Cerita Penutur Terakhir Bahasa Ponosakan yang Hampir Punah, Penggunanya Kurang dari 10 Orang
KOMPAS.com - Bahasa Ponosakan, cabang dari bahasa Mongondow-Gorontalo di Minahasa, Sulawesi Utara, mulai memudar sejak awal abad ke-20 dan kini menjadi bahasa daerah dengan penutur paling sedikit di seluruh Sulawesi.
Apa jadinya jika sebuah bahasa terancam punah dan tak lagi dipakai dalam percakapan sehari-hari?
Ini terjadi pada Bahasa Ponosakan, bahasa daerah yang dipakai Suku Ponosakan di Kecamatan Belang, Minahasa Tenggara, Sulawesi Utara.
Menurut para penuturnya, tersisa kurang dari 10 orang yang masih menggunakan bahasa tersebut. Namun, semuanya berusia lebih dari 50 tahun.
Bahasa ini hanya digunakan jika para penuturnya berjumpa satu sama lain. Itu bukanlah suatu hal yang terjadi setiap hari.
"Rasanya sedih kalau sampai bahasa ini hilang," kata Wasila Pua, 82 tahun, salah satu orang tertua yang fasih berbahasa Ponosakan, saat ditemui BBC News Indonesia di kediamannya di Desa Buku, Kecamatan Belang, Minahasa Tenggara, Juli lalu.
"Sedih dan ada penyesalan kalau bahasa Ponosakan punah, karena kami kan orang Ponosakan dan itu adalah bahasa kami," tutur Rohana Nou, seraya membenarkan perkataan Wasila.
Rohana, 62 tahun, seorang pensiunan PNS, adalah satu dari sedikit orang yang bisa berbahasa Ponosakan.
Catatan penjelajah Belanda pada 1682 mengungkap bahwa Suku Ponosakan dahulu merupakan suku kuat yang disegani di kawasan pelabuhan kecil di tepi Laut Maluku—kini menjadi bagian wilayah Kecamatan Belang, di Minahasa Tenggara.
Warga etnis ini bercakap menggunakan bahasa Ponosakan, cabang dari Bahasa Mongondow-Gorontalo.
Bahasa ini mulai menghilang sejak awal abad ke-20 dan kini menjadi bahasa daerah dengan penutur paling sedikit di seluruh Sulawesi.
Pada Perang Dunia Kedua, setidaknya setengah dari warga Belang adalah pendatang dari berbagai kota dan pulau di Indonesia, serta dari Arab dan China.
Semakin lama, bahasa Melayu Manado kian banyak digunakan sebagai bahasa sehari-hari, sehingga Bahasa Ponosakan semakin terpinggirkan.
Pada 1950-an, sangat sedikit anak-anak yang masih belajar bahasa Ponosakan.
Penelitian pada 1983 memperkirakan penutur bahasa ini berjumlah 3.000 orang, dan pada 1991 tinggal tersisa 2.000 orang.
Pada masa itu, bahasa ini dipakai sebagai ‘bahasa rahasia’ dalam rumah tangga, yaitu ketika percakapan orang-orang tua tidak ingin diketahui anak-anak.
Penelitian ini sejalan dengan pengalaman Rohana ketika SMA pada tahun 1980-an.
Saat itu dia dan teman-teman seusianya merantau ke ibu kota provinsi, Manado, dan tidak lagi menggunakan bahasa Ponosakan dalam percakapan sehari-harinya.
"Orang yang merantau sudah tidak mau lagi bicara bahasa Ponosakan,” katanya, seraya menambahkan bahwa banyak orang kala itu menganggap bahasa ini “sudah kuno”.
“Jadi anak-anak seumuran SMA saat itu sudah tidak lagi bicara bahasa ini," kata Rohana kemudian.
Kini, Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa mengkategorikan bahasa Ponosakan sebagai bahasa yang terancam punah dan hanya dipakai di Desa Tababo.
"Pemakaian bahasa Ponosakan dalam komunikasi di lingkungan masyarakat Suku Ponosakan hampir tidak dapat ditemukan lagi. Dalam ranah keluarga, bahasa ini hanya dikuasai oleh para orang tua," demikian keterangan tersebut.
Dokumentasi BBC Indonesia Semakin lama, bahasa Melayu Manado kian banyak digunakan sebagai bahasa sehari-hari, sehingga Bahasa Ponosakan semakin terpinggirkan.Seorang peneliti dari Amerika Serikat yang melakukan riset jangka panjang tentang bahasa Ponosakan yang dipublikasikan pada 2016 mengatakan bahwa bahasa ini "sekarat dan hampir mati diam-diam".
