Efek Trump, Ekonom Wanti-Wanti Cadangan Devisa RI Terus Tergerus
Bisnis.com, JAKARTA — Chief Economist PT Bank Permata Tbk. (BNLI) Josua Pardede mewanti-wanti dampak negatif ketidakpastian global terutama kemenangan Donald Trump dalam ajang Pilpres Amerika Serikat 2024 ke cadangan devisa nasional.
Josua menjelaskan bahwa kemenangan Trump telah memperkuat sentimen risk off atau pengurangan risiko dan perlindungan modal secara global. Akibatnya, potensi aliran modal masuk ke pasar keuangan Indonesia hingga akhir tahun 2024 berkurang meskipun prospek ekonomi Indonesia cukup baik.
"Kebijakannya yang berfokus ke dalam negeri dapat memicu gelombang baru perang dagang dan mata uang, mendorong inflasi AS lebih tinggi dan mendorong The Fed untuk mempertahankan suku bunga kebijakan higher for longer," jelas Josua kepada Bisnis, Jumat (6/12/2024).
Apalagi, sambungnya, jika dikombinasikan dengan risiko perlambatan pertumbuhan yang berkepanjangan di China maka permintaan terhadap aset-aset safe haven terutama dolar Amerika Serikat (AS) kemungkinan meningkat.
Josua pun berpendapat akan terjadi modal keluar dari pasar negara berkembang, termasuk Indonesia. Selain itu, kebijakan proteksionisme Trump dapat menghambat kemajuan disinflasi AS sehingga membatasi kemampuan The Fed untuk menurunkan suku bunga acuannya dan meningkatkan daya tarik aset-aset AS.
Lebih lanjut, dia meyakini kenaikan imbal hasil obligasi AS akan berlanjut karena agenda pemotongan pajak Trump dapat memperlebar defisit fiskal AS sehingga memperkuat dolar AS terhadap mata uang global lainnya.
Oleh sebab itu, Josua meyakini Bank Indonesia (BI) kemungkinan besar akan menggunakan cadangan devisanya untuk mengintervensi pasar valuta asing dan menstabilkan rupiah yang dapat mengakibatkan penurunan tingkat cadangan devisa.
Meskipun demikian, dia meyakini fundamental ekonomi Indonesia yang relatif kuat dan prospek yang baik dibandingkan dengan negara-negara lain masih dapat menarik arus modal masuk.
"Mempertimbangkan perkembangan ekonomi dan pasar keuangan global baru-baru ini, kami mempertahankan proyeksi cadangan devisa, berkisar antara US$148—153 miliar pada akhir 2024," ungkap Josua.
Sejalan dengan itu, Bank Permata memproyeksikan rupiah akan melemah menjadi sekitar Rp15.500—15.900 per dolar AS pada akhir 2024. Angka tersebut melemah dibandingkan Rp15.397 per dolar AS pada akhir 2023.
"Untuk tahun 2025, kami memperkirakan cadangan devisa akan meningkat menjadi US$150—155 miliar, dengan rupiah diperdagangkan di kisaran Rp15.400—15.800 per dolar AS," tutupnya.
Sebelumnya, Bank Indonesia (BI) mencatat cadangan devisa mencapai US$150,2 miliar per akhir November 2024. Jumlah tersebut turun dari posisi pada akhir Oktober 2024 yaitu sebesar US$151,2 miliar.
Kepala Departemen Komunikasi BI Ramdan Denny Prakoso menjelaskan bahwa penurunan cadangan devisa tersebut akibat pembayaran utang luar negeri pemerintah.
"Posisi cadangan devisa tersebut tetap tinggi setara dengan pembiayaan 6,5 bulan impor atau 6,3 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah," ujar Ramdan dalam keterangan resmi, Jumat (6/12/2024).
Menurutnya, posisi cadangan devisa Indonesia berada di atas standar kecukupan internasional yaitu sekitar 3 bulan impor. Oleh sebab itu, BI meyakini cadangan devisa akan mampu mendukung ketahanan sektor eksternal, menjaga stabilitas makroekonomi, dan sistem keuangan Indonesia.
Ramdan mengklaim prospek ekspor tetap positif. Neraca transaksi modal dan finansial juga diyakini tetap mencatatkan surplus.
"Sejalan persepsi positif investor terhadap prospek perekonomian nasional dan imbal hasil investasi yang menarik," katanya.
Lebih lanjut, Ramdan mengungkapkan BI akan terus memperkuat sinergi dengan pemerintah untuk memperkuat ketahanan eksternal untuk menjaga stabilitas perekonomian dalam rangka mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan.
*Oktober 2024 merupakan rekor cadangan devisa RI terbesar sepanjang sejarah