Diplomat AS Sambangi Penguasa Baru Suriah
Kaburnya Bashar Assad dari Damaskus menandakan berakhirnya separuh abad kekuasaan totaliter dan berakhirnya perang saudara di Suriah.
Kemenangan Hay’at Tahrir al-Sham dan kelompok oposisi bersenjata lain mengejutkan Barat, yang kini berusaha mempengaruhi pembentukan pemerintahan baru di Damaskus agar lebih moderat dan inklusif. Karena meski telah telah meninggalkan terorisme, HTS betapapun juga tetap diisi oleh banyak mantan jihadis jebolan al-Qaeda dan Islamic State.
Sebab itu, Amerika Serikat mengirimkan misi diplomatik pertama ke Damaskus sejak berkecamuknya Musim Semi Arab 2011 silam. Para diplomat akan bertemu dengan perwakilan HTS, yang hingga kini masih dikategorikan sebagai kelompok teroris, serta sejumlah lembaga swadaya masyarakat prodemokrasi.
Delegasi AS mencakup Barbara Leaf, pejabat tinggi Kemenlu AS untuk Timur Tengah, dan Daniel Rubinstein, diplomat veteran yang berpengalaman di dunia Arab, kata seorang jurubicara Kemenlu.
Hadir pula Roger Carstens, negosiator AS, yang ditugaskan mencari petunjuk tentang warga Amerika yang hilang, termasuk Austin Tice, seorang jurnalis yang diculik pada bulan Agustus 2012.
Pekan lalu, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken menyambangi satu per satu negara jiran Suriah. Dalam sebuah pertemuan pada hari Sabtu (14/12) di resor Aqaba, Yordania, negara-negara Barat dan Arab serta Turki bersama-sama menyerukan untuk sebuah "pemerintahan yang inklusif, non-sektarian, dan representatif" yang menghormati hak-hak semua komunitas Suriah yang beragam.
Seruan itu ikut digaungkan Iran, yang sebelumnya mendukung rejim Assad di Damaskus. Presiden Masoud Pezeskhian mengimbau "partisipasi semua kelompok Suriah pada pemerintahan baru, serta rasa hormat kepada keyakinan dan agama yang berbeda-beda."
Desakan yang sama dirasakan sebagian warga Suriah, terutama kaum marjinal dan minoritas etnis. Pada Kamis (19/12), ratusan orang berdemonstrasi di Damaskus demi menolak "negara agama," dan menuntut demokrasi serta kesetaraan gender.
Protes juga digalang ribuan warga Kurdi di Qamshli, di timur laut, karena mengkhawatirkan pengaruh Turki, yang kini giat menyerang dari seberang perbatasan. Mereka meneriakkan yel-yel "bangsa Suriah adalah satu," atau "katakan tidak kepada perang, tolak intervensi militer Turki."
Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan menyerukan rekonsiliasi dan pemulihan "integritas dan persatuan teritorial" Suriah. Dia juga mendesak "pembentukan Suriah yang bebas dari terorisme."
Turki belakangan menggencarkan serangan terhadap gerilyawan Kurdi di Suriah, dan mengatakan pada hari Kamis bahwa operasi akan terus dilanjutkan demi "melucuti senjata."
Wilayah timur laut Suriah yang semiotonom dilindungi oleh Pasukan Demokratik Suriah, sebuah kelompok yang dipimpin oleh Unit Perlindungan Rakyat, YPG.
Turki menuduh YPG sebagai cabang dari Partai Buruh Kurdistan, PKK, yang oleh Washington dan Ankara dianggap sebagai kelompok teroris.
Sementara itu, Amerika Serikat dilaporkan telah menggandakan jumlah pasukannya di Suriah. Demikian diungkapkan Pentagon pada hari Kamis (19/14), yang mengakui bahwa pasukan tambahan tersebut telah berada di sana selama berbulan-bulan atau bahkan lebih dari setahun.
AS telah mengatakan selama ini bahwa hanya ada sekitar 900 tentara di Suriah. Menurut Mayjen Pat Ryder, sekretaris pers Kementerian Pertahanan, saat ini ada sekitar 2.000 tentara di sana.
Washington acap bersitegang dengan Turki dan Irak, soal keberadaan pasukannya di Suriah. Ryder mengatakan bahwa dirinya "tidak mengira" adanya tambahan jumlah pasukan di masa mendatang. Namun, hal itu dapat berubah di masa Presiden terpilih Donald Trump yang mengatakan tidak mendukung pasukan AS untuk terlibat lebih jauh di Suriah.
Ryder mengatakan kepada wartawan bahwa peningkatan jumlah pasukan bersifat sementara dan mereka berada di sana untuk menambah operasi AS melawan kelompok ISIS. Pasukan konvensional dan operasi khusus Angkatan Darat AS merupakan bagian terbesar dari pasukan tambahan tersebut.
rzn/hp (ap,afp)