Dituntut Bebas, Guru Supriyani: Saya Tidak Pernah Melakukan Pemukulan...

Dituntut Bebas, Guru Supriyani: Saya Tidak Pernah Melakukan Pemukulan...

KOMPAS.com - Guru honorer Supriyani, yang dituduh memukul paha anak polisi di sebuah SD di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, dituntut lepas dari segala tuntutan hukum. Jaksa beralasan aksi Supriyani terjadi secara spontan tanpa ada niat jahat.

Meski Supriyani telah berulang kali membantah tuduhan itu, jaksa penuntut umum Ujang Sutisna meyakini pemukulan terjadi satu kali.

“Namun, pemukulan tersebut dilakukan secara spontan tanpa adanya niat jahat,” kata Ujang saat sidang ketujuh kasus ini di Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Senin (11/11).

“Oleh karena itu, terhadap terdakwa Supriyani tidak dapat dikenakan pidana. Unsur pertanggungjawaban pidana tidak terbukti,” katanya.

Walhasil, jaksa penuntut umum menuntut Supriyani “lepas dari segala tuntutan hukum”.

Sejumlah alasan lain melatari tuntutan ini, termasuk sikap sopan terdakwa selama persidangan serta fakta bahwa ia telah mengajar sebagai guru honorer sejak 2009, memiliki dua anak, dan tak pernah dipidana.

Jaksa juga merujuk Putusan Mahkamah Agung No. 1554K/PID/2013, yang menyatakan guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap muridnya.

Setelah sidang, Supriyani mengaku “senang” mendapat tuntutan bebas. Namun, ia menegaskan kembali, “Saya tidak pernah melakukan pemukulan.”

Penasihat hukum terdakwa rencananya akan membacakan pembelaan saat sidang lanjutan yang dijadwalkan pada Kamis (14/11).

Sebelumnya, Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) menyebut terdapat perlindungan yang timpang antara murid dan guru.

Walau tak memungkiri terdapat sejumlah guru yang “melampaui batas saat mendidik murid”, PGRI menganggap para guru juga kerap mendapat perlakuan buruk akibat profesi mereka, termasuk penganiayaan.

Antara Foto via BBC Indonesia Supriyani dipotret jelang menjalani persidangan di ruang sidang Pengadilan Negeri Andoolo, Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, Senin (28/10).Dalam kasus di Konawe Selatan, Wibowo Hasyim, seorang orang tua murid yang berstatus polisi dengan pangkat ajun inspektur dua, melaporkan Supriyani ke Polsek Baito.

Aipda Wibowo menuduh Supriyani, guru honorer di SD Negeri 4 Baito, memukul paha anaknya dengan sapu ijuk pada 24 April lalu. Akibatnya, tuduh Wibowo, anaknya mengalami luka.

Supriyani dan para guru di sekolah itu telah berulang kali membantah tuduhan Wibowo, baik kepada majelis hakim maupun kepada pers.

Terlepas dari persidangan kasus Supriyani yang masih berlangsung, persoalan terkait kenakalan atau ketidaktertiban serta upaya guru mendisiplinkan murid seharusnya tidak masuk ke urusan pidana.

Pendapat ini dikatakan Asep Iwan Iriawan, mantan hakim yang kini menjadi dosen di Universitas Trisakti.

Menurutnya, guru berhak merespons sikap dan perbuatan peserta didik dalam batas wajar.

Asep berkata, kalaupun orang tua murid tidak sepakat dengan cara mendidik yang diterapkan guru, persoalan itu semestinya diselesaikan di sekolah, bukan di kantor polisi atau pengadilan.

“Jadi semangatnya bukan memenjarakan guru. Jangan semua urusan dibawa ke ranah hukum,” ujar Asep.

Aparat penegak hukum, kata Asep, semestinya juga mengutamakan prinsip keadilan restoratif saat menangani persoalan semacam ini.

Prinsip keadilan restoratif merujuk pada upaya penegak hukum mendamaikan terduga pelaku dan terduga korban.

