Ekonom Lingkungan Bicara Asas Pencemar Membayar di Sidang Harvey Moeis
Ahli Ilmu Ekonomi Lingkungan dari Universitas Bina Bangsa, Profesor M Suparmoko, menjelaskan dua asas dalam pengelolaan terkait kerusakan lingkungan. Dua asas itu yakni tanggung jawab negara, dan pencemar harus membayar.
Hal itu dijelaskan Suparmoko saat hadir sebagai saksi ahli di sidang kasus dugaan korupsi pengelolaan timah di Pengadilan Tipikor Jakarta, Kamis (31/10/2024). Duduk sebagai terdakwa adalah Harvey Moeis yang mewakili PT Refined Bangka Tin (PT RBT), Suparta selaku Direktur Utama PT RBT sejak tahun 2018, dan Reza Andriansyah selaku Direktur Pengembangan Usaha PT RBT sejak tahun 2017.
"Ahli menjelaskan juga dalam BAP (berita acara pemeriksaan) waktu penyidikan, ada dua konsep atau dua asas yang terkait dengan pengelolaan lingkungan yang juga berkaitan dengan kerusakan lingkungan. Yang pertama terkait dengan asas tanggung jawab negara, kemudian ada asas pencemar membayar. Bisa dijelaskan lebih lanjut dua asas ini Prof?" tanya jaksa.
Suparmoko menerangkan dalam UUD 1945 diatur pemerintah atau negara menguasai bumi, air, dan segala isinya. Sehingga kerusakan lingkungan merupakan bagian dari negara atau tanggung jawab dari negara. "Karena lingkungan merupakan kebutuhan yang sangat utama bagi kehidupan semua mahkluk," jawab Suparmoko.
Dia menjelaskan lebih lanjut soal asas ‘pencemar mesti membayar’, yaitu pelaku perusakan atau pencemaran lingkungan harus bertanggung jawab untuk memulihkan atau mengganti rugi. Ganti rugi tersebut bertujuan untuk pemulihan lingkungan yang rusak dan pemulihan dampak dari kerusakan lingkungan.
"Kalau lingkungan rusak, tidak hanya lingkungan yang diperbaiki, tapi dengan lingkungan rusak efeknya luas sekali," tambah Suparmoko.
Jaksa lalu menanyakan apakah perusahaan yang ikut menampung bijih timah ilegal bisa dibebankan ganti rugi kerusakan lingkungan. Jaksa menanyakan apakah ilustrasi itu bisa berlaku dengan asas pencemar harus membayar.
"Ada ilustrasi yang ingin saya sampaikan kepada Prof, kemudian ada pertanyaan setelahnya ya. Apabila terdapat kegiatan penambangan ilegal, katakanlah komoditasnya adalah tambang timah ya Prof, penambangan ilegal yang terjadi di peristiwa tersebut. Nah, ada struktur pelakunya katakanlah adalah ada penambang, kita ambil contoh masyarakat ya, penambang tidak punya ijin di sana, kemudian ada kolektor yang kemudian mengumpulkan bijih-bijih timah dari penambangan ilegal tadi, sekali lagi kata kuncinya ada ilegal," kata jaksa.
"Kemudian ada badan usaha atau perusahaan yang kemudian ketika misalnya, ini misalnya. ketika itu bisa dibuktikan ikut memodali yang kemudian punya kepentingan kemudian membeli atau bijih timahnya masuk ke badan usaha atau perusahaan tersebut. Nah, berdasarkan asas pencemar membayar tadi yang ahli sampaikan, apakah badan usaha atau perusahaan yang punya andil misalnya yang tadi, memodali kemudian pada akhirnya membeli ya atau mendapatkan bijih timah tadi secara ilegal, bukan di wilayah IUP-nya (ijin usaha pertambangan), itu bisa, konsep pencemar membayar ini apakah kira-kira bisa dibebankan juga kepada perusahaan tadi atau badan usaha tadi Prof?" imbuh jaksa.
Simak Video ‘JPU Bakal Hadirkan 15 Ahli di Sidang Harvey Moeis’
[Gambas Video 20detik]
Simak selengkapnya di halaman berikutnya.
Suparmoko lalu memberikan penjelasan. Dia mengatakan praktik penambangan ilegal tak bisa dibenarkan dan penampung hasil produksi bijih timah ilegal itu harus ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan lingkungan yang ditimbulkan.
"Kalau dari segi ilegalnya dulu ini sudah merupakan suatu perbuatan atau tindakan yang tidak bisa dibenarkan. Kemudian, penampung hasil produksinya boleh dikatakan begitu ya, itu juga tidak bisa dibenarkan, harus ikut bertanggung jawab terhadap kerusakan yang terjadi di lapangan. Masalahnya apakah kita punya catatan atau tidak, itu. Kalau kondisi awalnya kita mengetahui lalu terjadi kerusakan seberapa itu mudah menghitungnya, jadi saya kira begitu Pak," jawab Suparmoko.
"Bisa turut mempertanggungjawabkan kerugian yang timbul akibat penambangan ilegal tadi ya?" tanya jaksa.
"Iya, betul," jawab Suparmoko.
Berdasarkan surat dakwaan jaksa penuntut umum, kerugian keuangan negara akibat pengelolaan timah dalam kasus ini mencapai Rp 300 triliun. perhitungan itu didasarkan pada Laporan hasil audit penghitungan kerugian keuangan negara di kasus timah yang tertuang dalam Nomor PE.04.03/S-522/D5/03/2024 tertanggal 28 Mei.
"Bahwa akibat perbuatan Terdakwa Suranto Wibowo bersama-sama Amir Syahbana, Rusbani alias Bani, Bambang Gatot Ariyono, Mochtar Riza Pahlevi Tabrani, Emil Ermindra, Alwin Albar, Tamron alias Aon, Achmad Albani, Hasan Tjhie, Kwan Yung alias Buyung, Suwito Gunawan alias Awi, m.b. Gunawan, Robert Indarto, Hendry Lie, Fandy lingga, Rosalina, Suparta, Reza Andriansyah dan Harvey Moeis sebagaimana diuraikan tersebut di atas telah mengakibatkan kerugian Keuangan negara sebesar Rp 300.003.263.938.131,14," ungkap jaksa saat membacakan dakwaan Harvey di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Rabu (24/8).
Kerugian negara yang dibeberkan jaksa meliputi kerugian negara atas kerja sama penyewaan alat hingga pembayaran bijih timah. Lalu, jaksa juga membeberkan kerugian negara yang mengakibatkan kerusakan lingkungan nilainya mencapai Rp 271 triliun berdasarkan hitungan ahli lingkungan hidup.
Simak juga video ‘JPU Bakal Hadirkan 15 Ahli di Sidang Harvey Moeis’
[Gambas Video 20detik]