Data Terbaru KPU, Partisipasi Pemilih Pilkada 2024 Capai 71 Persen secara Nasional
JAKARTA, KOMPAS.com - Komisi Pemilihan Umum (KPU) mengumumkan bahwa partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2024 telah meningkat di atas 70 persen untuk rata-rata nasional.
Sebelumnya, KPU sempat memperkirakan tingkat partisipasi ini di bawah angka tersebut.
"Semakin banyak rekapan dan data masuk, partisipasi kita yang dulu sempat ditanyakan, sekarang per tanggal 4 (Desember) kemarin sudah nasionalnya rata-ratanya di 71 persen," ujar Ketua KPU RI Mochammad Afifuddin dalam jumpa pers pada Jumat (13/12/2024).
Afifuddin menjelaskan bahwa peningkatan angka partisipasi ini disebabkan oleh masuknya beberapa data hasil rekapitulasi daerah, terutama dari kawasan Papua.
Sebelumnya, isu rendahnya partisipasi pemilih pada Pilkada Serentak 2024 telah menjadi perbincangan hangat, di mana DKI Jakarta mencatatkan tingkat partisipasi pemilih terendah sepanjang sejarah pemilihan gubernur-wakil gubernur secara langsung.
Pakar hukum kepemiluan dari Universitas Indonesia, Titi Anggraini, menilai rendahnya partisipasi pemilih merupakan akibat dari sejumlah masalah sistemik yang perlu diperbaiki.
Ia mengidentifikasi beberapa faktor penyebab, di antaranya adalah kelelahan pemilih akibat pelaksanaan pemilu nasional dan pilkada yang bersamaan.
"Ini menjadi alasan yang sangat logis dan mendesak untuk memisahkan antara pemilu dan pilkada agar tidak terselenggara pada satu tahun yang sama," kata Titi pada Jumat (29/11/2024).
Ia menyarankan agar ada jeda minimal dua tahun antara pemilu dan pilkada untuk memberikan waktu evaluasi.
Kemudian, Titi juga menyoroti bahwa pencalonan kepala daerah masih sangat sentralistis, dikuasai oleh pengurus pusat partai politik.
Ia mencatat bahwa koalisi partai politik pada pilkada tahun ini merupakan residu dari penyelenggaraan pemilihan presiden.
Pada awal tahapan pencalonan, sejumlah pakar dan pengamat menyoroti adanya upaya borong tiket pencalonan melalui Koalisi Indonesia Maju (KIM) Plus.
Titi menilai, tak sedikit wilayah yang calon kepala daerahnya terkesan dipaksakan padahal ia bukan tokoh yang mengakar pada daerah tersebut.
"Banyak calon yang tidak sejalan dengan aspirasi daerah dan lebih mencerminkan selera elite politik nasional," jelasnya.
Selain itu, Titi mengkritik penegakan hukum terkait pelanggaran pidana pilkada yang dinilai tidak optimal.
Ia menyatakan bahwa Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tidak menunjukkan kemajuan signifikan dalam menangani pelanggaran.
"Politik uang semakin masif disertai modus yang semakin beragam. Sementara penanganannya masih biasa dan standar saja. Sangat jomplang antara realitas dan efektivitas penegakan hukum," tegas Titi.