“Ini bisa diselesaikan dengan melibatkan orang tua murid, guru, dan pihak sekolah,” ujarnya.

Kepolisian membuat klaim, mereka telah berupaya menyelesaikan kasus Supriyani di luar mekanisme hukum.

Juru Bicara Polda Sulawesi Tenggara, Kombes Iis Kristian, bilang bahwa Polres Baito sudah lima kali mempertemukan Supriyani dan Wibowo Hasyim. Namun, kata Iis, perdamaian di antara dua pihak itu tidak terwujud.

“Penyidik juga berharap kasus ini bisa berakhir dengan damai,“ ujarnya.

Terkait keadilan restoratif, Polri memiliki regulasi internal, yaitu Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021.

Menurut Pasal 16 ayat 1 dan ayat 2 pada regulasi itu, kepolisian dapat menghentikan proses penyelidikan atau penyidikan jika pelaku dan korban sepakat berdamai.

Pada 28 Oktober lalu, misalnya, Polres Bombana di Sulawesi Tenggara mendamaikan guru dan orang tua murid dalam kasus dugaan penganiayaan di SD Negeri 27 Kecamatan Rumbia.

Guru di sekolah itu yang diduga melakukan kekerasan mengajukan permintaan maaf kepada keluarga murid. Kata maaf itu diterima dan Polres Bombana menutup kasus itu secara kekeluargaan.

Iis menyangkal pihaknya mengabaikan prinsip keadilan restoratif tersebut. Salah satu buktinya, kata dia, Polsek Baito tidak menahan Supriyani.

“Kami ingin mendamaikan, tapi kalau mereka tidak mencapai titik temu, kami harus bagaimana,” kata Iis.

Penyidik Polsek Baito lantas melanjutkan perkara ini. Mereka mengajukan berkas penyidikan ke jaksa penuntut umum.

Kejaksaan juga memiliki Peraturan Nomor 15 Tahun 2020. Regulasi ini mengatur penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif.

Namun Kejaksaan Negeri Konawe Selatan menyatakan berkas penyidikan kasus Supriani telah lengkap. Mereka melimpahkan perkara tersebut ke pengadilan.

Di pengadilan, Supriyani didakwa melakukan penganiayaan terhadap anak. Dia dijerat pasal 80 ayat 1 juncto pasal 76 C UU Perlindungan Anak serta pasal 351 KUHP.

Antara Foto via BBC Indonesia Seorang guru menangis saat melakukan aksi solidaritas untuk Supriyani, Senin (28/10).Perkara pidana yang menjerat Supriyani kini membuat banyak guru takut, kata Abdul Halim Momo, Ketua PGRI Sulawesi Tenggara.

Dalam sebuah kasus yang baru-baru ini terjadi di Konawe Selatan, kata Abdul, sejumlah guru ragu melerai perkelahian antarmurid.

Alasannya, mereka cemas bakal mendapat tuduhan tak berdasar terkait luka para murid akibat perkelahian tersebut.

“Situasi ini kan berbahaya. Ini bisa berimplikasi pada kualitas pendidikan,” ujarnya.

Untuk mencegah ketakutan meluas di antara guru, Abdul mendesak pemerintah dan DPR menyusun undang-undang tentang perlindungan guru.

Regulasi semacam itu, menurutnya, akan membuat status hukum yang seimbang antara guru dan murid.

Seperti Supriyani, kata Abdul, selama ini guru kerap dijerat undang-undang perlindungan anak. Padahal, merujuk data PGRI, tidak sedikit guru yang juga menjadi korban penganiayaan orang tua atau wali murid.

“Sudah terlalu banyak terjadi peristiwa di mana guru betul-betul dalam posisi tidak berdaya dan menjadi korban,” kata Abdul.

Pernyataan serupa diutarakan Menteri Pendidikan Dasar dan Menengah, Abdul Mu’ti.

Dia menyebut kriminalisasi terhadap guru kerap terjadi. Dia hendak berbicara dengan Kepala Polri untuk mengatasi kasus kekerasan yang melibatkan guru dan murid.

