Eks Dirut Pertamina Jadi Tersangka Korupsi, Kasusnya Diusut Sejak 2017
JAKARTA, KOMPAS.com - Badan Reserse Kriminal (Bareskrim) Polri membutuhkan waktu lebih dari tujuh tahun untuk menetapkan mantan Direktur Umum PT Pertamina (Persero) periode 2012-2014, Luhur Budi Djatmiko, sebagai tersangka kasus korupsi.
Wakil Direktur Tindak Pidana Korupsi Badan Reserse Kriminal Polri Kombes Arief Adiharsa mengatakan, kasus korupsi yang menjerat Luhur sudah diselidiki sejak 18 Mei 2017 dan naik ke tingkat penyidikan pada Januari 2018.
"Selanjutnya dilakukan gelar perkara peningkatan status dari penyelidikan kepada penyidikan pada tanggal 17 Januari 2018,” kata Arief Adiharsa kepada wartawan, Rabu (6/11/2024).
Luhur baru diumumkan sebagai tersangka kasus dugaan korupsi terkait pembelian pembelian 4,8 hektare tanah di Kompleks Rasuna Epicentrum, Kuningan, Jakarta Selatan, Rabu kemarin.
Arief menjelaskan, dalam proses penyidikan dari penanganan perkara a quo pada 2017 hingga saat ini, penyidik telah melakukan serangkaian langkah komprehensif.
Beberapa di antaranya adalah pemeriksaan terhadap 84 saksi, termasuk seorang notaris serta lima ahli.
Kemudian, mengumpukan 612 dokumen, melakukan empat kali penetapan penyitaan oleh Pengadilan Negeri Jakarta Pusat,, serta mengukur dan survei lapangan atas aset DKI Jakarta yang menjadi obyek transaksi.
Kegiatan itu dilakukan bekerja sama dengan Badan Pengelola Aset Daerah DKI Jakarta, dinas terkait, Pertamina, Kantor Pertanahan BPN Jaksel, dan auditor Badan Pemeriksa Keuangan..
“Langkah-langkah lainnya termasuk penelusuran informasi aset dan transaksi di PPATK RI, Bursa Efek Indonesia (BEI), Kustodian Sentral Efek Indonesia (KSEI), serta OJK RI,” kata Arief.
Penilaian juga dilakukan terhadap laporan KJPP Penilai P2PK Kemenkeu RI yang menghasilkan temuan pelanggaran berat, dan terhadap objek tanah untuk tujuan litigasi dengan menunjuk DP Mappi-KJPP untuk objek transaksi 2013.
Selain itu, penyidik menelusuri korespondensi digital di e-office beberapa staf PT Pertamina selama 2011-2015 dengan bantuan tim digital forensik BPK RI.
“Penyidik juga mengirimkan SP2HP ke Kejagung RI, menerima Laporan Hasil Pemeriksaan Investigatif atas Pembelian Tanah di Komplek Rasuna Epicentrum dari BPK RI, serta melaksanakan gelar perkara untuk penetapan tersangka,” ujar Arief.
Adapun kerugian negara dalam kasus ini diduga mencapai Rp 348,6 miliar berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan.
“Laporan hasil pemeriksaan investigatif terkait Kerugian Keuangan Negara tersebut diserahkan oleh auditor BPK RI kepada Dittipidkor Bareskrim Polri. Hasil perhitungan dari BPK RI menunjukkan bahwa nilai kerugian keuangan negara dalam kasus ini mencapai Rp 348,6 miliar,” kata dia.
Sementara itu, VP Corporate Communication Pertamina Fadjar Djoko Santoso menyatakan, Pertamina menghormati proses hukum yang sedang berjalan di Bareskrim Polri.
“Pertamina berharap proses hukum dapat berjalan sesuai aturan berlaku dengan tetap mengedepankan azas hukum praduga tak bersalah,” ujar Fadjar.
Pertamina menyatakan, senantiasa berkomitmen untuk mengelola bisnis dengan prinsip transparansi dan akuntabilitas sesuai dengan Good Corporate Governance (GCG).