Denting Besi yang Menghilang...
OGANILIR, KOMPAS.com - Suara denting besi yang dipukul dan gesekan mesin gerinda terdengar jelas saat memasuki Desa Mandi Angin, Kecamatan Payaraman, Indralaya Selatan, Ogan Ilir, Sumatera Selatan, Kamis (5/12/2024) pagi.
Suara itu berasal dari usaha pandai besi yang ada di desa tersebut, yang sempat berjaya pada tahun 1980-an hingga 1990-an.
Dua orang yang sudah tidak muda lagi tampak sedang bekerja mengolah besi menjadi perkakas rumah tangga seperti parang, pisau, perait buah kopi, alat sadap karet, dan lainnya.
Kedua orang tersebut adalah Nasuha (60) dan Muhammad Yani (50).
Nasuha bertugas membakar besi berbentuk empat persegi panjang ke dalam api yang berasal dari arang hingga membara berwarna merah. Setelah besi merah membara, ia diletakkan di atas tatakan besi.
Muhammad Yani kemudian mengambil palu dan memukul besi untuk memotongnya.
Pekerjaan ini dilakukan berulang-ulang sampai plat besi terputus. Plat yang terputus kemudian dibentuk menjadi parang.
Di sela-sela memukul dengan palu, Muhammad Yani juga menggunakan mesin gerinda untuk menajamkan parang yang sudah jadi.
Setiap hari, kedua orang yang telah bekerja bersama selama puluhan tahun ini mampu membuat sekitar 20 buah perkakas rumah tangga dan alat lainnya.
Perkakas yang sudah jadi kemudian diambil oleh pengepul untuk dibawa ke Bengkulu, Lampung, dan Ranau untuk dijual.
Saat ini, penjualan produk mereka relatif mudah, terutama saat musim panen buah kopi.
“Namun saat banjir dan tidak panen kopi maka penjualan menjadi menurun, untuk menekan kerugian barang Kita simpan dulu,” ujar Nasuha.
KOMPAS.com/AMRIZA NURSATRIA HUTAGALUNG Nasuha (60) sedang mengasah parang hasil pekerjaannya menggunakan gerinda agar lebih tajam Nasuha, pemilik usaha pandai besi yang mulai belajar sejak sekolah dasar, mengatakan bahwa 20 peralatan yang berhasil dibuat dihargai Rp 500.000.
"Itu kotor, Pak, belum dipotong modal bahan baku besi, arang, dan upah pekerja. Paling yang saya terima Rp 150.000," kata Nasuha, yang memiliki empat orang anak.
Nasuha menceritakan bahwa usaha kerajinan pandai besi yang tersisa di Desa Mandi Angin, Ogan Ilir, kini hanya ada 15 tempat. Sebelumnya, usaha ini ada di 60 lokasi.
Perubahan profesi menjadi penyebab semakin sedikitnya usaha pandai besi di desa tersebut.
"Dulu ada 60 tempat orang usaha pandai besi, sekarang tinggal tersisa 15 tempat. Warga berubah profesi setelah terjadi booming harga karet yang tinggi beberapa tahun lalu, dan mereka langsung beralih menjadi petani karet," kata Nasuha.
Untuk bahan baku berupa besi, Nasuha mengungkapkan bahwa sekarang lebih mudah didapatkan, terutama di daerah Tanjung Pinang.
"Besi dari Jawa, Pak, dari per bekas, mudah memperolehnya, harganya perkilo Rp 18.000. Dulu, bahan baku sangat susah didapat," tambah Nasuha.
KOMPAS.com/AMRIZA NURSATRIA HUTAGALUNG Pak Nasuha (60) sedang membakar besiNamun, kendala utama yang dihadapi Nasuha adalah permodalan. Setelah puluhan tahun menjalankan usaha pandai besi, Nasuha mengaku belum pernah mendapatkan bantuan permodalan dari pemerintah.
Ia sangat berharap ada bantuan modal untuk mengembangkan usaha tersebut.
"Saya belum pernah dapat bantuan modal usaha, Pak. Saya sangat berharap jika ada bantuan permodalan untuk pengembangan usaha," harapnya.
Selain itu, Nasuha juga berharap ada dukungan dalam hal pemasaran dan inovasi usaha agar jangkauan pemasaran dapat lebih luas.
KOMPAS.com/AMRIZA NURSATRIA HUTAGALUNG Peralatan hasil pekerjaan pandai besi di jual di pinggir jalan Palembang -LampungYang membuat Nasuha sedih adalah semakin sedikitnya anak muda yang berminat untuk melanjutkan profesi sebagai pandai besi. Mereka lebih memilih bekerja di pabrik atau menjadi satpam di perusahaan.
Ia khawatir kelak usaha pandai besi yang merupakan warisan turun-temurun akan hilang karena tidak ada lagi yang tertarik menekuni profesi ini.
"Semakin ke sini, semakin sedikit yang mau menekuni profesi ini, Pak. Anak muda lebih suka bekerja di pabrik atau jadi satpam di perusahaan," kata Nasuha, yang mengaku akan terus menekuni usaha kerajinan pandai besi selama ia masih sehat.
Mimpi lain yang belum terwujud bagi Nasuha adalah pergi haji. Namun, melihat penghasilannya yang terbatas, ia merasa impiannya tersebut masih jauh dari kenyataan.
"Dulu saya bercita-cita untuk pergi haji, tapi melihat penghasilan yang saya peroleh, sepertinya itu hanya impian saja, Pak," katanya sambil tersenyum.