Dalam penelitiannya, Jason William Lobel mewawancarai empat orang yang disebutnya sebagai penutur terakhir bahasa Ponosakan dan merekam kosakata bahasa ini agar tidak hilang dan dilupakan.
Keempat orang yang diwawancara itu sudah tidak ditemukan lagi, ketika tim dari Balai Bahasa Sulawesi Utara melakukan survei keberadaan penutur jati bahasa Ponosakan ke Desa Tababo pada 2022.
"Orang-orang tua itu sudah meninggal," kata Wasila Pua.
Wasila termasuk orang-orang terakhir yang menyebut bahasa Ponosakan sebagai bahasa ibu. Dulu, kenang Wasila, bahasa Ponosakan masih banyak dipakai dalam kehidupan sehari-hari.
"Di sini saya kenal semua dengan orang-orang yang bisa bicara [bahasa Ponosakan]. Teman-teman zaman dulu masih bicara, tapi sekarang tinggal sedikit," kata Wasila.
Dia kemudian berusaha menghitung siapa saja yang masih bisa diajaknya bicara bahasa ini. Sementara itu, anak-anaknya tidak lancar menggunakan bahasa ini.
"Mereka bilang kuno. Jadi saya pakai bahasa Melayu, campur-campur dengan anak-anak," kata Wasila.
Setelah suaminya meninggal, Wasila tinggal sendirian dan tak lagi menggunakan bahasa Ponosakan dalam kesehariannya.
Dia hanya menggunakan bahasa ini jika bertemu dengan penutur lain. Seperti hari itu, saat Rohana berkunjung ke rumahnya dan mengajaknya bercengkerama dengan bahasa ibunya.
"Seharusnya diusahakan [untuk melestarikan]," kata Wasila. "Tapi, mau bagaimana lagi kalau tidak ada yang meneruskan."
Dokumentasi BBC Indonesia Wasila Pua, salah satu orang yang menyebut Bahasa Ponosakan sebagai bahasa ibu.Erfie Liu, 65 tahun, adalah salah satu penutur bahasa Ponosakan.
Sebagai Hukum Tua Tababo, sebutan untuk kepala desa, dia hapal betul siapa saja yang masih bisa berbahasa Ponosakan.
Desanya terdiri atas 277 kepala keluarga dan 888 jiwa. Hampir semuanya berasal dari etnis Suku Ponosakan yang beragama Islam.
Erfie menjelaskan bahwa generasinya yang saat ini masih bisa berbahasa Ponosakan, belajar bahasa itu bukan dari orang tua mereka, tapi dari kakek dan nenek.
"Belajarnya bukan dari orang tua, dari bapak dan ibu, tapi dari kakek dan nenek. Memang ini uniknya, kami belajar bahasa Ponosakan itu justru dari kakek-nenek ke cucu, bukan kepada anak," kata Erfie.
"Ada semacam missing link, mata rantai pelestarian yang terputus di antara anak dan cucu, yaitu orang tua kami."
Rohana dan Saldi Sineke membenarkan pernyataan Erfie. Keduanya juga belajar bahasa Ponosakan dari kakek dan nenek mereka.
"Saya tinggal dengan nenek saya. Nenek saya setiap hari selalu bicara bahasa Ponosakan jadi saya mendengar dan kemudian bisa bicara," kata Rohana yang kini berusia 64 tahun.
"Semua yang seumuran saya, yang sekarang mengerti dan paham bahasa Ponosakan adalah cucu-cucu yang belajar dari kakek-nenek," kata Erfie.
Dia ingat bahwa saat masih kecil dulu, bahasa Ponosakan memang sudah tidak banyak digunakan. Bahasa yang dipakai sehari-hari di desa dan keluarganya adalah bahasa Melayu Manado.
"Mungkin penyebab [hampir punahnya bahasa ini] juga sistem komunikasi, interaksi dan keluarga yang kurang untuk mengajarkan bahasa dari orang tua ke anak," kata Erfie, yang mengakui bahwa anak-anaknya pun enggan belajar bahasa Ponosakan.
Bersama hilangnya sebuah bahasa, hilang pula adat istiadat dan budaya yang terkait di dalamnya. Dalam bahasa, ada juga nilai-nilai budaya lain yang berbicara, menurut Rohana.
“Seperti perkawinan atau kedukaan, atau acara ketika seorang anak sudah dewasa, itu ada adat Ponosakan yang dilakukan dengan bahasa Ponosakan. Sekarang bisa dibilang tidak ada lagi," kata Rohana..
"Misalnya adat perkawinan, tata cara meminang seperti apa, hilang itu. Bahasa hilang, juga adat dan budaya," kata Erfie.
Dokumentasi BBC Indonesia Saya merindukan bahasa ini seperti dulu lagi. Dulu, setiap ketemu orang kami berbahasa Ponosakan, kata Rohana.Rohana, Erfie Liu dan Saldi Sineke, sepakat bahwa bahasa Ponosakan penting untuk dilestarikan.
