Dokter di Malang Dorong Penerapan Teknologi 3D Printing untuk Operasi Patah Tulang
MALANG, KOMPAS.com - Dokter Ortopedi dari Fakultas Kedokteran Universitas Brawijaya, dr. Domy Pradana Putra, Sp.OT, mengusulkan agar pemerintah mendukung penggunaan teknologi 3D printing di dunia medis.
Teknologi ini dinilai dapat mempercepat proses dan meningkatkan akurasi operasi pada pasien patah tulang.
Menurut Domy, teknologi 3D printing belum banyak diterapkan di rumah sakit Indonesia, sementara di luar negeri sudah digunakan secara luas untuk keperluan medis.
"Jadi memang kalau di rumah sakit luar negeri, misalnya ada kecelakaan di hari Senin, mereka langsung 3D printing-kan dan jadinya itu Selasa, di Selasa mereka diskusi dengan semua dokter-dokter, kemudian Rabunya baru operasi, sehingga pelayanan akan semakin bagus," ujarnya, Minggu (19/1/2025).
Sebagai dokter yang bertugas di Rumah Sakit Saiful Anwar (RSSA) Malang, dr. Domy kerap menangani pasien kecelakaan dengan patah tulang.
Ia telah menerapkan teknologi ini pada tiga pasien di RSSA.
Biaya untuk mencetak satu replika tulang menggunakan teknologi 3D printing mencapai jutaan rupiah. Oleh karena itu, ia berharap pemerintah dapat memberikan dukungan, seperti melalui fasilitas BPJS Kesehatan.
"Harapannya pemerintah ke depan bisa mendukung penerapan teknologi ini, bisa memfasilitasi melalui BPJS, karena seperti satu bentuk itu saja harganya sekitar Rp 3,5 juta, itu kerja sama dengan ITS (Institut Teknologi Sepuluh November)," katanya.
Teknologi ini memungkinkan pembuatan replika tulang yang identik dengan struktur anatomi pasien.
Data untuk pembuatan replika diambil melalui hasil CT Scan. Salah satu prototipe hasil teknologi ini dipamerkan dalam acara Dies Natalis FK UB Ke-51 pada Minggu (19/1/2025).
Penggunaan teknologi 3D printing dapat memvisualisasikan struktur tulang yang kompleks dengan lebih jelas.
Selain itu, teknologi ini juga dapat mengurangi durasi operasi hingga 50 persen.
Jika sebelumnya operasi patah tulang kompleks membutuhkan waktu rata-rata 4-5 jam, kini bisa dipersingkat menjadi hanya 2 jam.
Menurut dr. Domy, teknologi ini juga membantu meminimalkan risiko pascaoperasi, seperti infeksi dan kerusakan jaringan.
"Harapan kita dengan durasi semakin kecil, risiko infeksi menurun, kerusakan jaringan akan semakin menurun sehingga nyeri tidak begitu sakit. Dengan nyeri tidak begitu sakit, pasien akan cenderung segera bergerak," jelasnya.
Tindakan operasi yang menggunakan teknologi ini mencakup perencanaan jalur pemasangan sekrup dan penyesuaian plat atau implan sebelum operasi.