Ekonomi Indonesia Diprediksi Tumbuh 5,1 persen pada 2025, Said Abdullah Paparkan 6 Tantangannya

Ekonomi Indonesia Diprediksi Tumbuh 5,1 persen pada 2025, Said Abdullah Paparkan 6 Tantangannya

KOMPAS.com - Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) mengatakan, dalam kepercayaan masyarakat China, 2025 adalah tahun shio ular kayu yang melambangkan pengetahuan dan keanggunan. 

Shio ular kayu dipercaya sebagai perlambang tahun pertumbuhan dan ketahanan. 

“Dengan demikian, hanya bangsa yang memiliki ketahanan dan berpengetahuan yang akan tumbuh kuat pada 2025,” ujarnya dalam siaran pers, Kamis (2/1/2025).

Terkait kekuatan ekonomi Indonesia ke depan, Said memaparkan proyeksi dari berbagai lembaga dunia.

The International Monetary Fund (IMF) memprediksi pertumbuhan perekonomian Indonesia di level 5,1 persen. 

Sementara itu, laporan Indonesia Economic Prospects dari Bank Dunia pada Desember 2024 memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 sebesar 5,1 persen. 

Kemudian, The Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) pada November 2024 memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia 2025 sebesar 5,2 persen. 

“Proyeksi ini sesungguhnya tidak terlalu berbeda jauh dengan target pertumbuhan ekonomi pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 sebesar 5,2 persen,” katanya.

Di sisi lain, Bank Dunia memprediksi inflasi rata rata akan berada di kisaran 2,4 persen, sedangkan Institute For Development of Economics and Finance (Indef) memperkirakan inflasi di level 2,8 persen. 

Adapun target inflasi pada APBN 2025 sebesar 2,5 persen. Perkiraan inflasi terkendali dan berada di level rendah ini dikarenakan faktor eksternal dan internal. 

Dari sisi eksternal, laporan IMF pada Oktober 2024 menggambarkan bahwa perjuangan global melawan inflasi sebagian besar berhasil dimenangkan. Tingkat inflasi secara global diperkirakan mencapai 3,5 persen pada akhir 2025.

“Sebaliknya, dari sisi internal, kita berpotensi masih menghadapi pelemahan konsumsi rumah tangga sebagai penopang utama pertumbuhan perekonomian,” ujarnya. 

Said mengatakan, merosotnya daya beli berdampak pada rendahnya tingkat permintaan. Gejala ini sudah nampak sejak pasca-pandemi.

Lebih lanjut, Said menyoroti nilai tukar rupiah (kurs) terhadap dollar Amerika Serikat (AS), terutama di bawah kepemimpinan Donald Trump.

Sejak memenangi pemilu AS pada 7 November 2024, kurs rupiah terhadap dollar AS cenderung mengalami depresiasi. 

Menguatnya USD secara global dipicu kenaikan indeks harga konsumen dan yield US treasury yang berada di luar ekspektasi serta kepastian kebijakan pemangkasan Fed Rate yang tidak agresif.

“Bersyukur, jelang tutup 2024, Bank Indonesia bisa meredam tekanan kurs terhadap rupiah,” ungkapnya. 

Per 31 Desember 2024, rupiah ditutup di level 16.090/16.100 atau menguat Rp 40 (0,62 persen) dari hari sebelumnya. 

Pada 2025, Indef memperkirakan kurs di kisaran Rp 16.100 per dollar AS, sedangkan pada APBN 2025 di level Rp 16.000 per dollar AS.

“Dari seluruh proyeksi lembaga kredibel terhadap ekonomi makro kita pada 2025, tampak tidak berbeda jauh dengan target target APBN 2025,” ujarnya. 

Namun, kata Said, semua pihak tidak boleh terlena atas proyeksi tersebut. Sebab, proyeksi bisa berubah bila dinamika ekonomi nasional dan global berubah drastis. 

Berkaca dari peluang tersebut, Said menghitung menghitung tantangan Indonesia ke depan agar lebih dini dalam mempersiapkan diri.

Selain itu, pemerintah juga diharapkan membuat langkah yang memberikan lompatan penting bagi perekonomian nasional. 

“Tujuannya agar hitungan kita realistis, tetapi memberikan capaian yang optimistik,” ujarnya. 

Pertama, kemungkinan besar dunia akan dihadapkan perang tarif. China dihadapkan pada perang ekonomi secara multifront, yakni AS dan Uni Eropa. 

Uni Eropa bahkan telah memberlakukan bea masuk 43 persen untuk mobil listrik dari China. 

Semenrara itu, AS memberlakukan tarif masuk ke Meksiko dan Kanada atas barang ekspor untuk meredam imigran dan peredaran narkotika. 

AS juga akan mengenakan tarif ekspor dari negara-negara yang melakukan dedolarisasi, seperti China dan anggota BRICS. 

“Jika perang tarif ini semakin menajam di tahun ini, maka Indonesia akan terkena spillover effect, bisa negatif atau positif,” ujarnya. 

Ketua Badan Anggaran (Banggar) DPR RI itu menjelaskan, efek negatifnya adalah ketidakpastian bisnis global semakin tinggi dan biaya ekspor bisa berpotensi semakin tinggi. 

“Bila Indonesia bisa menggantikan produk produk impor yang dibutuhkan kedua negara, peluang ekspor Indonesia akan besar,” katanya. 

Dengan demikian, pemerintah dan eksportir harus membaca situasi tersebut sebagai peluang emas ke depan.

