Dua Model Praktik Demokrasi
Ada banyak cara untuk menjalankan demokrasi. Di era modern ini, secara nasional, pemerintahan tidak lagi diselenggarakan secara langsung oleh rakyat, melainkan oleh para wakil-wakilnya, yang dipilih secara bebas dan setara. Maka dari itu, demokrasi saat ini adalah demokrasi perwakilan, atau pemerintahan oleh perwakilan rakyat yang dipilih secara bebas. Demokrasi tidak bisa lagi dimaknai sekedar pemerintahan oleh rakyat.
Oleh karena itu, demokrasi perlu dimaknai sebagai pemerintahan untuk rakyat, yaitu pemerintahan yang sesuai dengan keinginan rakyat. Jadi pemerintahan demokrasi yang ideal adalah pemerintah yang tindakannya selalu sesuai dengan keinginan semua warga negara. Sayangnya itu hanya merupakan cita-cita bagi setiap pemerintahan yang menamakan dirinya pemerintahan demokratis.
Arend Lijphart dalam bukunya Pattern of Majoritarian and Consensus Government in Twenty-One Countries, (1984) menjelaskan paling tidak ada dua model demokrasi yang dipraktekkan di muka bumi ini, yaitu model mayoritarian (Westminter model) dan model konsensus (consensus model). Kedua model ini tidak ideal, tetapi relatif sesuai keinginan banyak warga negara.
Esensi dari demokrasi Westminster model ala Inggris adalah pemerintahan (kabinet) dikendalikan oleh peraih kursi mayoritas (majority rule) di parlemen. Model mayoritarian ini cirinya adalah kekuasaan terkonsentrasi pada eksekutif (kabinet), yang berada pada tangan satu partai pemenang Pemilu, dengan kursi mayoritas di parlemen. Pemilik kursi minoritas akan menjadi oposisi di Parlemen. Hal itu terjadi karena hanya ada dua Partai politik yang dominan dalam Pemilu, yaitu partai buruh dan partai konservatif. Artinya masyarakat Inggris menjadi sangat homogen secara politik, kecuali dalam isu ekonomi.
Model Westminster, dijalankan dengan sistem bikameral yang asimetris, karena House of Lord yang bisa menunda pemberlakuan suatu UU. Pemerintahan berjalan secara terpusat dan terpadu, karena pemerintahan daerah merupakan wujud dari pusat. Serta daerah sangat tergantung pada pusat secara finansial. Sementara itu kedaulatan Parlemen adalah unsur penting dalam mayoritarianisme Westminster, yang berarti tidak ada batasan formal terhadap kekuasaan mayoritas di House of Commons, serta pengadilan tidak berwenang mengkoreksi keputusan parlemen. Hal itu berjalan karena tidak ada konstitusi tertulis di Inggris, yang ada hanya kebiasaan. Jadi model mayoritarian bisa berjalan ketika masyarakatnya relatif homogen, dan dua partai politik dominannya tidak memiliki pandangan yang terlalu jauh berbeda mengenai kebijakan pemerintahan.
Model kedua yang disampaikan Lijphart adalah model konsensus. Dalam model demokrasi konsensus, karakteristik dasarnya adalah semua yang terpengaruh oleh dampak keputusan, harus bisa terlibat dalam proses pembuatan keputusan, baik secara langsung atau melalui perwakilan. Model konsensus lebih cocok dijalankan dalam negara yang masyarakatnya heterogen atau plural, baik secara agama, ideologi, bahasa, budaya, etnis dan ras. Dalam kondisi heterogen yang tinggi seperti itu, sistem pemerintahan mayoritas bisa menjadi tidak demokratis, dan bahkan berbahaya. Karena kelompok minoritas yang merasaaksesnya pada kekuasaan mengalami penolakan, maka akan merasa dikucilkan, didiskriminasi, serta bisa-bisa kehilangan kepercayaan dan kesetiaan kepadapemerintah.
Masyarakat yang heterogen juga melahirkan sistem multi-partai dengan pendukung yang kaku, sehingga pergantian memerintah antara partai politik yang banyak, juga sulit terjadi. Implikasinya adalah kekuatan oposisi menjadi kurang relevan, karena yang diperlukan adalah kerjasama atau konsensus antar semua kekuatan politik yang beragam. Karena mengecualikan kelompok yang kalah dalam Pemilu (minoritas) untuk berpartisipasi dalam mengambil keputusan, jelas mengabaikan makna utama dari demokrasi, yaitu hak untuk berpartisipasi.
Maka dari itu model konsensus ditandai oleh adanya pembagian kekuasaan eksekutif dalam koalisi besar. Semua kekuatan politik penting ikut berbagi kekuasaan pemerintahan (share of power) menjadi koalisi besar, hubungan legislatif dengan eksekutif menjadi seimbang, dan independen. Badan legislatifnya berjalan secara bikameral, untuk memberikan representasi khusus untuk minoritas tertentu di dalam legislatif, yaitu kamar majelis rendah dan majelis tinggi.
