Diperintah MK Bikin UU Ketenagakerjaan Baru, Pimpinan DPR: Sejalan Tidak dengan Program Prabowo?
JAKARTA, KOMPAS.com - Pimpinan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mempertanyakan apakah Undang-Undang Ketenagakerjaan baru yang harus disusun berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi bakal sejalan dengan program pemerintahan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Hal itu disampaikan Wakil Ketua DPR RI dari Fraksi Golkar Adies Kadir saat merespons putusan MK yang memerintahkan legislatif dan eksekutif membentuk UU Ketenagakerjaan baru paling lama 2 tahun.
“Kita di legislatif ini di DPR Senayan kan harus selalu siap ya. Mau 2 tahun, 3 tahun, setahun, mau 6 bulan, mau 2 bulan, mau sebulan juga kalau memang harus itu ya kita juga (harus siap),” ujar Adies kepada wartawan di Gedung DPR RI, Jumat (1/11/2024).
Meski begitu, Adies menegaskan bahwa pimpinan DPR RI akan terlebih dahulu mengkaji putusan MK tersebut, sebelum memutuskan tindak lanjut yang diambil.
DPR RI akan merencanakan pembentukan UU baru terkait ketenagakerjaan, jika dianggap perlu menurut hasil kajian dan sejalan dengan program pemerintahan Presiden Prabowo Subianto.
“Tapi kita harus liat konteksnya, konteksnya seperti apa, undang-undang seperti apa yang harus kita golkan. Sejalan apa tidak dengan program pemerintahan yang baru, Pak Prabowo,” pungkas Adies.
Diberitakan sebelumnya, Mahkamah Konstitusi (MK) meminta Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Pemerintah menyusun UU Ketenagakerjaan baru dalam waktu maksimal dua tahun.
Pernyataan ini disampaikan oleh Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan putusan uji materi Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja yang diajukan oleh Partai Buruh dkk.
Pembentukan UU Keternagakerjaan baru diperintahkan lantaran UU Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang diubah menjadi UU Cipta Kerja banyak yang dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 oleh MK.
"Waktu paling lama dua tahun dinilai oleh Mahkamah cukup bagi pembentuk undang-undang untuk membuat undang-undang ketenagakerjaan baru yang substansinya menampung materi UU Nomor 13 Tahun 2003 dan UU Nomor 6 Tahun 2023," kata Enny dalam sidang MK, di Gedung MK, Kamis (31/10/2024).
Enny menyampaikan, UU Ketenagakerjaan yang baru juga harus menampung substansi terhangat sejumlah putusan MK yang berkenaan dengan ketenagakerjaan dengan melibatkan partisipasi aktif serikat pekerja/serikat buruh.
Ia pun menjelaskan, perintah untuk pembentuk Undang-undang dilakukan lantaran secara faktual, materi/substansi UU Ketenagakerjaan telah berulang kali dimohonkan pengujian konstitusionalitasnya ke MK.
Berdasarkan data pengujian UU di MK, sebagian materi/substansi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 telah 37 kali diuji konstitusionalitasnya. Berdasarkan jumlah pengujian tersebut, dari 36 yang telah diputus Mahkamah, 12 permohonan dikabulkan, baik kabul seluruhnya maupun kabul sebagian.
"Artinya, sebelum sebagian materi/substansi UU Nomor 13 Tahun 2003 diubah dengan UU Nomor 6 Tahun 2023, sejumlah materi/substansi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 telah dinyatakan oleh Mahkamah bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat, baik untuk seluruh norma yang diuji maupun yang dinyatakan inkonstitusional atau konstitusional secara bersyarat," kata Enny.
Terhadap fakta tersebut, lanjut Enny sebagian materi/substansinya telah dinyatakan inkonstitusional. Oleh sebab itu, dalam batas penalaran yang wajar, UU Nomor 13 Tahun 2003 tidak utuh lagi.
Selain itu, secara faktual, sebagian materi/substansi UU Nomor 13 Tahun 2003 juga telah diubah dengan UU Cipta Kerja.
"Berkenaan dengan fakta tersebut, dalam batas penalaran yang wajar, terbuka kemungkinan adanya materi/substansi di antara kedua undang-undang a quo tidak sinkron atau tidak harmonis antara yang satu dengan yang lainnya," kata Enny.
"Bahkan, ancaman tidak konsisten, tidak sinkron, dan tidak harmonis demikian akan semakin sulit dihindarkan atau dicegah dengan telah dinyatakan sejumlah norma dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 (inkonstitusional) oleh Mahkamah," ucapnya.
Dengan fakta demikian, kata Enny, terbuka kemungkinan terjadi perhimpitan antara norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 dengan norma yang dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dalam UU Nomor 6 Tahun 2023.
"Dalam batas penalaran yang wajar, perhimpitan demikian terjadi karena sejumlah norma dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 berkelindan dengan perubahan materi/substansi dalam UU Nomor 13 Tahun 2003 yang diubah dalam UU Nomor 6 Tahun 2023," imbuhnya.