Dunia Kampus dan Dosa Joki Akademik

Dunia Kampus dan Dosa Joki Akademik

Pekan lalu, Siris Subash, warga Amerika keturunan India berusia 14 tahun terpilih sebagai America’s Top Young Scientist dalam ajang 3M Young Scientist Challenge. Ia memenangkan hadiah USD 25.000 tunai untuk invensinya yang diberi nama PestiScand.

Teknologi itu memadukan analisis spektroskopi dengan kecerdasan buatan yang dipasangkan ke perangkat telepon pintar. Prinsip kerjanya didasarkan pada fakta bahwa setiap material memiliki nilai serapan dan pantulan spesifik terhadap gelombang cahaya. Alat itu mengukur serapan dan pantulan cahaya pada frekuensi tertentu sehingga residu pestisida pada buah-buahan dan sayuran dapat terdeteksi secara seketika. Anak muda itu menghadirkan solusi untuk masa depan.

Ia membuat masyarakat terhindar dari kemungkinan mengkonsumsi makanan berbahaya. Jauh sebelum itu, inovasi silk leaf yang merupakan teknologi daun artifisial diperkenalkan. Temuan Julian Melchiorri di Royal College of Art di Inggris tahun 2014 silam itu merupakan sumbangan lompatan jalan keluar atas beragam tantangan ketersediaan oksigen.

Kuncinya tak lain karena kerja ekstrak kloroplas dari sel tanaman alami yang dimasukkan ke dalam protein serat sutra. Dengan cara itu daun artifisial mampu melakukan proses fotosintesis dan menghasilkan oksigen bagai dedaunan asli.

Tentu saja itu sangat berguna karena dapat diterapkan dalam berbagai keadaan baik di dalam ruangan, area terbuka, bahkan untuk wahana ruang angkasa. Itu juga menjadi solusi dalam kerumitan persoalan ketersediaan oksigen jika misi kolonisasi ruang angkasa benar-benar terjadi kelak di masa depan.

Kedua penemuan di atas memiliki ciri serupa dalam hal memantik perubahan cara pandang atas suatu persoalan. Kalangan akademik memandangnya sebagai ikhtiar melabuhkan manfaat dari kuasa berpengetahuan di jalur dharma. Semacam manifestasi persepsi terhadap keadaan dan lalu memunculkan jawaban atas ekspektasi jalan keluar. Aras terbawahnya berupa solusi persoalan masyarakat. Di atas itu terdapat tantangan pertumbuhan bisnis berbasis inovasi dan penguatan daya saing negara.

Dunia berubah dengan sangat cepat. Itu berpengaruh pada perspesi dan hasrat kita semua. Tak terkecuali tentang bagaimana membangun kewajaran ekspektasi untuk hidup sebagai bangsa unggul, sejahtera dan adil di masa depan. Sesuatu yang mestinya dipanggul bersama dan khususnya oleh insan akademik.

Ruang peran itu mestinya mengikat terutama jika ditautkan dengan majas bahwa kampus sebagai kubah harapan kemajuan peradaban.

Terkait hal itu, Steffan Garello dalam The Enigma of Mataphor Philosophy, Pragmatic, Cognitive Science (Springer, 2024) menyebutkan bahwa pemaknaan atas majas terlampau rumit untuk dapat dijabarkan dalam definisi tunggal.

Majemuknya pengenalan dan pemaknaan publik berdampak pada persepsi. Hal tersebut berlaku pula kepada pemaknaan kampus sebagai kubah harapan. Kiasan sebagai suluh yang terpancar berkat kuasa berpengetahuan memicu pertanyaan mendasar. Mungkinkah kemajemukan pemahaman berselaras dan lalu menjalin ekspektasi masyarakat dalam ukuran universal dharma kalangan kampus?

Sebagai komunitas intelektual yang patuh pada kaidah global, insan akademik berhikmat dengan ukuran dharma yang sama. Setiap universitas maju pasti menjadikan riset dan kekuatan inovasi sebagai penggerak utama. Itulah yang akan memperkaya khazanah perkuliahan yang tersaji di ruang-ruang kelas. Membumikan kebermaknaan faedah berpengetahuan yang dilabuhkan dalam kegiatan pengabdian masyarakat dan layanan industri. Tak ketinggalan pula melentingkan jumlah sitasi dari publikasi terindeks yang dapat ditelusuri. Itu berlaku universal di seluruh dunia.

