Cancel Culture dan Penghakiman Digital
Pada era digital saat ini, muncul fenomena yang dikenal dengan sebutan cancel culture yakni suatu jenis pembatalan sosial yang ditujukan kepada orang atau organisasi yang dianggap melanggar norma-norma sosial atau melakukan kesalahan publik. Di media sosial, komentar yang menyinggung atau perilaku yang tidak pantas dapat dengan cepat memicu reaksi besar atau mungkin bahkan menyebabkan dampak negatif yang jauh lebih luas. Dengan meningkatnya penggunaan media sosial yang mempengaruhi persepsi masyarakat tentang keadilan dan moralitas, cancel culture menjadi masalah yang signifikan.
Mekanisme Kompleks
Cancel culture bukanlah sekadar fenomena kebencian semata, melainkan sebuah mekanisme kompleks yang melibatkan publikasi, komentar, dan reaksi dari masyarakat luas. Media sosial berperan penting dalam proses ini, menjadi "pengadilan publik" di mana individu atau organisasi bisa dihukum dengan cara dihapus atau diboikot dari ruang digital. Proses ini sering dilakukan tanpa adanya pertimbangan mendalam atau ruang untuk klarifikasi.
Sebagai contoh, sebuah survei yang dilakukan oleh Pew Research Center pada 2023 mengungkapkan bahwa 58% orang dewasa di AS merasa bahwa masyarakat terlalu cepat dalam men-cancel individu atau organisasi hanya karena satu pernyataan kontroversial. Hal ini menunjukkan betapa cepatnya keputusan sosial diambil, tanpa mempertimbangkan konteks atau niat di balik pernyataan tersebut.
Meskipun sering dipandang negatif, cancel culture memiliki sisi positif yang signifikan. Salah satunya adalah meningkatkan akuntabilitas publik, di mana orang atau kelompok yang berkuasa dipaksa untuk mempertanggungjawabkan perbuatan atau perkataan mereka. Selain itu, kelompok-kelompok marjinal yang sebelumnya diabaikan dalam wacana sosial sekarang memiliki suara dan platform berkat "budaya batal" ini. Masyarakat menjadi lebih sadar akan pentingnya etika dan moral dalam berbagai tindakan sosial, yang dapat mendorong perubahan perilaku sosial ke arah yang lebih baik.
Namun, sisi negatif cancel culture tak bisa diabaikan begitu saja. Salah satunya adalah tekanan psikologis yang dialami oleh individu atau kelompok yang menjadi target cancel culture. Proses ini sering tidak mempedulikan dampak emosional dan mental pada mereka yang dihukum. Selain itu, cancel culture dapat mengurangi ruang untuk dialog konstruktif, karena semua argumen cenderung dipotong dengan "cancel" tanpa adanya kesempatan untuk klarifikasi atau penjelasan lebih lanjut. Berdasarkan survei YouGov 2023, sekitar 36% responden mengaku pernah mengalami atau mengenal seseorang yang menjadi target cancel culture, yang menunjukkan betapa luasnya fenomena ini menyebar dalam kehidupan sehari-hari.
Dipengaruhi Budaya Lokal
Di Indonesia, cancel culture memiliki karakteristik yang lebih dipengaruhi oleh budaya lokal, di mana nilai-nilai sosial dan agama sering menjadi acuan dalam menilai seseorang. Contoh kasus yang terjadi, seperti selebriti yang dikecam publik karena ucapannya yang dianggap melanggar norma sosial, menunjukkan bagaimana media sosial bisa menjadi alat yang sangat kuat dalam menentukan nasib seseorang. Media sosial, dalam hal ini, berperan penting dalam membentuk opini publik dan mempercepat proses "penghakiman" terhadap individu atau organisasi.
Dengan 167 juta pengguna media sosial aktif di Indonesia pada 2024, semakin banyak orang yang terlibat dalam dinamika ini. Karena ada begitu banyak pengguna, respons terhadap satu masalah dapat menyebar dengan cepat, sehingga lebih sulit untuk mengatur cancel culture.
Mengingat dampak positif dan negatif dari cancel culture, penting untuk menemukan solusi yang bijak. Salah satu langkah awal adalah meningkatkan literasi digital di masyarakat. Pendidikan mengenai bagaimana menggunakan media sosial secara bijak dan memahami konsekuensi dari setiap tindakan atau pernyataan di dunia maya sangat penting untuk membangun ekosistem digital yang sehat.
Selain itu, membangun budaya dialog yang sehat di media sosial menjadi hal yang tidak kalah penting. Menghargai perbedaan pendapat dan memberi ruang bagi klarifikasi akan membantu menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan berpikir kritis. Reformasi sistem moderasi konten digital juga diperlukan untuk memastikan bahwa platform-platform ini tidak menjadi "hakim" yang terlalu cepat mengambil keputusan tanpa memberi kesempatan untuk perbaikan.
Cancel culture adalah fenomena sosial yang mencerminkan bagaimana masyarakat modern mendefinisikan keadilan. Namun, seperti halnya dengan fenomena sosial lainnya, cancel culture harus dihadapi dengan bijak. Membangun keseimbangan antara akuntabilitas sosial dan hak individu sangat penting, serta memperhatikan dampak psikologis yang timbul akibat proses ini. Kita perlu menciptakan ekosistem digital yang lebih sehat dan memberi ruang bagi pemikiran kritis serta dialog konstruktif.
Dewi Yulia Yanti mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta
Lihat juga video Kedua Kali Jadi Dosen Tamu UGM, Prilly Latuconsina Bahas Cancel Culture
[Gambas Video 20detik]