Dalam model konsensus berjalan sistem multipartai, artinya badan legislatifnya diisi oleh perwakilan banyak partai. Partai-partai yang ada menunjukkan garis pembelahan rakyat berdasarkan agama, bahasa dan kelas ekonomi. Selain itu kekuasaan dibagi antara pusat dengan daerah. Pusat menjadi sangat kuat, tetapi desentralisasi tetap ada. Dan adanya konstitusi tertulis dan hak veto minoritas. Ciri-ciri sistem konsensus itu ditujukan untuk membatasi kekuasaan mayoritas, dengan mewajibkan adanya pembagian kekuasaan, penyebaran kekuasaan, distribusi kekuasaan yang relatif adil, dan membatasi secara formal kekuasaan melalui veto minoritas.
Lijphart juga menunjukkan adanya model penggabungan antara mayoritas dengan konsensus, yaitu sistem Amerika, yaitu lebih merupakan sistem tengah dari dua model tersebut. Yaitu sistem Presidensial, yang berbeda dengan sistem parlementer ala Inggris. Sistem federal Amerika yang berbeda dengan sistem unitaris Inggris, dan sistem dua partai Amerika yang longgar, dan sistem dua partai Inggris yang kohesif. Model mayoritas dan konsensus juga ditandai oleh hubungan eksekutif dan legislatif yang tampak dalam sistem Parlementer dan Presidensial. Sistem parlementer adalahbentuk demokrasi konstitusional, yang kekuasaan eksekutifnya datang dari dan bertanggungjawab kepada otoritas Parlemen. Ada dua karakternya, yaitu kepala eksekutif bergantung kepada kekuasaan legislatif di parlemen. Serta kepala eksekutif bisa diberhentikan oleh legislatif.
Sementara dalam sistem Presidensil, kepala eksekutif dipilih populasi untuk masa jabatan dalam waktu tertentu, berdasarkan ketentuan konstitusi. Kepala eksekutif tidak dapat dipaksa mengundurkan diri, dalam keadaan normal, oleh legislatif. Kecuali ada kondisi darurat, yang disebut impeachment. Dalam sistem presidensial terjadi pemisahan yang jelas antara legislatif dengan eksekutif. Jika eksekutif dan legislatif terjadi penggabungan, maka itu adalah sistem parlementer. Dalam sistem parlementer, anggota kabinet bisa sekaligus anggota parlemen.
Lijphar menyajikan kerangka konseptual yang kuat tentang penyelenggaraan demokrasi dengan model mayoritarian dan konsensus. Dua konsep itu memberikan kerangka analisis yang sistematis untuk menganalisis gejala demokrasi yang saat ini dipraktikkan di banyak negara. Dalam praktiknya, berdemokrasi dijalankan dengan perbedaan-perbedaan mendasar yang menjadi prinsip jalannya pemerintahan.
Model-model demokrasi yang dijalankan oleh suatu negara, juga sangat tergantung pada struktur masyarakat negara itu sendiri. Pilihan akan model mayoritas atau konsensus, ditentukan oleh konfigurasi masyarakat. Model konsensus lebih cocok untuk konfigurasi masyarakat yang majemuk atau plural. Sementara model mayoritas lebih cocok untuk konfigurasi masyarakat yang homogen. Namun, penggabungan dari kedua model itu juga bisa dipraktikkan.
Dari uraian Lijphart bisa disimak bahwa dalam model mayoritas, secara praktis lebih mudah membuat keputusan dengan cepat, meski pun bisa dinilai mengabaikan kelompok minoritas. Sementara dalam model konsensus keputusan bisa dibuat lebih inklusif, namun menghadapi tantangan waktu yang cukup panjang, karena harus mengakomodasi banyak kepentingan dari kelompok politik, agama, etnis, ras dan daerah yang berbeda-beda.
Meskipun Lijphart membagi model demokrasi seakan-akan dikotomis antara mayoritarian dengan konsensus, namun tipe ideal itu tidak seluruhnya ada dalam realitas. Artinya model-model demokrasi yang disajikan Lijhart tidak sesederhana itu dalam praktiknya. Dalam praktiknya demokrasi bisa berjalan bercampuran dari dua model itu. Praktik demokrasi di Indonesia menunjukkan gejala model campuran, karena menunjukkan model mayoritas, karena sistem Presidensial, tetapi juga sekaligus konsensus karena DPR yang cukup kuat posisinya. Serda adanya badan perwakilan yang bikameral, yaitu DPD dan DPR-RI.
Namun dari dua model demokrasi Lijphart ini kita bisa belajar bahwa, di negara-negara yang struktur masyarakatnya plural dan terfragmentasi, maka pilihan model konsensus adalah model paling memungkinkan untuk menghindari konflik. Jika kita lihat banyaknya negara terjerumus ke dalam konflik yang panjang, atau negara menjadi pecah, terjadi karena tidak bisa mencapai konsensus secara politik. Maka dari itu, untuk Indonesia ke depan, kerangka teoritis dari Lijphart ini perlu mendapat perhatian untuk dikembangkan, dengan tujuan untuk menghadirkan kondisi yang lebih baik untuk demokrasi Indonesia.
Amiruddin al-RahabPemerhati Politik dan HAMWakil Ketua Perkumpulan ELSAM, Jakarta