Bursa Karbon Sepi, Nilai Perdagangan Baru Rp50,55 Miliar Tahun Ini

Bursa Karbon Sepi, Nilai Perdagangan Baru Rp50,55 Miliar Tahun Ini

Bisnis.com, JAKARTA — Aktivitas perdagangan di Bursa Karbon Indonesia atau IDXCarbon sampai saat ini masih sepi sejak diluncurkan pada September 2023.

Adapun, Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat, nilai perdagangan bursa karbon baru mencapai Rp50,55 miliar sampai akhir 2024.

Kepala Eksekutif Pengawas Pasar Modal, Keuangan Derivatif, dan Bursa Karbon OJK Inarno Djajadi mengatakan tercatat ada 94 pengguna jasa yang mendapatkan izin sejak bursa karbon diluncurkan pada 26 September 2023 hingga 29 November 2024,

"Sementara total volume perdagangan mencapai 906.440 ton CO2e dan akumulasi nilai perdagangan Rp50,55 miliar," ujarnya dalam Rapat Dewan Komisioner Bulanan (RDKB) OJK pada Jumat (13/12/2024).

Sebelumnya, ia mengatakan meskipun transaksi bursa karbon belum begitu ramai, namun perdagangan bursa karbon tetap prospektif. Raupan transaksi bursa karbon saat ini pun dinilai merupakan bentuk capaian tersendiri, sebab mengacu global, dalam menjalankan suatu bursa karbon yang aktif, Emission Trading System (ETS) membutuhkan waktu 10-20 tahun.

Ia pun membandingkan dengan negara tetangga, yakni Malaysia yang juga butuh waktu 2 tahun untuk bisa terjadi transaksi bursa karbon.

Sebelumnya, Kepala Divisi Pengembangan Bisnis 2 BEI Ignatius Denny Wicaksono mengatakan masih belum ramainya perdagangan bursa karbon sebenarnya terjadi secara global.

"Penggunaan offset net zero memang luar biasa menurun," ujarnya setelah acara Ring The Bell for Climate dan Closing Ceremony IDX Net Zero Incubator pada bulan lalu (20/11/2024).

Angka perdagangan di bursa karbon Indonesia saat ini menurutnya lebih tinggi dibandingkan bursa di negara lain, seperti bursa Malaysia dan bursa Jepang yang telah lebih dahulu meluncur.

"Ini menandakan ada tekanan terhadap karbon kredit," kata Ignatius. 

Adapun, alasan lesunya bursa karbon global menurutnya dipengaruhi salah satunya oleh fenomena greenwashing, atau teknik pemasaran yang dilakukan perusahaan guna menciptakan citra ramah lingkungan, namun menyesatkan.

Dilansir dari Bloomberg, Otoritas Sekuritas dan Bursa Eropa atau European Securities and Markets Authority (ESMA) melakukan tinjauan terhadap lebih dari 200 bank dan manajer aset selama dua tahun. Terdapat indikasi bahwa praktik environmental, social, and governance (ESG) tidak berjalan ‘hijau’ sebagaimana mestinya. 

Otoritas juga menemukan bahwa sejumlah industri keuangan di Eropa gencar menggembar-gemborkan kredensial ESG mereka tanpa memberikan dokumentasi. Hal itu pun memicu kekhawatiran baru soal praktik greenwashing yang besar.

"Akan tetapi ini [greenwashing] harusnya segera dinavigasi dengan baik," tutur Ignatius. 

Selain itu, di Indonesia sendiri belum terdapat ketentuan terkait pajak karbon. Menurut Ignatius, apabila terdapat pajak karbon, maka bursa karbon wajib akan mendapatkan dorongan.

"Ada dorongan penurunan emisi ataupun trading karbon, supaya perusahaan tidak kena pajak, maka [bursa karbon] akan jauh meningkat," ujarnya.

Ketua Dewan Komisioner OJK Mahendra Siregar juga mengatakan dalam mendongkrak perdagangan di bursa karbon Indonesia memang dibutuhkan peran pemerintah. Sebab, produk karbon yang terserap nantinya menjadi kewenangan pemerintah.

"Mulai dari produk karbon, registrasinya, sertifikasinya, surveinya, dan semua dari sisi pasokan. Dari sisi permintaan juga dilakukan pengembangan ekosistemnya," kata Mahendra.

Sejauh ini, menurutnya juga belum ada batas atas emisi maksimum di industri. Alhasil, tidak ada insentif atau disinsentif untuk pengurangan karbon. 

Sumber