Ekonom Bicara Peluang PPN 12% Dibatalkan Pemerintah, Mungkinkah?
Bisnis.com, JAKARTA — Kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN jadi 12% tetap menuai penolakan, bahkan setelah pemerintah mengumumkan paket insentif ekonomi sebagai kompensasi. Adapun, stimulus yang dikeluarkan sebagian besar hanya berlaku sesaat, yakni dua bulan pertama pada tahun depan.
Ekonom Senior-Founder Next Policy Fithra Faisal Hastiadi mengatakan dengan melihat strategi pemerintahan Presiden Prabowo Subianto, dalam jangka pendek kebijakan kenaikan PPN tersebut tidak lantas dibatalkan.
"Kalau 1% ini dianggap memberatkan, tipikal strategi itu [pemerintah] tidak menutup kemungkinan stimulus ditambah atau diskonnya diperbanyak, atau bahkan PPN-nya dibatalkan, berapa lama? biasanya 3—6 bulan, Juni atau Agustus baru dilihat [ditinjau ulang]," kata Fithra di Jakarta, Selasa (24/12/2024).
Sebagaimana diketahui, pemerintah memberikan paket insentif bagi rumah tangga, kelas menengah, hingga dunia usaha demi menjaga konsumsi masyarakat di tengah kenaikan pajak.
Adapun, kompensasi yang digelontorkan pemerintah atas paket insentif tersebut mencapai Rp265 triliun. Menurut Fithra, kebijakan tersebut sedikit banyak akan menopang pertumbuhan konsumsi yang memiliki porsi lebih dari 50% terhadap PDB nasional.
"Kalau fokus kesitu harusnya itu ada dampak ke ekonomi antara 0,1%—0,2% dampak kompensasi, cuma ada kompleksitas ada disinformasi terkait PPN," jelasnya.
Fithra pun menerangkan bahwa pada saat PPN naik menjadi 11% pada 2022 lalu, beban terberat dirasakan oleh masyarakat kelas menengah ke bawah, sementara kelas menengah atas hanya terdampak beban ekonomi 0,6%.
"Dan revenue-nya pada saat itu anjlok 1,4% karena sepertinya pemerintah tahu, jangan sampai aspek regresif ini terulang, akhirnya ada kompensasi," jelasnya.
Dengan kompensasi tersebut, pemerintah mengharapkan revenue sebesar Rp75 triliun. Namun, perhitungan Fithra maksimal hanya akan mencapai Rp10 triliun.
Di samping itu, Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Telisa Aulia Falianty mengatakan penerapan UU HPP sebagai amanah untuk menjalankan PPN 12% tidak sejalan antara asumsi dalam beleid tersebut dengan kondisi makro saat ini.
"Waktu itu asumsinya ekonomi akan booming lagi setelah kita lewat dari pandemi Covid-19. Ternyata kita enggak menyangka ada global condition scarring effect pandemi dan sebagainya, global contraction yang kemudian ekonomi menjadi down lagi,” jelasnya dalam kesempatan yang sama.
Dia melihat upaya pemerintah untuk memberikan stimulus kebijakan berupa insentif fiskal dan lainnya cukup baik untuk menghadapi risiko kenaikan PPN. Namun, dampaknya tidak akan langsung terasa dan membutuhkan waktu lantaran tidak merata dirasakan seluruh masyarakat, sementara kenaikan PPN untuk berdampak ke seluruh lapisan.
"Kalau PPN naik dampak luas, regresif, dan permanen. Sementara, stimulus temporer, secara nett-nya berarti stimulus mengurangi dampak negatif saja. Misalnya, dampak positif 100, dimitigasi dengan 30," tuturnya.
Dia pun menyayangkan keputusan pemerintah untuk menaikkan PPN ke berbagai banyak barang, tidak hanya barang mewah. Padahal, PPN untuk barang mewah dinilai lebih moderat dampaknya.
"Kalau optimistis kita berharap daya tahan masyarakat masih kuat, kita berharap tiba-tiba ada commodity boom yang menolong Indonesia, sehingga kalau harga komoditas bagus itu bisa menolong kita mengurangi dampak negatif PPN," ujarnya.