Darurat Pencucian Uang
“Hukum itu tidak selalu tegak. Sekali tegak, sekali runtuh. Karena, ia tergantung pada tingkah laku manusia. Tugas kita adalah tegakkan ketika runtuh, berdirikan ketika rubuh.”
KALIMAT ini datang dari Prof. Erman Rajagukguk, seorang pakar hukum dari Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Kalimat ini terpampang jelas di dinding lobi Fakultas Hukum Universitas Indonesia, di mana tempat penulis menempuh pendidikan.
Pada 28 Oktober 2024 kemarin, Indonesia genap merayakan 100 tahun pendidikan hukum. Namun, yang menjadi pertanyaan, apakah perayaan ini harus disambut dengan sukacita atau sebaliknya justru menjadi dukacita karena matinya penegakan hukum di Indonesia.
Beberapa bulan terakhir, negara kita dibanjiri proses penegakan hukum yang menjadi sorotan publik, mulai dari kasus suap dan gratifikasi yang menjerat Mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Hasbi Hasan.
Lalu, kasus dugaan korupsi PT Timah periode 2015-2022 yang ditangani oleh Kejaksaan Agung mengakibatkan kerugian negara mencapai Rp 300 Triliun.
Bahkan, lagi dan lagi, oknum dari Mahkamah Agung mencoreng citra penegakan hukum di Indonesia, dengan ditangkapnya bekas pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar dalam kasus dugaan suap vonis bebas Gregorius Ronald Tannur, serta tiga hakim Pengadilan Negeri (PN) Surabaya yang memberikan vonis bebas kepada Ronald Tannur dalam kasus pembunuhan Dini Sera.
Mungkin, beberapa kasus ini memberikan tanda kepada rakyat kecil bahwa sebenarnya tugas penegakan hukum di Indonesia belum berjalan sebaik yang diharapkan.
Orang yang seharusnya memberikan penegakan hukum, justru menjadi pelaku yang terlibat dalam perusakan hukum.
Berbicara penegakan hukum sebenarnya tidak hanya memberikan rasa keadilan kepada masyarakat. Penegakan hukum adalah cara yang dapat membawa negara ini menuju kesejahteraan, kemakmuran, dan pemerataan.
Salah satu penegakan hukum yang mungkin jarang terdengar di masyarakat adalah Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU).
TPPU jarang disoroti masyarakat karena kurangnya pemahaman tentang pencucian uang. Padahal tindak pidana inilah yang paling kejam memberikan ketidakadilan di dalam sosial masyarakat.
Hal tersebut dipertegas di bagian menimbang Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2010 Tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Disebutkan, tindak pidana pencucian uang tidak hanya mengancam stabilitas perekonomian dan integritas sistem keuangan, tetapi juga dapat membahayakan sendi-sendi kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara berdasarkan Pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
Bahasa sederhananya, TPPU adalah uang yang berasal dari tindakan kejahatan, disembunyikan dan disamarkan, hingga akhirnya uang tersebut seolah-olah diperoleh dengan cara yang bersih.
Dalam pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang TPPU disebutkan bahwa hasil tindak pidana yang dimaksud adalah berasal dari korupsi, penyuapan, narkotika, psikotropika, penyelundupan tenaga kerja, penyelundupan migran, di bidang perbankan, di bidang pasar modal, di bidang perasuransian, kepabeanan, cukai, perdagangan orang, perdagangan senjata gelap, terorisme, penculikan, pencurian, penggelapan, penipuan, pemalsuan uang, perjudian, prostitusi, di bidang perpajakan, di bidang kehutanan, di bidang lingkungan hidup, di bidang kelautan dan perikanan, tindak pidana lain yang diancam dengan pidana penjara 4 (empat) tahun atau lebih, yang dilakukan di wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dan tindak pidana tersebut juga merupakan tindak pidana menurut hukum Indonesia.
Pasal 2 UU TPPU memberikan definisi lebih luas lagi bahwa aliran uang yang berasal dari tindak pidana nasional dalam negeri, tapi berasal dari aliran kejahatan berskala internasional.
