Dituduh Bunuh Istri, Pria Ini Diadili dengan Adat Dayak Agabag Dolop, Apa Itu?

Dituduh Bunuh Istri, Pria Ini Diadili dengan Adat Dayak Agabag Dolop, Apa Itu?

NUNUKAN, KOMPAS.com – Sebuah peradilan adat khas Dayak Agabag, "Dolop", digelar di Sungai Tulin, sebuah sungai wilayah adat yang ada di pelosok perbatasan RI – Malaysia, di Desa Semunad, Kecamatan Tulin Onsoi, Nunukan, Kalimantan Utara, Jumat (17/1/2025).

Ribuan warga menyaksikan peradilan sakral yang masih lestari dan menjadi warisan budaya hingga kini.

Wakil Ketua Lembaga Adat Dayak Agabag Kecamatan Tulin Onsoi, Sati Baru, menuturkan, Dolop kali ini dilakukan untuk membuktikan tuduhan pembunuhan yang dilakukan Roy (34) terhadap istrinya, Esther, di malam menjelang tahun baru 2025.

“Jadi ada peristiwa kematian menjelang tahun baru 2025. Korban atas nama Esther, istri Roy, meninggal tanpa diketahui sebabnya,” ujarnya saat dihubungi.

Meski meyakini Esther mati tidak wajar, keluarga tidak memiliki bukti apa pun yang mengarah pada pembunuhan atau insiden pidana lain.

Keluarga korban kemudian memberlakukan ritual adat untuk melepas kepergian Esther selama dua hari.

“Dan pada hari kedua, saat korban hendak dimandikan dan diganti kainnya, keluarga melihat ada garis biru di bagian leher, luka di kepala, dan memar di kaki,” ujarnya lagi.

Melihat luka-luka tersebut, keluarga korban berkumpul dan menyimpulkan bahwa suami korban diduga sebagai pelaku pembunuhan.

Tuduhan tersebut berdasarkan pada waktu sebelum kematian korban, di mana Roy menikmati miras bersama saudara iparnya.

Ia kemudian pulang untuk makan malam sekitar pukul 02.00 WITA. Tidak lama kemudian, Esther dilaporkan meninggal.

“Korban tinggal bersama suami, anaknya, dan pembantunya. Saat kejadian, anaknya yang berusia tiga tahun meminta peluk pembantunya. Tanda-tanda itu membuat tudingan bahwa suami Esther sebagai pelaku pembunuhan kian menguat,” jelasnya.

Dugaan tersebut masih dipendam keluarga sampai korban dimakamkan.

“Memang tidak ada modus yang diketahui keluarga. Tapi pengaruh mabuk diduga kuat sebagai penyebab Roy tidak sadar dan melakukan pembunuhan,” imbuhnya.

Setelah prosesi pemakaman selesai, keluarga korban datang ke lembaga adat, meminta penyelesaian kasus.

Lembaga adat kemudian mengumpulkan pihak keluarga korban sebagai penuntut dan keluarga Roy sebagai tertuduh.

Dari pertemuan tersebut, disepakati penyelesaian melalui peradilan adat Agabag bernama Dolop.

“Dalam Dolop hari ini, Roy kalah dan langsung diamankan. Meski ada perjanjian tidak boleh ada anarkis, kita harus menjaga segala kemungkinan,” kata Sati.

Pihak yang kalah harus membayar konsekuensi yang disepakati.

Salah satu tokoh muda dari kaum Agabag, Bajib Mesak, menjelaskan bahwa peradilan Dolop merupakan hukum tertinggi dan sakral bagi warga Agabag.

Dalam peradilan ini, roh nenek moyang dihadirkan melalui ritual khusus yang penuh makna.

Dolop, yang juga dikenal dengan sebutan Bedolop, adalah hak prerogatif dari tetua adat.

Keberhasilan pelaksanaan Bedolop sangat bergantung pada kebijaksanaan dan kemampuan tetua adat dalam melaksanakannya.

Untuk menggelar Bedolop, selain memerlukan tempat pelaksanaan yang harus berada di sebuah sungai, tetua adat juga harus mempersiapkan berbagai persyaratan.

Salah satu persyaratan penting adalah kayu rambutan hutan atau kalambuku, yang digunakan untuk menandai lokasi pelaku Bedolop.

Selain itu, terdapat juga persiapan upacara pemanggilan roh leluhur.

Upacara pemanggilan roh leluhur membutuhkan beberapa peralatan khusus, seperti beras kuning, batang pohon pisang, kain kuning, kain merah, dan pohon kalambuku.

Dalam upacara ini, semua roh nenek moyang, baik yang berasal dari darat maupun laut, dipanggil untuk menyaksikan jalannya prosesi Bedolop.

“Tetapi inti dari upacara pemanggilan roh adalah kita minta izin kepada Tuhan untuk mengadili keduanya. Upacara pemanggilan roh dilakukan dengan cara batang pisang dipukul-pukul ke tanah sekitar 5 menit. Setelah dirasa leluhur kita sudah hadir, Dolop dimulai,” kata Bajib Mesak.

Dua pihak yang berperkara akan menyelam sembari memegang batang kalambuku setelah tokoh adat memantrai mereka.

Bagi yang bersalah, dia akan lebih cepat muncul ke permukaan sungai dan menjadi pihak yang kalah.

Tidak jarang, darah akan keluar dari lubang hidung maupun telinga.

“Kondisi tersebut diyakini masyarakat Agabag sebagai campur tangan leluhur dan peradilan paling adil,” kata Bajib.

Dalam ritual ini, Roy disuruh memegang batang kalumbuku bersama mertuanya atau ayah dari esther.

Dari ritual itu, Roy kalah karena lebih dulu muncul ke permukaan.

Roy yang dinyatakan bersalah dalam ritual Dolop diwajibkan untuk menebus perbuatannya dengan menyediakan sejumlah barang adat sebagai denda, yakni Sampak Ogong, Belayung Layin, Buah Liabay Ansak, dan Saluangan Bungkas, yang merupakan jenis tempayan adat dengan harga dan tingkatan yang berbeda.

Selain itu, Roy juga harus menyediakan Kain Sitak, kain yang digunakan oleh Suku Agabag dalam acara adat dan prosesi tertentu.

Sebagai bagian dari denda, Roy juga diwajibkan untuk menyerahkan seekor sapi dewasa dan uang tunai sebesar Rp 30 juta.

“Jadi kalau dulu ada namanya ‘Ambasa’, istilahnya nyawa tukar nyawa. Tapi seiring perkembangan peradaban, Ambasa lebih mempertimbangkan hukum agama dan undang-undang, sehingga disepakatilah barter dengan barang-barang adat sebagai hukuman,” kata Sati.

Sumber