Dari Kardus Mi Instan ke Gelar Doktor, Kisah Nuryati Jadi TKI buat Cari Biaya Kuliah
BOGOR, KOMPAS.com - Nuryati Solapari (45) menjadi salah satu bukti nyata bahwa tekad dan kerja keras dapat mengubah nasib seseorang.
Perjalanan hidup perempuan kelahiran Serang, Banten, 2 Juni 1979 ini dimulai dari mimpi sederhana, ingin melanjutkan kuliah.
Namun, ketika itu, keterbatasan ekonomi memaksa Nuryati untuk menunda impiannya.
“Saya waktu SMA dapat predikat lulusan terbaik. Karena orangtua ekonominya tidak memungkinkan, saya ingin kuliah, tapi tidak punya modal, tidak punya biaya,” ucap Nuryati saat berbincang dengan Kompas.com, Kamis (5/12/2024).
Tahun 1998, Nuryati lulus dari SMA Prisma, Kota Serang, sebagai lulusan terbaik. Namun, bukannya merayakan pencapaian tersebut, ia hanya bisa menahan tangis melihat teman-temannya melanjutkan kuliah.
“Lihat teman-teman yang, mohon maaf, rankingnya di bawah bisa melanjutkan pendidikan yang lebih tinggi, saya tuh cuma bisa nangis, sedih gitu,” kata dia.
Di tengah rasa putus asa itu, Nuryati menemukan secercah harapan saat mengunjungi rumah neneknya di Serang, yang dikenal sebagai “kampung TKI”.
Di kampung tersebut, banyak warga yang menjadi TKI dan mampu mengubah ekonomi keluarga. Kisah inilah yang menginspirasi Nuryati.
“Akhirnya ide langsung muncul tiba-tiba. Saya bilang, ‘Apa jadi TKW aja ya, biar bisa kuliah’. Saya bilang ke ibu saya, saya mau jadi TKW supaya bisa kuliah," ujar dia.
Awalnya, keluarga besar menentang keputusan Nuryati. Namun, dia bersikeras dan akhirnya mendapatkan izin.
Dengan bermodalkan semangat dan kardus mi instan berisi buku pelajaran, Nuryati berangkat ke Arab Saudi melalui agen penyalur tenaga kerja.
Di penampungan, Nuryati menghadapi kondisi serba sulit. Ia tidur di depan toilet karena ruangan penuh oleh calon-calon TKI.
“Makan hanya nasi tanpa lauk. Bahkan, saya disuruh mengaku sebagai lulusan SD meski saya lulusan terbaik SMA," ungkap dia.
Namun, tekadnya untuk belajar tidak surut. Meski sering diejek karena membawa buku-buku pelajaran dan kamus bahasa Arab, Nuryati tetap melatih diri.
“Orang bilang, jadi pembantu saja ribet, bawa buku. Tapi saya tahu tujuan saya, ingin kuliah," curhat Nuryati.
Setibanya di Tabuk, Arab Saudi, Nuryati bekerja sebagai pengasuh anak untuk pasangan dokter. Majikannya terkejut melihat kardus yang dibawanya penuh buku.
Ketika ditanya alasannya bekerja, Nuryati menjawab, "Saya ingin kuliah, ingin jadi orang hebat". Jawaban itu membuat majikannya kagum.
Selama dua tahun, Nuryati diperlakukan dengan sangat baik. Bahkan, dia diberi hadiah berupa dua kali kesempatan umrah.
Di Tanah Suci, Nuryati selalu berdoa, "Meminta ampunan dosa orangtua dan agar bisa kuliah”.
Nuryati juga memanfaatkan waktu luangnya untuk belajar.
“Majikan saya memberi kesempatan tidur siang, tapi saya gunakan untuk membaca buku dan mempelajari pelajaran SMA," ujar dia.
Majikan Nuryati sempat membujuknya untuk tinggal lebih lama dengan iming-iming hadiah haji untuk orangtuanya dan rumah di Indonesia.
Namun, cita-cita untuk kuliah membuat Nuryati memilih pulang pada tahun 2000.
Sekembalinya ke Indonesia, Nuryati langsung menjual hadiah kalung emas dari majikannya untuk biaya kuliah.
Pada tahun 2001, Nuryati mencoba peruntungan dengan mengikuti UMPTN. Usaha pun tak mengkhianati hasil, Nuryati diterima di Fakultas Hukum Universitas Sultan Ageng Tirtayasa (Untirta) Serang.
Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, dia bekerja di restoran cepat saji sambil kuliah.
Setelah meraih gelar sarjana, Nuryati melanjutkan pendidikan pascasarjana di Universitas Jayabaya, Jakarta, hingga memperoleh gelar S2.
Kemudian, Nuryati melanjutkan pendidikan S3 hingga meraih gelar doktor dari Fakultas Hukum Universitas Padjajaran (Unpad) Bandung dengan predikat memuaskan.
Kini, Nuryati menjadi dosen Fakultas Hukum di Untirta sekaligus pekerja sosial yang aktif memberdayakan dan memberikan advokasi kepada calon TKI, mantan TKI, serta keluarga mereka.
“Saya lulus S3 tahun 2016 terus pernah jadi Komisioner Bawaslu Banten, tapi hanya satu periode karena saya tidak mendaftar lagi. Akhirnya dari tahun 2006 sampai sekarang saya jadi dosen saja,” ungkap dia.
Perjalanan Nuryati adalah bukti bahwa keterbatasan bukanlah akhir. Dengan tekad dan kerja keras, Nuryati membuktikan, nasib bisa diubah bersama kemauan hingga akhirnya menjadi inspirasi bagi banyak orang.
“Bagi saya, pendidikan adalah harga mati. Dulu, kuliah bagaikan langit dan bumi untuk orang miskin seperti saya. Tapi, jika kita bersungguh-sungguh, Allah akan membuka jalan,” pesan Nuryati.