"Kasus yang seperti itu kan juga terjadi di tempat lain. Karena itu kami ingin menyelesaikannya dari hulu," kata Abdul Mu’ti kepada pers di Jakarta, Selasa (30/10).

Tahun 2013, Mahkamah Agung mengeluarkan putusan di tingkat kasasi yang membebaskan guru di Majalengka bernama Aop Saopudin.

Aop sebelumnya divonis bersalah karena memotong rambut gondrong muridnya.

Dalam Putusan bernomor 1554 K/PID/2013, Mahkamah Agung menyatakan guru tidak bisa dipidana saat menjalankan profesinya dan melakukan tindakan pendisiplinan terhadap muridnya.

Mantan hakim Asep Iwan Iriawan menyebut putusan tersebut harus menjadi rujukan para penegak hukum saat menghadapi persoalan guru-murid.

“Walaupun negara kita tidak mengenal konsep yurisprudensi, putusan itu harus menjadi petunjuk,” kata Asep.

“Yurisprudensi itu termasuk sumber hukum, kalau hukum sudah jadi norma, asasnya presumptio iures de iure.

“Artinya, setelah berlaku, norma itu wajib diketahui oleh orang, apalagi penegak hukum. Masa seorang penegak hukum tidak tahu?” kata Asep.

Pada 2020, PGRI dan Polri juga membuat nota kesepahaman tentang perlindungan hukum profesi guru.

Di lingkup PGRI, nota kesepahaman itu bernomor 606/Um/PB/XXII/2022. Sementara di kepolisian, berkas itu dicatat dengan nomor NK/26/VIII/2022.

Merujuk nota kesepahaman tersebut, kepolisian akan berkoordinasi dengan PGRI terkait penyelidikan terhadap guru. Kepolisian juga berkomitmen memberikan bantuan kepada guru yang mendapatkan intimidasi.

Selain itu, ada pula Peraturan Pemerintah 74/2008 tentang guru. Pasal 40 pada regulasi itu menyatakan, “guru berhak mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas” dari pemerintah.

Perlindungan yang diberikan pemerintah, menurut pasal itu, berkaitan dengan profesi, urusan hukum, serta keselamatan dan kesehatan saat bekerja.

Antara Foto via BBC Indonesia Supriyani saat hendak menjalani persidangan di Pengadilan Negeri Andoolo, Senin (28/10).Tuntutan jaksa menjadi babak baru persidangan Guru Supriyani. Setelah ini, pihak kuasa hukumnya mengajukan waktu untuk pembacaan pembelaan. Sidang lanjutan akan berlangsung Kamis (14/11).

Pihak kuasa hukum terdakwa mengatakan tuntutan jaksa sebagai "aneh", semestinya menurut mereka Guru Supriyani dituntut "bebas".

Pada Rabu lalu (30/10), majelis hakim menolak eksepsi atau bantahan kuasa hukumnya terhadap dakwaan jaksa.

Di luar urusan sidang, para guru di Konawe Selatan telah melakukan aksi solidaritas untuk mendukung Supriyani.

Bupati Konawe Selatan, Surunuddin Dangga, baru-baru ini mencopot Camat Baito, Sudarsono Mangidi.

Alasannya, Sudarsono tidak pernah melapor kepada Surunuddin terkait kasus Supriyani yang viral.

Pencopotan Sudarsono ini memicu kontroversi lain karena dia secara terbuka menunjukkan dukungan untuk Supriyani.

Sudarsono mempersilakan Supriyani dan keluarganya menempati rumah dinas camat. Dia juga meminjamkan mobil kantornya kepada Supriyani selama menjalani persidangan.

Pemkab Konawe Selatan telah membantah bersikap tidak netral dalam kasus Supriyani, terutama usai pencopotan Sudarsono.

Adapun, Polda Sultra memeriksa enam polisi dari Polsek Baito dan Polres Konawe Selatan, terkait dugaan permintaan uang sebesar Rp50 juta terhadap Supriyani.

Sumber