Hari itu, ketiganya bertemu di kantor Kepala Desa Tababo, saling menyapa dan bicara dengan bahasa Ponosakan. Mereka adalah tiga individu dari sekelompok orang yang paling aktif berupaya melestarikan bahasa ini.
"Bahasa ini penting untuk jati diri sebagai orang Ponosakan. Walaupun anak-anak sudah belajar bahasa lain, tapi jangan lupakan bahasa daerah. Sebagai jati diri bangsa, jati diri mereka bahasa orang Ponosakan," kata Erfie.
"Saya merindukan bahasa ini seperti dulu lagi. Dulu, setiap ketemu orang kami berbahasa Ponosakan," kata Rohana.
Untuk itu, dia berusaha mencatat kosakata Bahasa Ponosakan yang masih diingat oleh para penutur yang masih tersisa.
Salah satunya, Rohana kerap bertandang ke rumah Wasila untuk mewawancarai Wasila tentang kosakata dalam bahasa Ponosakan yang telah dia lupakan.
"Sudah sejak lima tahun terakhir ini kami mengunjungi orang-orang tua yang masih ada dan mewawancarai mereka tentang kosakata (bahasa Ponosakan). Sampai di rumah, saya tulis semua kosa kata itu," kata Rohana.
Rohana menyadari bahwa pencatatan penting, karena selama ini sangat sedikit catatan mengenai bahasa ini. Sebagian dari orang-orang tua yang pernah diwawancarainya kini sudah meninggal, bersama pengetahuan dan ingatan mereka tentang bahasa ini.
"Saya sendiri sering lupa karena sudah lama tidak bicara. Kalau ketemu [penutur lain] baru bicara," kata Rohana.
Dokumentasi BBC Indonesia Rohana dan Erfie berupaya melestarikan Bahasa Ponosakan.Dia juga pernah diminta menerjemahkan buku anak-anak dan Alkitab ke dalam bahasa Ponosakan. Meskipun beragama Islam, Rohana mengatakan sangat senang diminta menerjemahkan Alkitab ke dalam bahasa Ponosakan.
Rohana, Erfie dan beberapa penutur lainnya juga menggagas komunitas kecil bagi mereka untuk mengajarkan bahasa Ponosakan kepada anak-anak muda.
"Kami ingin membuat semacam kaderisasi di lingkungan kami, untuk mencoba mengajarkan kepada generasi muda. Kami coba ajarkan kata-kata yang sederhana saja dulu," kata Erfie.
Dia juga berusaha menyelipkan kosa kata bahasa Ponosakan di dalam berbagai kegiatan sosial, termasuk dalam mimbar-mimbar di masjid.
"Misalnya, dalam sambutan keluarga misalnya di pesta, atau di kedukaan, sisip bahasa penosakan. Supaya masyarakat dan publik tahu, bahwa bahasa Penosakan masih hidup, masih ada," kata Erfie.
Dia juga terus mendorong agar pemerintah daerah turut melakukan program pelestarian. Saat ini, pemerintah telah berupaya melestarikan bahasa Ponosakan dengan program dari Dinas Pendidikan dan Pariwisata.
Mulai 2024, bahasa Ponosakan sederhana sudah diajarkan pada murid-murid sekolah dasar.
Saat ini, sudah ada kamus bahasa Ponosakan yang diterbitkan oleh Dinas Pendidikan maupun Balai Bahasa Sulawesi Utara.
Beberapa istilah dalam bahasa ini juga akan diusulkan untuk ditambahkan ke dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia untuk memperkaya khasanah perbendaharaan Bahasa Indonesia.
Rohana dan Erfie dilibatkan sebagai narasumber pakar yang memberikan pengetahuannya kepada para guru yang mengajarkan bahasa daerah di sekolah dasar, juga menambahkan kosakata pada kamus bahasa Ponosakan.
Rohana mengaku senang ketika anak angkatnya yang baru duduk di bangku kelas 2 di sekolah dasar (SD), bisa berhitung angka 1-10 dengan bahasa Ponosakan meskipun dia tidak mengajarkan anaknya untuk bicara bahasa Ponosakan di rumah.
Dokumentasi BBC Indonesia Rohana, Erfie dan beberapa penutur lainnya juga menggagas komunitas kecil bagi mereka untuk mengajarkan bahasa Ponosakan kepada anak-anak muda.Upaya-upaya itu membuat Erfie dan Rohana masih optimistis akan pelestarian bahasa Ponosakan.
"Kami optimistis karena ada respons, walaupun sedikit saja ada respons. Mereka mengerti, berarti ada pemahaman sedikit tentang bahasa penosakan," kata Erfie.
