China Dibayangi Outflow Investor Asing dan Perlambatan Inflasi, Butuh Stimulus Lebih?

China Dibayangi Outflow Investor Asing dan Perlambatan Inflasi, Butuh Stimulus Lebih?

Bisnis.com, JAKARTA - Investor asing tercatat menarik lebih banyak uang keluar dari China pada kuartal III/2024. Catatan tersebut menjadi indikasi pesimisme investor meski pemerintah China telah meluncurkan langkah-langkah stimulus yang bertujuan untuk menstabilkan pertumbuhan.

Mengutip Bloomberg pada Minggu (10/11/2024), data dari Administrasi Valuta Asing Negara atau State Administration of Foreign Exchange mencatat, investasi langsung China dalam neraca pembayarannya turun US$8,1 miliar pada kuartal III/2024. Indeks tersebut, yang mengukur investasi asing langsung atau foreign direct investment (FDI) di China, turun hampir US$13 miliar dalam sembilan bulan pertama periode 2024.

Investasi asing di China telah merosot dalam tiga tahun terakhir setelah mencapai rekor tertinggi pada tahun 2021. Hal tersebut merupakan akibat dari ketegangan geopolitik, pesimisme terhadap negara dengan ekonomi terbesar kedua di dunia, dan persaingan yang lebih kuat dari perusahaan domestik China di industri seperti mobil. 

Jika penurunan ini terus berlanjut hingga akhir tahun ini, maka hal ini akan menjadi net outflow FDI tahunan yang pertama setidaknya sejak 1990, ketika data pembanding dimulai.

Perusahaan yang telah menarik kembali beberapa operasinya di China tahun ini termasuk produsen mobil Nissan Motor Co. dan Volkswagen AG, serta perusahaan lain seperti Konica Minolta Inc. Nippon Steel Corp. mengatakan pada bulan Juli bahwa mereka akan keluar dari usaha patungan di China, sementara International Business Machines Corp. menutup tim peneliti perangkat keras di negara tersebut, sebuah keputusan yang mempengaruhi sekitar 1.000 karyawan.

Prospek meluasnya perang dagang dan memburuknya hubungan dengan Beijing selama masa jabatan kedua Presiden terpilih AS Donald Trump mungkin akan semakin membebani investasi. Ketua Kamar Dagang Amerika di Shanghai, Allan Gabor menyebut, ketegangan geopolitik adalah kekhawatiran utama para pengusaha.

“Hal ini menyulitkan perencanaan investasi besar, namun sebaliknya, kami melihat banyak anggota melakukan investasi skala kecil dan menengah. Ini adalah lingkungan investasi yang jauh lebih sulit," kata Gabor dalam wawancara dengan Bloomberg TV pekan lalu saat China International Import Expo.

Namun, upaya pemerintah pada akhir September untuk menstimulasi perekonomian telah menguntungkan sekelompok investor asing, dengan nilai saham yang dimiliki oleh asing melonjak lebih dari 26% dibandingkan bulan Agustus, menurut data terpisah dari bank sentral. 

Sementara itu, indeks saham acuan China naik hampir 21% pada bulan September setelah dimulainya upaya stimulus terkoordinasi, meskipun sejak itu indeks tersebut telah kehilangan sebagian dari kenaikan tersebut.

Sebaliknya, investasi keluar dari China meningkat tajam. Pada kuartal III/2024, perusahaan-perusahaan Negeri Tirai Bambu meningkatkan aset mereka di luar negeri sekitar US$34 miliar, menurut data awal dari SAFE. Hal ini menyebabkan arus keluar pada tahun ini mencapai US$143 miliar, yang merupakan jumlah tertinggi ketiga dalam sejarah pada periode tersebut.

Perusahaan China seperti BYD Co. dengan cepat meningkatkan kehadiran mereka di luar negeri untuk mengamankan bahan mentah dan membangun kapasitas produksi di pasar luar negeri. Tren ini kemungkinan akan terus berlanjut dan meluas, karena semakin banyak negara yang mengenakan tarif terhadap beberapa ekspor China seperti baja dan Amerika Serikat mengancam akan menerapkan tarif hukuman terhadap semua barang China.

Inflasi Melambat

Belum efektifnya paket stimulus yang digelontorkan China juga terlihat dari melambatnya laju inflasi pada Oktober 2024. Mengutip data Biro Statistik Nasional China, indeks harga konsumen (IHK) China naik 0,3% secara year on year (yoy), dibandingkan dengan kenaikan 0,4% yoy pada bulan sebelumnya. 

Perkiraan rata-rata para ekonom yang disurvei oleh Bloomberg adalah bahwa pembacaan tersebut tidak akan berubah dari bulan September.

Sementara itu, inflasi inti, yang tidak termasuk harga pangan dan bahan bakar yang fluktuatif, meningkat 0,2%. Inflasi produsen merosot selama 25 bulan berturut-turut, dengan penurunan 2,9% per tahun, lebih dari penurunan 2,5% yang diprediksi oleh para ekonom.

Inflasi yang mendekati nol terus berlanjut memberikan bukti terbaru bahwa permintaan domestik China tetap rendah meskipun Beijing telah melakukan langkah-langkah stimulus sejak akhir September yang mencakup pemotongan suku bunga, lebih banyak uang tunai untuk pinjaman bank, dan dukungan untuk pasar saham dan properti.

Chief Economist for Greater China Jones Lang LaSalle Inc, Bruce Pang mengatakan, rentetan kebijakan stimulus China yang dikeluarkan sejak akhir September masih akan membutuhkan waktu untuk menunjukkan dampaknya dalam meningkatkan permintaan domestik.

"PPI (producer price index) yang negatif menyeret harga barang-barang konsumen, sementara kepercayaan konsumen dan permintaan yang lesu menarik kembali harga jasa," kata Pang dikutip dari Bloomberg, Minggu (10/11/2024).

Pang memperkirakan, laju inflasi akan tetap rendah hingga akhir tahun, yang akan meningkatkan prospek penurunan suku bunga lebih lanjut awal tahun depan.

Pemerintah mungkin akan mendapat tekanan lebih besar untuk meningkatkan kebijakan guna meningkatkan konsumsi, karena ekspor China — pendorong utama pertumbuhan negara tahun ini — menghadapi risiko tarif yang jauh lebih tinggi yang diancam oleh Presiden terpilih AS Donald Trump.

Pemerintah China telah berjuang untuk meningkatkan pengeluaran rumah tangga setelah kemerosotan real estat selama bertahun-tahun dan pasar kerja yang lemah menggerogoti kepercayaan. Harga produsen yang turun juga menekan laba perusahaan dan membuat mereka enggan berinvestasi.

Siklus penurunan harga yang mengakar berisiko menahan konsumen untuk tidak berbelanja karena mengantisipasi bahwa barang akan lebih murah di masa mendatang. 

“Pasar dengan cemas menunggu rincian stimulus fiskal yang potensial. Ukuran penting, tetapi komposisinya sama pentingnya,” kata Zhiwei Zhang, President and Chief Economist di Pinpoint Asset Management.

Sumber