Sitasi merupakan penanda dari dampak publikasi. Maka Jeff Ollerton seorang professor tamu di Universitas Nothampton Inggris dan Kunming Institute of Botany China menjadikan indeks-h sebagai pijakan untuk mengukur sukses seorang akademisi.

Jika definisi Ollerton dijadikan acuan, maka jabatan professor adalah perlambang dari sukses karier seorang akademisi. Dapat pula dimaknai tentunya para guru besar memiliki indeks-h yang lebih tinggi dari sejawatnya yang bukan guru besar. Sayangnya, hal itu tidak selalu berlaku di dunia kampus di negeri kita.

Sengkarut persoalan jabatan guru besar di Universitas Lambung Mangkurat beberapa waktu yang lalu justru membuktikan kebenaran pernyataan Garello. Bahwa persepsi dapat sangat majemuk dan itu berdampak pada ekspektasi subyektif seseorang.

Penelusuran cepat di laman Scopus atas diri mereka yang tersangkut kasus itu menunjukkan hal yang memprihatinkan. Bahkan bila penelusuran sejenis diperluas ke seluruh universitas di negeri ini, mudah ditemukan dosen berjabatan akademik guru besar dengan indeks-h hanya 2 atau bahkan 1. Itumerupakan penanda bahwa publikasi mereka tidak ternilai memberi dampak pada penguatan ilmu pengetahuan. Mengapa demikian?

Pandangan Ollerton bisa saja benar. Namun inovasi PestiScand oleh Siris Subash yang belia dan belum memiliki kecemerlangan publikasi membuktikan bahwa dunia berubah lebih cepat bersama sukses melabuhkan hikmah dari kuasa berpengetahuan. Pada titik itulah kiranya dibutuhkan kecocokan persepsi bersama.

Bahwa kepatutan ekspektasi itu layak disandarkan kepada kekuatan dampak yang ditimbulkan oleh kuasa berpengetahuan. Hal itu terejawantah dalam persembahan inovasi baru dengan originalitas tinggi.

Oleh karena itu pengelolaan sistem inovasi unversitas kita tidak perlu menjadi serumit enigma agar semua kampus dapat bertransformasi menjadi sebenarbenarnya kubah harapan yang terbukti nyata. Pada titik itulah dibutuhkan migrasi yang luar biasa mendasar dan serempak. Peraturan perundangan harus menjadi sangat progresif.

Seorang peneliti misalnya berhak memiliki akun akan tetapi tidak perlu memegang uang. Segala transaksinya terkelola oleh divisi khusus di LPPM yang akan mengeksekusi dan menyesuaikan transaksi dengan dengan daftar belanja yang direncanakan. Begitu pun ketersediaan dan akses terhadap infrastruktur riset elok tidak tersentral di suatu institusi besar saja melainkan terdistribusi di berbagai tempat secara strategis.

Aturan yang dinamis itu bisa dilihat seperti pandu gelombang. Itu diperlukan agar kecemerlangan riset dan berinovasi para dosen dan peneliti di berbagai institusi dan universitas termodulasi hingga mencapai titik pancaran terjauh. Sudah cukup pilu kaum kampus dengan pemberitaan tentang ketidakpatutan akademik dalam berbagai bentuknya selama ini.

Para peneliti juga tidak perlu dibiarkan terjebak menjadi pendosa karena memanfaatkan layanan joki SPJ semata karena kerumitan pertanggung jawaban keuangan riset rumit. Dunia telah berubah dengan sangat cepat. Itu hanya dapat dikejar dengan nyali pembenahan masif di semua sektor sistem inovasi dan riset nasional kita. Semoga pemerintahan yang baru dapat mewujudkannya. Wallahualam.

Iwan Yahya. Dosen dan Peneliti, The Iwany Acoustics Research Laboratory (iARG) dan Center of Applied Physics for Wellness and Sustainable Living (CAPWell) Program Studi Fisika, Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam Universitas Sebelas Maret Surakarta.

Sumber