Cerita Pasien Diare Parah Bisa Tertolong Berkat Internet, Kok Bisa?
Kemajuan teknologi memberikan dampak signifikan dalam berbagai bidang, termasuk kesehatan. Salah satu cerita inspiratif datang dari Puskesmas Lampeapi, Kecamatan Wawonii Tengah, Kabupaten Konawe Kepulauan. Dengan bantuan internet, pelayanan kesehatan di wilayah ini menjadi lebih cepat dan efisien, bahkan mampu menyelamatkan pasien dalam kondisi kritis seperti diare parah.
Kepala Puskesmas Lampeapi Zainal Abidin, mengisahkan sebelum adanya internet, penyampaian informasi di puskesmas sangat lambat. Koordinasi antar-tenaga kesehatan dilakukan dengan menitip pesan kepada pihak ketiga, atau menggunakan surat yang membutuhkan waktu berhari-hari. Dalam situasi darurat, kecepatan itu adalah kemewahan yang tidak dimiliki.
"Dulu sebelum ada fasilitas semacam WiFi, kami di sini aksesnya masih setengah mati karena pemberian informasi itu ke bidang-bidang, untuk menyampaikan itu masih sifatnya kita misalnya menitip sama orang, tolong misalnya kayak gini kalau ada yang mau ke bidan ini, sampaikan," kata Zainal kepada detikcom belum lama ini.
Namun, semuanya berubah ketika BAKTI Aksi (Akses Internet) dari Badan Aksesibilitas Telekomunikasi dan Informasi (BAKTI) Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mulai hadir di puskesmas ini. Dengan jaringan yang sederhana, tim medis kini dapat berkomunikasi melalui grup WhatsApp, mengirim laporan secara digital, dan bahkan berkonsultasi jarak jauh dengan dokter spesialis.
Kasus Pasien Diare Parah
Salah satu momen yang paling membekas bagi Zainal adalah ketika seorang pasien datang dalam kondisi darurat akibat muntaber. Pasien tersebut menunjukkan gejala dehidrasi berat, dengan cairan tubuh yang terus keluar tanpa henti. Saat itu, tim medis di Puskesmas menghadapi keterbatasan sumber daya, termasuk stok cairan infus yang hampir habis.
"Diare itu kan semacam emergency juga karena dia mengeluarkan cairan terus, apalagi kalau sudah mengarah ke muntaber. Jadi pada saat itu kebetulan WiFi belum lama masuk, masih bagus sekali jaringannya. Jadi itu hari terbantu, karena dokter yang menangani itu yang seharusnya dia sudah masuk Kendari, tidak jadi karena cepat kita connect. Kalau dia yang tidak ada internet Wallahu ‘alam," cerita Zainal mengingat-ingat masa itu.
Terkadang, penyakit ini mungkin dianggap sepele oleh kebanyakan orang, tetapi ternyata muntaber bisa mematikan. Pada 2019, sekitar 1,5 juta orang di seluruh dunia meninggal akibat diare seperti dikutip dari laman resmi WHO.
Saat seseorang mengalami diare, tubuh banyak kehilangan cairan karena feses yang cair. Ketika cairan tubuh pasien hilang secara terus-menerus, tentunya keseimbangan ion dalam tubuh akan terganggu dan fungsi organ serta jaringan tubuh otomatis tidak akan bekerja secara optimal.
Jika hal ini tidak ditangani secara cepat, gangguan fungsi ginjal, kejang, asidosis metabolik, hingga syok hipovolemik bisa saja terjadi, bahkan ini bisa saja membuat pengidapnya kehilangan nyawa. Dalam situasi darurat seperti ini, tentunya komunikasi cepat antara tenaga medis sangat krusial.
"Kalau muntaber, terlambat sedikit karena kami itu hari, dengan kondisi Puskesmas masih dengan keterbatasan, itu hari malah cairan kami terbatas. Pasien dengan kondisi juga sudah terlambat mereka datang, jadi sudah hampir sianosis, infusnya juga sudah di kaki. Sudah harus dokter (yang tangani) kami perawat memang sudah kewalahan. Jadi alhamdulillah itulah yang sangat membantu, informasi ini," kata Zainal.
"Itu salah satu, karena cepat kita hubungi, walaupun saat itu belum berlaku rujukan online, tapi sudah ada koordinasi yang baik," imbuhnya.
Lebih dari Sekadar Alat Komunikasi
Manfaat internet di Puskesmas Lampeapi tidak hanya berhenti pada penyelamatan pasien kritis. Zainal dan timnya juga menggunakannya untuk upaya edukasi masyarakat. Informasi tentang berbagai agenda puskesmas, pemeriksaan kesehatan, hingga kegiatan sunatan massal disampaikan melalui grup WhatsApp atau media sosial.
"Kayak ini misalnya grup Keluarga Lampeapi Raya. Apa-apa yang sifatnya, yang terjadi di masyarakat, supaya mereka tidak gagal paham, salah satu terobosan kami untuk yang sifatnya upaya promotif, promosi, dengan yang sifatnya preventif, pencegahan. Itulah kami menggunakan media supaya orang itu dengan membuka, membaca lebih memahami," jelas Zainal.
Melalui suara yang tegas namun penuh optimisme, Zainal berharap dengan adanya internet ini, Puskesmas Lampeapi bisa lebih maju, setara dengan Puskesmas lain. Selain itu, jaringan internet ini bisa membantu petugas Puskesman untuk mempermudah akses pelayanan ke masyarakat.
"Dalam hal ini baik untuk mengedukasi atau memberikan sharing informasi. Jadi, kami sangat berterima kasih dengan adanya WiFi ini, sehingga kami mampu memberikan pelayanan yang baik kepada masyarakat dan memberikan edukasi yang sebaik-baiknya," tutupnya.
Kisah dari Puskesmas Lampeapi adalah bukti bahwa teknologi, meski sederhana, mampu mengubah wajah pelayanan kesehatan di pelosok negeri. Internet, yang sering dianggap remeh di kota-kota besar, menjadi tali penghubung antara hidup dan mati di tempat seperti Wawonii.
Mungkin, bagi pasien diare itu, internet bukan sekadar jaringan data. Ia adalah harapan, tangan yang terulur di saat paling membutuhkan, dan bukti nyata bahwa kemajuan teknologi bisa membawa keajaiban di ujung negeri.
detikcom bersama BAKTI Kementerian Komunikasi dan Digital (Komdigi) mengadakan program Tapal Batas untuk mengulas perkembangan ekonomi, wisata, infrastruktur, dan pemerataan akses internet di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar). Ikuti terus berita informatif, inspiratif, unik dan menarik dari program Tapal Batas di tapalbatas.detik.com!
Saksikan juga video Mengenal Mas Adi, Pahlawan Sinyal dari Wawonii
[Gambas Video 20detik]