CIA Temui Prabowo, Pakar Prediksi Terkait Joint Statement Soal Laut China Selatan
JAKARTA, KOMPAS.com - Kedatangan Direktur Central Intelligence Agency (CIA) William J Burns ke Wisma Indonesia, Washington DC, Amerika Serikat (AS), Selasa (12/11/2024) waktu setempat, untuk menemui Presiden Prabowo Subianto diduga terkait dengan "joint statement" di bidang maritim terkait Laut China Selatan.
Poin 9 dalam Pernyataan Bersama antara Presiden Prabowo dan Presiden China Xi Jinping mengandung kalimat "on joint development in areas of overlapping claims".
Adapun pernyataan bersama itu, disepakati kedua Kepala Negara ketika Prabowo melawat ke China, pada Sabtu (9/11/2024) pekan lalu.
Pakar Hubungan Internasional UI Suzie Sudarman menilai, pernyataan bersama itu bisa saja berkaitan dengan cita-cita China untuk menutup Freedom of Navigation dengan mengklaim sendiri Laut China Selatan (LCS) memakai sembilan garis putus-putus (nine dash line).
Padahal, klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan Konvensi Perserikatan Bangsa-Bangsa Tentang Hukum Laut (United Nations Convention on the Law of the Sea/UNCLOS) 1982.
"I assume CIA mengingatkan bahaya dari plot China untuk "menyogok" Indonesia mengakui nine dash line yang penting untuk freedom of navigation," kata Suzie saat dihubungi Kompas.com, Rabu (13/11/2024).
"Biasanya kalau sampai begini, ada ancaman either you are with us or you are with the enemy," imbuh Suzie.
Suzie bertanya-tanya, mengapa Indonesia membuat pernyataan bersama dengan China, padahal teritori kedua negara cukup jauh sehingga tidak ada tumpang tindih wilayah perairan.
Kecuali, kata dia, jika salah satu negara mengeklaim batas wilayah yang lebih besar di luar hukum internasional.
Namun dalam kasus ini, perjanjian yang mengatur wilayah pengembangan maritim bersama tetap tidak diperlukan, karena klaim tumpang tindih yang tidak sesuai dengan UNCLOS adalah ilegal.
Di sisi lain, tumpang tindih wilayah perairan hanya dapat terjadi apabila jarak antar kedua negara cukup dekat.
"Persoalan utama adalah freedom of navigation. Mengapa Indonesia dan China membuat pernyataan bersama yang memuat penyebutan klaim yang tumpang tindih? Tiongkok dengan negara lain, atau Indonesia dengan negara lain," ucapnya.
Senada, pengamat Hubungan Internasional Unpad, Teuku Rezasyah menyampaikan, CIA kemungkinan memberikan pandangannya kepada Presiden Prabowo atas pernyataan bersama Indonesia-China.
Di sisi lain, CIA mungkin memaparkan kesediaannya untuk lebih membuka diri, guna menindaklanjuti semua kerjasama intelijen yang telah ada selama ini.
"Besar kemungkinan CIA memberikan pandangannya atas pernyataan bersama tersebut. Karena CIA tak ingin kehilangan momentum. Sehingga delegasi RI memiliki informasi yang lebih spesifik, sehingga mampu sejak dini mengantisipasi diplomasi global China pasca ditandatanganinya pernyataan bersama tersebut," jelasnya.
Sebagai informasi, wilayah Laut China Selatan (LCS) telah menjadi wilayah sengketa sejak lama.
Pasalnya, Beijing kerap menegaskan klaimnya atas lebih dari 90 persen wilayah perairan itu lewat sembilan garis putus-putus (Nine Dash Line), yang menjadi dasar klaim kepemilikan LCS.
Sayangnya, klaim melalui sembilan garis putus-putus ini berdampak pada hilangnya perairan negara lain di kawasan itu, meliputi Indonesia, Filipina, Malaysia, Vietnam, hingga Brunei Darussalam.
Perairan Indonesia seluas lebih kurang 83.000 km persegi atau 30 persen dari luas laut Indonesia di Natuna juga hilang.
Menanggapi pernyataan bersama Prabowo dan Xi Jinping, Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) menegaskan, Pernyataan Bersama Indonesia-China di Beijing pekan lalu bukanlah pengakuan atas klaim sepihak China di Laut China Selatan.
Pernyataan Bersama tersebut akan dilaksanakan berdasarkan koridor konvensi internasional di bidang maritim, perjanjian bilateral, dan ketentuan undang-undang dan peraturan nasional.
“Kerja sama ini tidak dapat dimaknai sebagai pengakuan atas klaim ‘sembilan garis putus-putus’ atau nine-dash line, dan Indonesia menegaskan kembali posisinya bahwa klaim tersebut tidak memiliki basis hukum internasional dan tidak sesuai dengan UNCLOS 1982,” terang Kemlu RI.
Kerja sama tersebut bertujuan untuk memajukan berbagai aspek kerja sama ekonomi, khususnya di bidang perikanan dan konservasi perikanan di kawasan, dengan tetap menghargai prinsip-prinsip saling menghormati dan kesetaraan.
Kerja sama itu, kata Kemlu, justru diharapkan menciptakan perdamaian di Laut China Selatan dan dapat menjadi suatu model upaya memelihara perdamaian dan persahabatan di kawasan.
Maka dari itu, Pernyataan Bersama RI-China tersebut tidak akan memengaruhi dan menggugurkan semua kewajiban internasional dan kontrak-kontrak lainnya yang dibuat Indonesia terkait kawasan tersebut.
Indonesia juga menyakini bahwa kerja sama dalam bidang maritim tersebut akan memajukan upaya penyelesaian Kode Etik Laut China Selatan demi menciptakan stabilitas di kawasan.