Cerita Calon PMI Asal Sumbawa Korban Penipuan, Tak Tahu Jalani Rekrutmen Ilegal
TANGERANG, KOMPAS.com - Salamah (42), calon pekerja migran Indonesia (PMI) asal Sumbawa, Nusa Tenggara Barat (NTB) tak menyangka dirinya menjalani perekrutan ilegal untuk dipekerjakan sebagai PMI di luar negeri.
Dia baru menyadari ada yang tidak beres dalam proses perekrutan setelah tiba di tempat penampungan calon PMI di Kota Bogor, tempat dirinya bersama calon tenaga kerja lain dikumpulkan oleh "agen".
“Saya sampai sini baru tahu kalau ini diurus secara ilegal. Negara tujuan kami katanya Abu Dhabi, Uni Emirat Arab,” ujar Salamah di shelter PMI Tangerang, Jurumudi, Benda, Kota Tangerang, Jumat (27/12/2024).
Salamah mengatakan, dirinya sempat bekerja secara resmi di Arab Saudi sekitar 20 tahun lalu. Pengalaman yang Salamah miliki membuat dia percaya bahwa proses kali ini serupa dengan yang dulu ia jalani.
Perempuan paruh baya itu tak menaruh rasa curiga karena semua biaya, termasuk pembuatan paspor, ditanggung oleh agen.
“Prosesnya lebih mudah sekarang, saya tidak mengeluarkan sepeser pun. Mereka menjanjikan gaji 1.200 dirham,” kata Salamah.
Lebih lanjut, Salamah bercerita, perjalanannya menuju Bogor dimulai dari Sumbawa menggunakan travel menuju bandara. Ia lalu naik pesawat menuju Jakarta.
Dari Jakarta, Salamah dijemput seseorang yang tidak ia kenal dan diantar ke sebuah apartemen di Kota Bogor. Di apartemen itulah, dia tinggal bersama delapan calon PMI lain selama seminggu.
“Harusnya lima orang dari kami terbang hari Selasa (24/12/2024), tapi sampai sekarang belum ada kepastian. Kami hanya dibekali makan minum, tanpa uang sama sekali,” jelas dia.
Cerita serupa juga disampaikan Tati (43), calon PMI asal Karawang yang tertipu proses perekrutan ilegal. Tati pernah bekerja di Yordania selama empat tahun.
Dia menaruh rasa curiga sebab proses perekrutan kali ini berbeda dengan yang sebelumnya dia jalani.
“Kalau dulu, semua syarat lengkap, ada izin suami, KK, KTP, dan pelatihan satu bulan di PT. Tapi sekarang, saya hanya diminta dokumen tanpa tahu kelanjutannya,” kata Tati.
Tati pun bingung ketika tiba-tiba dibawa ke apartemen, bukan ke kantor perusahaan tenaga kerja.
Namun, Tati hanya bisa mengikuti arahan agen, hingga polisi datang dan mengungkap status ilegal proses rekrutmen calon PMI tersebut.
“Saya tanya kapan terbang, katanya nanti malam, tapi enggak jelas jamnya. Paginya sarapan, eh tiba-tiba jam dua polisi datang,” kata dia.
Salamah dan Tati sama-sama menyebut alasan ekonomi menjadi pendorong keduanya untuk mencari pekerjaan di luar negeri.
“Saya mau kerja, bukan karena iming-iming agen. Saya enggak tahu kalau ini ilegal,” ucap Salamah.
Sebelumnya diberitakan, Kementerian Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (KPPMI) menggagalkan upaya pengiriman delapan calon pekerja migran Indonesia (CPMI) ke Uni Emirat Arab (UEA) ilegal.
Menteri PPMI, Abdul Kadir Karding menjelaskan, pengungkapan kasus ini berawal dari informasi mengenai penampungan CPMI di sebuah apartemen di Kota Bogor, Jawa Barat, Senin (23/12/2024) pukul 20.30 WIB.
Setelah menerima informasi tersebut, PPMI melakukan pemantauan Selasa (24/12/2024) dan menemukan indikasi adanya makelar atau calo.
"Kami mengamankan terduga calo berinisial MZL alias ZL alias A dan melakukan wawancara singkat," ujarnya.
Dari hasil wawancara, diketahui terdapat delapan CPMI perempuan yang berasal dari Lampung, Jawa Barat, dan Nusa Tenggara Barat dengan rentang usia 37 hingga 50 tahun.
Para CPMI tersebut dijanjikan pekerjaan sebagai asisten rumah tangga dengan gaji sebesar Rp 9 juta per bulan.
"Modusnya nonprosedural. Mereka dijanjikan bisa berangkat kerja dan akan diberi uang Rp 9 juta, tapi kenyataannya hanya diberi Rp 2 juta," jelas dia.
Pengembangan kasus ini mengarah pada seorang wanita berinisial MK, yang diduga mengelola dokumen dan penampungan para CPMI. MK diamankan di Ranca Bungur, Bogor, pada Selasa (24/12/2024) malam.
"Tim Reaksi Cepat KPPMI bergabung dengan Resmob Polres Bogor Kota melakukan pengejaran terhadap calo berinisial MK, dan sekitar pukul 21.15 WIB, MK berhasil diamankan guna proses hukum di Kepolisian," tambah Abdul Kadir.
Dari penangkapan ini, barang bukti yang ditemukan meliputi KTP, paspor, dan dokumen pendukung lainnya yang diduga akan digunakan untuk keberangkatan CPMI melalui Bandara Juanda, Surabaya.
Atas perbuatannya, kedua pelaku dijerat Pasal 81 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Pelindungan Pekerja Migran Indonesia, dengan ancaman hukuman hingga 10 tahun penjara dan denda maksimal Rp15 miliar.
Selain itu, pelaku juga dikenakan Pasal 2 Ayat (2) Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.