Hingga saat ini, stigma pencucian uang yang ada di masyarakat hanyalah berasal dari kejahatan korupsi, yaitu anggaran negara APBN/APBD. Padahal pencucian uang bisa berasal dari banyak kejahatan lainnya yang diatur oleh undang-undang dan nilainya sangat besar.
Secara terminologi hukum, tindak pidana pencucian uang dikenal dengan istilah follow up crime, yang artinya bahwa kejahatan ini terjadi sebagai akibat atau kelanjutan dari tindak pidana asal (predicate crime) yang menghasilkan pencucian uang.
Tindak pidana asal tersebut atau secara terminologi hukum disebut predicate crime kemudian didefinisikan dalam pasal 2 UU TPPU.
Sejauh ini, pemberantasan pencucian uang di Indonesia masih di tengah ambiguitas dan lemahnya penegakan hukum.
Di antara kalangan pakar dan pembuat undang-undang pun masih mengalami kebingungan dengan mekanisme, pendefinisian, hingga praktik di lapangan penegakan tindak pidana pencucian uang.
Di kalangan pakar juga masih belum ada pemahaman yang bulat, apalagi di masyarakat yang belum mengetahui secara jelas pemahaman terkait tindak pidana pencucian uang.
Masyarakat hanya meraba-raba nilai fantastis yang disebut di media-media, tanpa tahu sebenarnya pencucian uang tersebut berasal dari mana.
Yang tidak banyak diketahui oleh masyarakat adalah indikasi pencucian uang kerap sekali terjadi melalui aktivitas e-commerce, judi online, transaksi fiktif perusahaan, dan lain sebagainya.
Misalkan, seorang pelaku usaha di e-commerce baru mendirikan bisnisnya di tahun pertama, sudah menghasilkan aset dan keuntungan hingga puluhan miliar rupiah.
Namun, ketika dilakukan pengecekan validitas usaha, jumlah transaksi, serta kepemilikan sah, tidak dapat dibuktikan. Artinya ada indikasi tindak pidana di dalamnya yang berpotensi menjadi pencucian uang.
Lain lagi, dengan pola-pola indikasi pencucian uang yang terjadi, seperti seseorang yang kaya mendadak, tapi tidak bisa membuktikan kepemilikan hartanya.
Selain itu, perusahaan yang menerima aliran dana, tapi tidak bisa membuktikan keberadaan aset perusahaan, dan lain sebagainya.
Tidak ada kata lain selain perlunya perbaikan penegakan dan pemberantasan pencucian uang. Tentu dimulai dari adanya pemahaman yang serupa serta mekanisme penegakan pencucian uang yang sama antara penegak hukum.
Para pakar harus kembali memikirkan ulang substansi penegakan pencucian uang melalui revisi Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, di mana meluruskan persepsi yang berbeda di antara para penegakan hukum dalam praktik di lapangan.
Partisipasi masyarakat dalam pemberantasan pencucian uang akan menjadi sia-sia tanpa dibarengi edukasi yang dilakukan oleh penegak hukum.
Peran pemerintah memberantas pencucian uang diukur dari edukasi dan sosialisasi yang diberikan kepada masyarakat.
Pemberantasan pencucian uang masih harus menjadi perhatian serius pemerintah. Selain memberikan ketidakadilan di dalam masyarakat, pencucian uang juga bisa berpotensi menjustifikasi memperoleh uang yang hasilnya berasal dari kejahatan adalah ‘sah-sah saja’, karena lemahnya penegakan hukum dalam pencucian uang.
Jika pencucian uang masih saja dibiarkan hidup di dalam sosial masyarakat, maka visi misi Indonesia mencapai kesejahteraan akan sulit tercapai.
Pembiaran uang yang berasal dari kejahatan menimbulkan stratifikasi (kelas sosial) yang sangat jelas bertentangan dengan sila ke-5 Pancasila.
Pemberantasan pencucian uang adalah bagian dari penegakan hukum sebagaimana amanat Konstitusi bahwa Indonesia adalah negara hukum.