Di Sidang MK, Pemerintah Sebut Kewajiban Jadi Peserta Tapera Sesuai Asas Gotong Royong
JAKARTA, KOMPAS.com - Pemerintah yang diwakili Direktur Jenderal Pembiayaan Infrastruktur Pekerjaan Umum dan Perumahan Kementerian Pekerjaan Umum Triono Junoasmono memberikan keterangan dalam sidang uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 4 Tahun 2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera).
Dalam Sidang dengan perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024, 96/PUU-XXII/2024, dan 134/PUU-XXII/2024 yang digelar Rabu (6/11/2024), Triono menyebut kewajiban masyarakat menjadi anggota Tapera sesuai dengan asas gotong royong.
"Asas gotong royong melalui upaya dari setiap warga negara untuk bersama-sama dan saling menolong antarpeserta dalam menyediakan dana murah jangka panjang dalam rangka memenuhi kebutuhan perumahan yang layak dan terjangkau bagi peserta," ucap Triono dalam sidang.
Dia menyebut, tujuan besar UU Tapera untuk menjamin ketersediaan, aksesibilitas, keterjangkauan, dan keberlanjutan atas perumahan bagi seluruh masyarakat Indonesia.
Ini sesuai dengan kewajiban negara dalam memenuhi hak warga negaranya dalam bertempat tinggal yang diatur oleh ketentuan Pasal 28H ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945.
Menurut Triono, asas gotong royong dari pelaksanaan pengelolaan Dana Tapera, tidak semua Peserta Tapera yang telah menabung mendapatkan pembiayaan Tapera, tetapi Peserta yang berstatus masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) akan ditopang pembiayaannya oleh Peserta lain yang lebih mampu melalui pengelolaan tabungan kolektif berupa dana Tapera yang digunakan sebagai pembiayaan perumahan.
Melalui konsep ini, pemerintah menilai peserta yang lebih mampu bisa memberikan dukungan kepada peserta yang kurang mampu sehingga tercipta keadilan distributif dalam pembiayaan perumahan.
Triono mengatakan Skema Tapera yang merupakan bentuk Housing Provident Fund dengan sistem tabungan wajib, adalah solusi efektif dalam penyediaan perumahan yang juga diadopsi di berbagai negara lain.
Dengan memanfaatkan sistem tabungan wajib, Skema Tapera mengumpulkan dana dari Peserta untuk memberikan pembiayaan perumahan yang terjangkau bagi MBR.
Dia juga menegaskan ketentuan Pasal 7 ayat (1) UU Tapera merupakan norma yang mewajibkan setiap pekerja dan pekerja mandiri yang berpenghasilan paling sedikit sebesar upah minimum untuk menjadi Peserta.
Kemudian, ketentuan Pasal 7 ayat (2) UU Tapera mengatur bagi pekerja mandiri yang berpenghasilan di bawah upah minimum berlaku norma kebolehan dengan adanya frasa “dapat menjadi Peserta”.
Berdasarkan hal tersebut, ketentuan Pasal 7 ayat (1) dan ayat (2) UU Tapera hanya mengatur terkait kepesertaan saja dan tidak mengatur materi muatan mengenai pembebanan finansial kepada peserta Tapera, sehingga tidak menimbulkan beban finansial kepada Para Pemohon.
“Menurut Pemerintah, kata “wajib” dalam Pasal 7 ayat (1) UU Tapera tidak dapat dimaknai sebagai “sukarela” sebagaimana petitum Para Pemohon karena justru akan menimbulkan tidak tercapainya tujuan negara untuk memenuhi hak warga negara dalam bertempat tinggal sesuai ketentuan Pasal 28H ayat (1) UUD NRI 1945, tidak tercapainya keadilan distributif, dan pembiayaan perumahan akan kembali berfokus pada APBN melalui mekanisme FLPP saja," ucap Triono.
"Selain itu, UU Tapera tidak menimbulkan beban finansial bagi Para Pemohon dan seharusnya dilihat sebagai tabungan yang mempunyai banyak manfaat,” tandasnya.
Sebagai tambahan informasi, MK menggabung pemeriksaan tiga permohonan perkara pengujian materi UU Tapera. Tiga perkara dimaksud, yakni Perkara Nomor 86/PUU-XXII/2024, Perkara Nomor 96/PUU-XXII/2024, dan Perkara Nomor 134/PUU-XXII/2024.
Perkara pertama mendalilkan kewajiban Tapera menguras pendapatan masyarakat rendah, sedangkan biaya hidup semakin tinggi dan ditambah pula adanya potongan upah untuk BPJS dan biaya lainnya.
Perkara kedua, mendalilkan upah buruh atau pekerja mandiri masih kecil bahkan tidak mampu mencukupi kebutuhan hidup layak, namun tetap diwajibkan membayar iuran Tapera.
Terakhir, adalah dalil kewajiban Tapera bertentangan dengan konstitusi karena memaksa seolah-olah seperti pajak, serta bukan juga termasuk dalam pungutan lain yang bersifat memaksa untuk diikuti setiap pekerja masyarakat berpenghasilan rendah (MBR) maupun non-MBR.