DPR Bakal Bahas Putusan MK Soal Presidential Threshold Setelah Reses
JAKARTA, KOMPAS.com - Wakil Ketua DPR Sufmi Dasco Ahmad menyatakan, DPR bakal mengkaji putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang menghapus ambang batas minimal pencalonan presiden atau presidential threshold.
Dasco mengatakan, tindaklanjut dari putusan itu akan dibahas setelah DPR masa reses yang sedang berjalan sejak 6 Desember 2024 sampai dengan 20 Januari 2025 mendatang.
“Bahwa itu kemudian akan dimasukkan dalam revisi undang-undang atau kemudian ada undang-undang yang diomnibuskan itu nanti belum kita putuskan,” kata Dasco di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (7/1/2024).
“Kita akan masuk masa reses setelah masa sidang, setelah reses tanggal 15 Januari,” lanjut Ketua Harian Partai Gerindra itu.
Kendati demikian, Dasco belum dapat memastikan apakah putusan MK nantinya masuk dalam Revisi Undang-undang dengan metode Omnibus Law. Namun, dia bilang, apapun putusan MK harus ditaati.
“Saya belum tahu apakah omnibus law ataupun apa namanya. Tetapi kemudian kita sama-sama tahu putusan MK itu adalah final dan mengikat dan wajib kita taati,” ucapnya.
Dasco berpandangan, MK ingin membuka ruang bagi banyak calon presiden dapat berkompetisi dalam pemilihan presiden (Pilpres) yang sebelumnya dibatasi dengan ambang batas 20 persen kursi di Parlemen.
Oleh sebab itu, DPR bakal membuat kajian yang komprehensif untuk mengakomodir putusan tersebut.
“Kita sama-sama tahu bahwa MK juga membuka ruang dan juga ada keinginan MK juga bahwa jangan sampai calon presiden terlalu banyak atau juga terlalu sedikit,” kata Dasco.
“Sehingga kita akan coba kaji dengan teman-teman di parlemen untuk mengupas dan juga kemudian membahas bagaimana sih yang diputuskan oleh MK itu akan dijalankan oleh DPR, supaya kemudian tidak menyalahi lagi aturan yang ada,” imbuhnya.
Adapun putusan yang menghapus presidential threshold yakni perkara Nomor 62/PUU-XXII/2024 yang dibacakan Ketua MK Suhartoyo pada Kamis (2/1/2025).
"Mengabulkan permohonan para pemohon untuk seluruhnya," ujar Suhartoyo saat membacakan putusan.
Suhartoyo menjelaskan bahwa norma Pasal 222 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2017 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 6109) bertentangan dengan UUD 1945.
Adapun yang dinyatakan bertentangan tersebut berkaitan dengan syarat ambang batas pencalonan presiden dan wakil presiden berbunyi sebagai berikut
"Pasangan Calon diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua puluh lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR periode sebelumnya."