Dugaan Korupsi Perjalanan Dinas Sekwan DRPD Riau Capai Rp 162 M, Uangnya Dinikmati Artis hingga Ratusan Pegawai
PEKANBARU, KOMPAS.com – Kasus dugaan korupsi perjalanan dinas luar daerah di Sekretariat Dewan (Sekwan) DPRD Riau mencuat sebagai salah satu kasus dengan kerugian negara yang signifikan.
Penyidik Direktorat Reserse Kriminal Khusus (Ditreskrimsus) Polda Riau mengungkap kerugian negara akibat kasus ini mencapai Rp162 miliar.
Penyelidikan polisi menemukan bahwa uang hasil korupsi mengalir ke berbagai pihak, termasuk artis Hana Hanifah dan ratusan pegawai Sekwan DPRD Riau.
Pada Desember 2024, Hana Hanifah diperiksa sebagai saksi karena diduga menerima aliran dana tersebut.
Berdasarkan hasil pemeriksaan, Hana menerima uang secara bertahap, dengan nilai bervariasi antara Rp5 juta hingga Rp15 juta, yang jika diakumulasi mencapai sekitar Rp 900 juta.
Uang itu diberikan melalui rekening pihak ketiga yang digunakan oleh oknum di Sekwan DPRD Riau.
Selain Hana, polisi mengungkap 401 pegawai Sekwan DPRD Riau juga menikmati aliran dana ini.
Menurut Kombes Ade Kuncoro Ridwan, Direktur Ditreskrimsus Polda Riau, penerima terbagi dalam tiga kelompok, yaitu aparatur sipil negara (ASN), tenaga ahli, dan pegawai honorer. Setiap individu disebut menerima Rp 100 juta hingga Rp 300 juta.
Polisi mendesak pihak-pihak yang menerima aliran dana untuk mengembalikan uang tersebut ke negara. Hingga saat ini, baru Rp 7,1 miliar yang dikembalikan. Jika tidak ada itikad baik, polisi akan menetapkan penerima sebagai tersangka.
Kasus ini terkait anggaran perjalanan dinas tahun 2020-2021, periode di mana Sekretaris DPRD Riau dijabat oleh Muflihun, yang juga mantan Penjabat Wali Kota Pekanbaru.
Penyidik menemukan bukti tiket pesawat fiktif sebanyak 35.000 tiket, yang diajukan meskipun pada masa itu penerbangan tidak tersedia karena pandemi Covid-19.
Bukti tersebut diperkuat oleh penggeledahan kantor Sekwan DPRD Riau yang menghasilkan dokumen penting.
Penyidik juga menyita sejumlah aset yang diduga berasal dari hasil korupsi, termasuk lima apartemen di Batam, 11 unit homestay di Sumatera Barat, serta rumah pribadi Muflihun.
Meskipun telah berjalan cukup lama, polisi belum menetapkan tersangka dalam kasus ini. Penyidik beralasan masih memverifikasi penghitungan kerugian negara antara internal kepolisian dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Riau.
Gelar perkara untuk penetapan tersangka akan dilakukan setelah sinkronisasi penghitungan selesai.
Kasus ini menunjukkan kerumitan penanganan korupsi dengan skala besar dan melibatkan banyak pihak. Dengan aliran dana yang tersebar luas dan bukti yang melibatkan ribuan transaksi fiktif, polisi dihadapkan pada tantangan besar untuk mengungkap kebenaran dan menindak para pelaku.