DPR Diminta Hapus Larangan Siaran Langsung Persidangan dari RUU KUHAP

DPR Diminta Hapus Larangan Siaran Langsung Persidangan dari RUU KUHAP

JAKARTA, KOMPAS.com – Koalisi Masyarakat Sipil untuk Pembaruan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mendesak Komisi III DPR menghapus pasal dalam RUU KUHAP yang mengatur larangan siaran langsung persidangan tanpa izin pengadilan.

Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Nany Afrida menyatakan, pasal tersebut berpotensi mengganggu kebebasan pers.

“Kalau untuk kami dari AJI, kita melihat ada beberapa pasal di dalam KUHAP itu yang ternyata kita anggap mengganggu kebebasan pers. Misalnya, sidang itu tertutup, atau harus streaming, dan harus ada semacam izin dari ketua pengadilan,” kata Nany di Kompleks Parlemen, Jakarta, Selasa (8/4/2025).

Menurut Nany, pembatasan akses media terhadap proses persidangan justru bertentangan dengan prinsip transparansi yang menjadi bagian dari kerja jurnalistik.

“Kita merasa itu mengganggu kerja-kerja pers yang harusnya transparan. Kita harus tahu apa yang terjadi di dalam. Makanya saya bersama dengan teman-teman dari koalisi, ikut mencoba supaya pasal-pasal seperti ini, yang mengganggu kerja-kerja kita sekarang, itu bisa dicopot dari situ. Kalau bisa dihapuskan,” tutur Nany.

Nany menilai, peliputan sidang oleh media merupakan bagian dari hak publik untuk mengetahui informasi tentang suatu proses hukum, terlebih jika kasus yang disidangkan melibatkan kepentingan umum seperti kasus korupsi.

“Karena itu hak semua bangsa. Maksudnya, itu kan ada hubungan dengan kepentingan umum ketika sebuah proses pengadilan itu terjadi. Apalagi kalau melibatkan kepentingan umum, seperti korupsi, pembunuhan berencana, dan lain-lain,” ungkap Nany.

Nany pun memahami bahwa ada situasi tertentu yang mengharuskan persidangan digelar secara tertutup seperti pada perkara kekerasan seksual.

Namun, ia yakin bahwa jurnalis memahami batasan-batasan tersebut dan tetap berpegang pada etika peliputan dalam menjalankan kerja jurnalistik.

“Kecuali kalau seandainya pengadilan tentang kekerasan seksual, itu mungkin tertutup. Dan kita kan punya etika soal itu. Aku rasa wartawan-wartawan pasti paham, dan mereka pasti nggak akan diliput,” ucapnya.

Nany juga menganggap dalih Komisi III DPR yang menyebut larangan siaran langsung diperlukan agar tidak mempengaruhi keterangan saksi sebagai argumen yang tak relevan.

“Tapi kan kalau di luar pengadilan, mereka bisa saling ketahuan dari pengacaranya. Gimana cara nutupinnya? Kan nggak mungkin juga,” kata Nany.

Dia pun kembali menekankan pentingnya keterbukaan akses bagi jurnalis dalam meliput persidangan demi menjaga akuntabilitas proses hukum di Indonesia.

“Nah ini sekarang yang paling penting adalah membuka akses buat jurnalis juga untuk tahu apa yang terjadi di dalam pengadilan. Makanya kami dari AJI itu semangat untuk, kalau bisa jangan mengganggu kerja-kerja kita sebagai jurnalis. Itu saja,” ujar Nany.

Dalam rapat dengar pendapat umum (RDPU) dengan Komisi III DPR RI, Senin (24/3/2025), advokat Juniver Girsang mengusulkan agar revisi KUHAP melarang media melakukan siaran langsung persidangan tanpa izin pengadilan.

“Usul kami yang dimaksud pasal 253 ayat itu, ‘Setiap orang yang berada di ruang sidang pengadilan dilarang untuk mempublikasikan/liputan langsung proses persidangan secara langsung tanpa izin pengadilan,’” kata Juniver di Gedung DPR RI.

Meski demikian, Juniver menekankan bahwa siaran langsung bisa diperbolehkan jika mendapat izin langsung dari majelis hakim.

“Dilarang mempublikasikan atau liputan langsung, tanpa seizin, bisa saja diizinkan oleh hakim, tentu ada pertimbangannya,” jelasnya.

Juniver mengungkapkan kekhawatirannya bahwa siaran langsung persidangan dapat membuat saksi yang belum diperiksa mengubah keterangannya.

"Kenapa ini harus kita setuju? Karena orang dalam persidangan pidana kalau diliput langsung, saksi-saksi bisa mendengar, bisa saling mempengaruhi, bisa nyontek, itu kita setuju itu," kata Juniver.

Sumber