.

Dan jika pemungutan suara gagal, Yoon masih dapat menghadapi "tanggung jawab hukum" atas tawaran darurat militer, kata Kim Hyun-jung, seorang peneliti di Institut Hukum Universitas Korea, kepada AFP.

"Ini jelas merupakan tindakan pemberontakan," katanya. "Sekalipun usulan pemakzulan tidak lolos, tanggung jawab hukum Presiden berdasarkan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana… tidak dapat dihindari."

Yoon tetap tidak menyesal dan menantang meski dampak dari darurat militer yang diberlakukannya semakin dalam.

Dalam pidato yang disiarkan di televisi, ia berjanji pada hari Kamis untuk berjuang "sampai menit terakhir" dan menegaskan kembali klaim yang tidak berdasar bahwa oposisi bersekongkol dengan musuh komunis negara itu.

Ribuan orang turun ke jalan di Seoul sejak darurat militer diberlakukan untuk menuntut pengunduran dirinya dan pemenjaraannya.

Tingkat penerimaan Yoon, yang tidak pernah terlalu tinggi, anjlok hingga 11 persen, menurut jajak pendapat Gallup Korea yang dirilis hari Jumat (13/12).

Jajak pendapat yang sama menunjukkan 75 persen sekarang mendukung pemakzulannya.

Para pengunjuk rasa berasal dari berbagai lapisan masyarakat Korea Selatan, mulai dari penggemar K-pop yang melambaikan tongkat cahaya hingga pensiunan dan kaum buruh.

"Pemakzulan adalah suatu keharusan dan kita harus berjuang tanpa henti," kata Kim Sung-tae, seorang pekerja berusia 52 tahun di sebuah perusahaan yang membuat suku cadang mobil, kepada AFP.

"Kami berjuang untuk pemulihan demokrasi," kata guru sekolah, Kim Hwan-ii. "Saya sangat marah karena kita semua harus membayar harga karena memilih presiden ini."

rzn/hp (afp,ap)

Sumber