Dilema Selera di Meja Makan Bergizi Gratis...

Dilema Selera di Meja Makan Bergizi Gratis...

JAKARTA, KOMPAS.com - Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang baru diluncurkan di sekolah-sekolah di Jakarta membawa harapan besar akan peningkatan gizi anak-anak.

Namun, di balik upaya mulia ini, berbagai cerita muncul dari beberapa siswa hingga kepala sekolah.

Dengan demikian, program Makan Bergizi Gratis untuk para pelajar, termasuk di Jabodetabek ini masih membutuhkan sejumlah evaluasi agar dapat berjalan optimal.

Fariz (11), siswa kelas 5 di SDN Susukan 01, Ciracas, mengaku memiliki kesan yang beragam terhadap menu MBG pada Senin (6/1/2025).

Pada hari pertama, ia merasa kecewa dengan rasa menu yang disajikan.

"Sayur bayam seperti sudah basi, agak asam rasanya, terus semangkanya juga sudah agak asam," kata Fariz.

Ia pun akhirnya meninggalkan makanannya dan memilih untuk membeli jajanan di kantin.

Namun, cerita berbeda datang dari hari kedua. Menu yang terdiri dari sayur wortel dan buncis, telur orak-arik, tempe goreng, serta buah jeruk membuat Fariz lahap menyantap makanannya.

"Tadi habis, enakan sekarang. Karena ada telur, ada buahnya, terus ada sayur bergizi," ujar Faiz.

Sementara itu, Baihaqi (10), teman sekelas Fariz, juga merasakan perbedaan kualitas menu antara hari pertama dan kedua.

"Habis dong enak rasanya. Iya enak sekarang, yang kemarin enggak bisa dimakan sayurnya," ujar Baihaqi.

Meskipun begitu, kebiasaan jajan di kantin tetap ia lakukan, khususnya untuk membeli minuman.

Adi (11) juga mengaku menikmati menu MBG hari kedua, tetapi tetap memilih untuk membeli jajanan tambahan.

"Sekarang juga mau jajan es sama martabak sih," ujar Adi.

Kepala Sekolah SD Angkasa 5, Yuliani (49), menilai waktu pelaksanaan MBG menjadi salah satu tantangan utama. Sebab, pelaksanaan MBG sangat dekat dengan waktu sarapan anak-anak.

"Pelaksanaannya terlalu dekat dengan waktu makan pagi anak-anak. Mereka masuk pukul 07.00 WIB dan memulai kegiatan belajar. Sekitar pukul 08.00 WIB sudah ada program MBG, sedangkan waktu istirahat kelas kecil pukul 09.00 WIB," jelas Yuliani.

Ia mencatat, beberapa siswa, terutama kelas kecil, sulit menghabiskan makanannya karena mereka sudah sarapan atau minum susu di rumah.

"Kami tetap mengimbau orang tua untuk membawakan bekal, supaya anak-anak punya cadangan makanan jika menu MBG tidak sesuai dengan selera mereka," kata Yuliani.

Selain itu, tidak ada susu dari sejumlah menu MBG yang diberikan kepada anak-anak siswa di sekolah Jakarta baik pada hari pertama dan kedua.

Namun, Juru Bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, Adita Irawati, menjelaskan. susu tidak selalu menjadi bagian dari menu MBG.

Menurutnya, kebutuhan protein anak-anak dapat dipenuhi dengan bahan makanan lain.

"Jika susu tidak tersedia, bisa digantikan oleh tempe atau tahu. Kandungan protein dan nutrisinya tetap tercukupi," ujar Adita.

Ia menekankan, variasi menu disesuaikan dengan kondisi wilayah dan keterjangkauan bahan makanan.

"Di beberapa daerah yang jauh dari sentra susu, protein dari bahan lain menjadi solusi yang relevan. Yang penting, standar gizi tetap terpenuhi," katanya.

Pengamat kebijakan publik, Trubus Rahadiansyah, menilai program MBG perlu dievaluasi secara menyeluruh, terutama dalam hal tata kelola dan pelaksanaannya.

Ia mengusulkan agar penyediaan makanan tidak lagi dilakukan oleh katering, tetapi melibatkan komunitas lokal, seperti ibu-ibu PKK atau pengelola kantin sekolah.

"Tapi kalau misalnya yang masa itu orang sekitar sekolah itu atau di daerah itu sendiri saya rasa ini kan sudah bisa terukur sesuai yang penting standar gizinya memenuhi. Jadi tidak pakai katering lagi," jelas Trubus.

Dengan melibatkan orang-orang sekitar sekolah, menurutnya, menu dapat lebih menyesuaikan dengan selera anak-anak.

"Partisipasi ibu-ibu lokal juga bisa meningkatkan rasa kepemilikan dan kualitas menu. Tinggal kepala program MBG yang mengawasi standar gizinya," tambahnya.

"Jadi evaluasi harus mencari solusi, bukan membatalkan program. Ini adalah upaya bertahap yang membutuhkan perbaikan terus-menerus untuk mencapai sasaran tepat," tegasnya.

Meski masih ada tantangan, program MBG membawa harapan besar bagi peningkatan gizi anak-anak di sekolah.

Cerita dari siswa seperti Fariz dan Baihaqi menunjukkan bahwa dengan perbaikan pada rasa, kualitas, dan penyajian makanan, program ini dapat lebih diterima.

Dengan evaluasi yang melibatkan berbagai pihak, mulai dari orang tua, sekolah, hingga komunitas lokal, program ini diharapkan tak hanya mengenyangkan, tetapi juga memperkuat kesehatan dan masa depan anak-anak Indonesia.

Sumber