"Ini penting sebagai jati diri orang yang ada di wilayah Ponosakan, orang perlu untuk belajar. Walaupun anak-anak sudah belajar bahasa lain, tapi jangan lupakan bahasa daerah. Sebagai jati diri bangsa, jati diri mereka bahasa orang Ponosakan," kata Erfie.
Meski demikian dia menyadari bahwa perlu kesabaran dan keteguhan untuk kembali melihat bahasa ini kembali dipakai lebih banyak orang.
"Sebab bahasa daerah itu kan memperkaya bahasa Indonesia. Karena dari bahasa-bahasa daerah ini budaya budaya Indonesia bisa berkembang, termasuk dari budaya dan bahasa Ponosakan," kata Rohana.
Bagaimanapun, upaya-upaya ini berkejaran dengan waktu mengingat mereka yang fasih berbahasa Ponosakan semakin tua.
Penelaah Kebijakan Teknis Balai Bahasa Provinsi Sulawesi Utara, Nurul Qomariah, mengungkapkan bahasa Ponosakan berstatus sebagai terancam punah, merujuk kategori vitalitas bahasa daerah.
Dia mengatakan ada beberapa kategori vitalitas bahasa daerah. Pertama, sebuah bahasa disebut berstatus aman jika bahasa masih dipakai oleh semua anak dan orang dewasa dalam etnik tersebut.
Tingkat kedua adalah stabil tapi terancam punah, yaitu ketika bahasa itu masih dipakai oleh anak-anak dan orang tua, tapi jumlah penuturnya sedikit.
Tingkat ketiga adalah ‘mengalami kemunduran’ yaitu ketika sebagian penuturnya tidak lagi menggunakan bahasa daerahnya.
Ketika sebuah bahasa mengalami kemunduran dan penuturnya semakin berkurang, bahasa tersebut berisiko masuk dalam tingkat keempat terancam punah. Yaitu, ketika semua penuturnya semakin sedikit dan semuanya berusia di atas 20 tahun ke atas.
Generasi tua tidak lagi berbicara pada anak-anaknya menggunakan bahasa mereka.
Tingkat kelima adalah kritis, yaitu ketika semua penutur berusia di atas 40 tahun dan jumlahnya sedikit. Tanpa regenerasi, bahasa daerah dikhawatirkan bisa jatuh ke kategori terakhir, yakni punah. Tidak ada lagi penuturnya.
"Bahasa Ponosakan tidak digunakan dalam keluarga, hanya tinggal orang-orang tua. Juga tidak lagi digunakan dalam komunikasi masyarakat sebagai pengerat budaya, sehingga ini ikut andil dalam kepunahan bahasa ini," kata Nurul Qomariah.
Selain itu, menurutnya, bahasa Melayu-Manado yang digunakan sebagai lingua franca oleh masyarakat di seluruh Sulawesi Utara turut berperan sebagai penyebab kepunahan.
Dokumentasi BBC Indonesia Erfie menjelaskan bahwa generasinya yang saat ini masih bisa berbahasa Ponosakan, belajar bahasa itu bukan dari orang tua mereka, tapi dari kakek dan nenek.Nurul dan tim dari Balai Bahasa sempat melakukan pengumpulan data untuk mencari penutur asli bahasa Ponosakan di wilayah Kecamatan Belang pada tahun 2021. Saat itu, timnya kesulitan menemukan penutur yang berusia muda.
"Mereka yang bisa menuturkan dengan fasih dan menguasai bahasa Ponosakan hanya bisa dihitung dengan jari. Bahkan yang lebih miris, anak-anak muda sudah tidak menggunakan bahasa Ponosakan," kata Nurul.
Tanpa adanya pelestarian bahasa oleh pemerintah daerah setempat maupun upaya dari komunitas penuturnya, menurut Nurul, bahasa Ponosakan akan terancam punah seiring waktu.
Kendati diakui olehnya bahwa ada sejumlah kaum muda yang tahu beberapa kosakata, mereka tak fasih berbahasa Ponosakan.
"Hanya tahu ‘selamat pagi’, ‘terima kasih’. Itu artinya bukan penggunaan intensif," kata dia.
Lebih jauh Nurul menjelaskan bahwa bahasa identik dengan budaya sebab pengetahuan “diejawantahkan dalam bahasa”.
Menurutnya, “budaya akan tergerus jika pengetahuan kebahasaan juga hilang”.
Maka dari itu, lanjut Nurul, revitalisasi bahasa merupakan upaya yang harus dilakukan semua pihak dengan fokus pada anak-anak muda.
"Bagaimana bahasa bisa dilestarikan kalau generasi mudanya sudah tidak mau?" tandas Rohana Nou.