Citra Negara Kesejahteraan
Diketuknya ketentuan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11% menjadi 12% hanyalah satu di antara banyaknya pengingkaran janji yang dilakukan oleh Presiden Pabowo. Sebelumnya, rencana PPN 12% selalu dikemas oleh Prabowo dalam narasi "pajak barang mewah", tetapi ketika tiba dalam proses legalisasi, "pajak barang mewah" tersebut berlaku berkebalikan. PPN 12% justru tetap diberlakukan menyeluruh, kecuali terhadap barang yang diatur sebagai pajak ditanggung pemerintah (DTP), barang-barang yang dianggap non mewah.
Sejauh ini, narasi-narasi populis berkedok tujuan kesejahteraan (welfare) memang telah menjadi ciri khas dari pemerintahan Prabowo. Bukan hanya pajak yang dibingkai agar seolah-olah melindungi kepentingan rakyat kecil, sejak dilantik pada Oktober lalu, Prabowo telah lekat dengan rentetan kebijakan yang tampak berpihak kepada kelompok miskin dan rentan.
Dapat dijumpai kebijakan-kebijakan dermawan seperti rumah gratis di Tangerang yang pada 1 November lalu pembangunannya diresmikan oleh Menteri Perumahan dan Kawasan Permukiman (PKP) Maruarar Sirait. Selain itu, ada pula kebijakan-kebijakan yang, secara spesifik, menyasar profesi rentan seperti penghapusan utang untuk UMKM, nelayan, dan petani yang dituangkan dalam PP Nomor 47 Tahun 2024 serta penambahan nilai tunjangan profesi guru honorer sebanyak Rp 500 ribu per bulan.
Dualisme Prabowo
Komitmen Prabowo dengan pencitraan negara kesejahteraan (welfare state)-nya memang tidak main-main. Pernyataannya mengenai posisi Indonesia sebagai negara kesejahteraan juga telah lalu lalang di media. Misalnya, pada Sarasehan 100 Ekonom Indonesia di Jakarta, 8 November lalu, Prabowo dengan bangga menyatakan bahwa Indonesia sudah ada di posisi negara kesejahteraan sehingga dalam memberikan subsidi kepada buruh, kebijakan yang diterapkan akan melewati proses perbincangan dengan pemimpin buruh. Ironisnya, di forum yang sama,
Prabowo juga meminta kepada kelompok buruh untuk tidak terus-menerus menuntut kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) ketika profit perusahaan sedang tidak baik. Bagi Prabowo, menuntut kenaikan UMP sama artinya dengan mencekik pengusaha. Jelas, merupakan suatu masalah yang serius ketika Prabowo, di satu sisi, benar-benar meyakini Indonesia sebagai negara kesejahteraan, tetapi tidak membawa prinsip kesejahteraan tersebut dalam tataran internalisasi (pengamalan).
Dualisme Prabowo dalam Sarasehan 100 Ekonom Indonesia adalah kontradiksi yang sama dengan yang ia tampilkan pada narasi "pajak barang mewah" untuk kenaikan PPN 12%. Menggunakan kalimat The Economist ketika mengomentari kebijakan politik luar negeri Prabowo One problem with Mr Prabowo is that it is never clear whether he means what he says. Eager to please, he tends to tell people what they want to hear –Satu masalah dari Prabowo adalah tidak pernah jelas apakah ia bersungguh-sungguh dengan apa yang ia katakan. Untuk menyenangkan orang lain, ia cenderung hanya mengatakan apa yang ingin didengar oleh publik.'
Bukan merupakan kesalahan, apalagi kebohongan, apabila Prabowo memaksudkan PPN 12% sebagai "pajak barang mewah". Masalah baru terjadi justru ketika Prabowo tidak menjelaskan apa yang ia maksud dengan "barang mewah" sampai publik kini mendapati bahwa sampo, sabun, detergen, bahkan kecap juga digolongkan sebagai barang mewah.
Mempertimbangkan Realitas Lapangan
Masalah lain dari kebijakan-kebijakan populis Prabowo adalah pembentukan instrumen hukumnya yang tidak mempertimbangkan realitas lapangan. Kajian mengenai sasaran kebijakannya juga acap tak jelas.
Dalam perbincangan ahli untuk mengulas PP Nomor 47 Tahun 2024 tentang Penghapusan Piutang Macet pada Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah, belakangan terungkap beberapa fakta baru. Apabila rata-rata piutang yang dapat dihapuskan bernilai maksimal Rp 500 juta untuk badan usaha dan Rp 300 juta untuk perorangan, realitas jerat utang yang dialami oleh petani gurem (sebutan untuk usaha tani di Jawa) justru lebih kecil, bahkan tidak menyentuh angka ratusan juta.
Yang menjadi kendala justru terletak pada jumlah petani gurem yang banyak-nyaris jutaan-dan masalah-masalah struktural lain, di luar jerat piutang, yang dihadapi oleh pertanian kecil. Akibatnya, kebijakan kesejahteraan yang ditawarkan akan menjadi tidak tepat sasaran apabila penghapusan hutang untuk UMKM, nelayan, dan petani disandingkan dengan poin menimbang huruf a pada PP Nomor 47 Tahun 2024 yang berisikan tujuan meningkatkan ketahanan ekonomi nasional.
Sebaliknya, apabila kebijakan Prabowo memang berdasar pada masalah yang terjadi di lapangan, biasanya realisasi programnya perlu dipertanyakan. Tidak jarang janji-janji manis Prabowo hanya hasil silat lidah semata. Pada saat Prabowo menjanjikan penambahan tunjangan guru honorer sebanyak Rp 500 ribu, pada hari guru akhir November lalu. Apa yang disebut sebagai "tunjangan guru honorer" oleh Prabowo sebenarnya tidak berbeda dengan bentuk tunjangan yang kenaikannya telah diatur dalam Surat Keterangan Inpassing, atau surat penyetaraan jabatan fungsional guru non-PNS dengan guru PNS.
Dengan kata lain, janji yang "dijanjikan" oleh Prabowo sebenarnya sudah lumrah dan bukan merupakan kebijakan yang baru. Prabowo justru berlebihan dalam menjual (overselling) gagasan daur ulangnya sehingga seolah-olah seluruh guru honorer akan mendapatkan tunjangan guru, padahal masih terdapat guru-guru honorer tanpa SK Inpassing yang diupah tidak layak.
Pada kenyataannya, kebijakan populis Prabowo tidak pernah seindah yang terdengar. Demikian pula, ketika Prabowo merencanakan negara kesejahteraan, ia seakan-akan berbicara dalam definisi kesejahteraan yang berbeda dengan yang digunakan oleh publik. Hanya jargon semata. Kenaikan PPN 12% yang baru saja terjadi memberikan konteks yang teramat penting mengenai bagaimana keabu-abuan dan ketidakseriusan Prabowo dalam menyikapi isu kesejahteraan rakyat kecil memiliki potensi ancaman lebih besar dari yang bisa dibayangkan.
Jonathan Toga Sihotang Pemimpin Redaksi BPPM Mahkamah Fakultas Hukum UGM