Kedua, perekonomian China yang menjadi mitra dagang terbesar Indonesia mengalami penurunan. 

Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan ekonomi Tiongkok 2025 di kisaran 4,5 persen. Perkiraan ini lebih rendah dari prediksi pertumbuhan China pada 2024 sebesar 4,8 persen. 

Said mengatakan, jika perekonomian China makin melambat karena produk ekspor globalnya terpukul, maka dampaknya juga akan terasa terhadap produk ekspor Indonesia ke China. 

“Pemerintah perlu menyiapkan mitigasi risiko atas menurunnya perekonomian China, semisal mencari negara lain sebagai pengganti ekspor ke China yang menurun,” katanya.

Ketiga, perang tarif bisa berdampak pada depresiasi dollar AS terhadap rupiah. Belajar perang tarif China dan AS pada 2018, banyak pelaku pasar lebih menyalakan tombol “risk on”, artinya menggenggam dollar AS lebih low risk ketimbang mata uang lainnya. 

“Jika situasi ini terulang, maka kita harus bersiap sejak dini untuk memperkuat sistem moneter kita,” katanya. 

“Saya mengapresiasi Bank Indonesia (BI) atas upaya menggunakan triple intervention di pasar spot, swap, dan DNDF untuk memperkuat rupiah, termasuk penggunaan underlying pembelian dollar AS dan rencana kebijakan debt switch/reprofiling,” ujarnya.

Said menilai, efek penguatan dollar AS bisa saja akan berlangsung lama jika perang tarif berkepanjangan. 

“Indonesia harus memanfaatkan diplomasi perdagangan internasional untuk membuat tata perdagangan dunia lebih adil, setidaknya tidak merugikan kepentingan nasional Indonesia,” katanya. 

Di dalam negeri, BI, Otoritas Jasa Keuangan (OJK), dan pemerintah perlu mengatur devisa hasil ekspor lebih ketat untuk kepentingan nasional.

Keempat, di dalam negeri, Indonesia menghadapi penurunan kelas menengah dan konsumsi rumah tangga. 

“Menurunnya kelas menengah akan menjadi ancaman bagi upaya Indonesia atas posisinya saat ini di upper middle income country,” terangnya. 

Sementara itu, menurunnya daya beli akan menjadi sumbangan negatif terhadap pertumbuhan ekonomi.

Said menyebutkan, pemerintah bisa mengombinasikan program makan siang bergizi gratis untuk siswa guna meningkatkan gizi anak, sekaligus menggerakan ekonomi usaha mikro kecil menengah (UMKM). 

“Libatkan para pelaku UMKM dalam rantai pasok makan bergizi gratis. Langkah ini akan berdampak multiplier ekonomi,” ujarnya.

Dia menjelaskan, sektor UMKM akan menyerap produk-produk petani dan peternak. Apalagi, sektor UMKM menopang tenaga kerja terbesar di Indonesia.

Kelima, data BPS memperlihatkan kontribusi industri pengolahan nonmigas terhadap produk domestik bruto (PDB) pada 2014 sebesar 21,28 persen dan pada 2023 kontribusinya menyusut 18,67 persen atau Rp 3.900 triliun dari total PDB atas harga berlaku mencapai Rp 20.892 triliun. 

“Banyak pihak menilai kita mengalami deindustrialisasi. Meskipun angka statistik menunjukkan penurunan, peluang industri manufaktur kita bangkit sangat besar,” katanya. 

Said mengatakan, jika industri manufaktur tumbuh, kelas menengah juga akan tumbuh sejalan dengan program industrialisasi.

Sebab, kelas menengah bisa menjadi tenaga kerja yang adaptif untuk menopang kebutuhan industri.

Menjawab tantangan di atas, peluang yang bisa ditempuh pemerintah untuk membangkitkan industri manufaktur dan mendorong kembali tumbuhnya kelas menengah hanya dengan perluasan program hilirisasi, yang saat ini masih di sektor nikel. 

“Perluasan hilirisasi bisa merambah ke bahan tambang selain nikel, perkebunan, pertanian, dan kehutanan, terutama yang menjadi kebutuhan rantai pasok global,” ungkapnya.

Keenam, selama sepuluh tahun Presiden Joko Widodo (Jokowi) membangun infrastruktur di seluruh pelosok negeri, bahkan DPR mendukung disahkannya Undang Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) untuk menyelesaikan hambatan ekonomi. 

“Seharusnya, dukungan infrastruktur dan UU Ciptaker menopang turunnya angka Incremental Output Ratio (ICOR),” ujarnya.  

Namun, dalam dua tahun berturut-turut, ICOR Indonesia tertahan di angka 6 dan tertinggi jika dibandingkan negara peers. 

“Jika kita periksa atas tingginya ICOR, dan dikaitkan dengan laporan The Economist menunjukkan masih tingginya praktik korupsi, dan problem struktural seperti ketidakefisienan birokrasi dan perizinan,” jelasnya. 

Said menegaskan, Indonesia memiliki peluang menurunkan ICOR jika berhasil membereskan hambatan ekonomi, seperti korupsi dan memberikan pesan jelas kepada investor dan pelaku pasar tentang arah kebijakan perekonomian lima tahun ke depan. 

“Dengan ICOR yang rendah, produk ekspor Indonesia bisa berdaya saing di pasar global. Menurunnya tingkat korupsi juga menguatkan kepercayaan kepada pemerintah,” katanya. 

Sumber