Eksistensi Ombudsman di Tengah Program Lapor Mas Wapres

Eksistensi Ombudsman di Tengah Program Lapor Mas Wapres

“Jadi apa yang dilakukan ini adalah untuk memaksimalkan sebenarnya, bagaimana penyelenggara negara dapat mengelola pengaduan dari masyarakat secara sederhana, cepat tepat, tuntas terkoordinasi dengan baik dan tentunya dengan kami lanjutkan juga bagaimana negara memberikan akses untuk partisipasi masyarakat dalam menyampaikan pengaduan.”

PERNYATAAN di atas datang dari Tenaga Ahli Utama Badan Komunikasi Kepresidenan, Prita Laura saat menegaskan bahwa "Lapor Mas Wapres" bukan program milik Wapres Gibran Rakabuming Raka, tapi sepenuhnya program pengaduan milik pemerintah.

"Lapor Mas Wapres" merupakan program pengaduan pelayanan publik yang diluncurkan pada Senin, 11 November 2024, oleh Istana Wakil Presiden Republik Indonesia.

Dalam layanan tersebut, masyarakat dapat menyampaikan aduan secara langsung dengan mendatangi Istana Wakil Presiden yang berada di Jakarta Pusat, maupun secara daring melalui nomor Whatsapp (WA) 0811 1704 2207.

Berbicara pelayanan publik memang tidak lepas dari peran penyelenggara pelayanan publik sebagaimana yang dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik.

Selain memberikan kepastian hukum, UU tersebut memberikan penegasan bahwa perlu adanya upaya untuk meningkatkan kualitas dan menjamin penyediaan pelayanan publik sesuai dengan asas-asas umum pemerintahan dan korporasi yang baik serta untuk memberi perlindungan bagi setiap warga negara dan penduduk dari penyalahgunaan wewenang di dalam penyelenggaraan pelayanan publik.

Berdasarkan data yang disampaikan oleh Badan Komunikasi Kepresidenan, hingga hari keempat sejak peluncuran program ini, sudah ada 296 laporan yang diterima mulai dari kasus pendidikan, kesehatan, sengketa tanah, dan lain sebagainya.

Deputi Administrasi Sekretariat Wakil Presiden, Sapto Harjono mengatakan bahwa Sekretariat Wakil Presiden menerima apapun bentuk keluhan masyarakat melalui "Lapor Mas Wapres".

Tentu menjadi pertanyaan, apakah sebenarnya ranah pengaduan pelayanan publik menjadi kewenangan dari wakil presiden? Apakah efektif jika seluruh pengaduan masyarakat dari seluruh Indonesia ditampung melalui layanan ‘Lapor Mas Wapres’?

Memang, dalam Konstitusi Indonesia tidak diatur secara tegas tentang kewenangan wakil presiden, secara eksplisit dalam pasal 4 ayat 2 UUD NRI Tahun 1945 bahwa dalam melakukan kewajibannya, presiden dibantu oleh satu orang wakil presiden.

Namun, kalau merujuk pada UU Pelayanan Publik, wakil presiden merupakan bagian dari penyelenggara negara yang dimaksud sebagai penyelenggara layanan publik, sehingga bisa dijadikan dasar menjustifikasi bahwa wakil presiden berhak membuka platform pengaduan publik.

Dari kacamata masyarakat, jika melapor langsung ke orang nomor dua di Indonesia, ada harapan bahwa aduan mereka bisa segera diterima, mendapatkan solusi yang cepat dan terbaik.

Stigma yang tumbuh di masyarakat adalah, ketika melapor kepada ‘orang pusat’ pasti akan segera ditanggapi oleh instansi/lembaga yang dilaporkan/diadukan.

Tingginya peminat layanan ‘Lapor Mas Wapres’ sebenarnya menjadi introspeksi bagi penyelenggara layanan publik, bahwa ruang pengaduan layanan publik belum maksimal dapat dirasakan oleh masyarakat untuk mengadu/melaporkan atau bahkan belum dijalankan sama sekali.

Padahal, pengaduan layanan publik merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari proses penyelenggaraan pelayanan publik yang dijamin oleh UU.

Pertanyaan berikutnya adalah, bagaimana dengan Ombudsman yang justru tugas utamanya menerima aduan layanan publik? Apakah Ombudsman sudah tidak menarik lagi di mata publik?

Dari kacamata teknokrat maupun akademisi, pengaduan pelayanan publik seharusnya menjadi ranah Ombudsman. Bahkan, lembaga pengawasan ini hadir karena dibentuknya UU yang memberikan jaminan atas pelayanan publik di Indonesia.

UU Pelayanan Publik sebenarnya sudah memberikan prosedur jelas tentang proses pengaduan layanan publik, baik yang dilaksanakan melalui pengawasan internal maupun eksternal.

Ombudsman juga sudah diberikan kewenangan yang dijamin oleh UU untuk menerima, memproses, hingga menyelesaikan pengaduan layanan publik. UU juga mengamanatkan Ombudsman memiliki kantor perwakilan di seluruh provinsi wilayah Republik Indonesia.

Adanya perwakilan Ombudsman di seluruh provinsi seharusnya semakin memperluas ruang pengaduan pelayanan publik, serta melakukan upaya mitigasi dengan mengawasi berjalannya pelayanan publik yang berkualitas.

Belum lagi, ruang-ruang digital yang terus digalakkan pemerintah melalui penyediaan aplikasi pengaduan layanan publik.

Ketidakefektifan aplikasi pengaduan publik pada akhirnya menurunkan kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah.

Aplikasi yang seharusnya menjadi sarana untuk meningkatkan keterlibatan publik justru menjadi simbol kegagalan komunikasi antara pemerintah dan rakyat.

Program ‘Lapor Mas Wapres’ sebenarnya menjadi terobosan yang solutif untuk saat ini. Namun menjadi ironi bagi Ombudsman Republik Indonesia, sudah sejauh mana berhasil menjadi lembaga independen yang dipercaya publik.

Lembaga yang tugas utamanya harusnya menerima aduan layanan publik, justru diambil oleh Istana Wakil Presiden.

Apalagi, dengan disetujuinya penambahan anggaran Ombudsman senilai Rp 201,72 miliar pada 2025, tentu akan menjadi tantangan bagi Ombudsman di tengah tingginya minat masyarakat menggunakan layanan ‘Lapor Mas Wapres’.

Penambahan jumlah anggaran Ombudsman harapannya digunakan meningkatkan citra Ombudsman sebagai lembaga independen yang dipercaya dapat menyelesaikan pengaduan layanan publik.

Tidak lagi menghabiskan anggaran dengan kegiatan-kegiatan seremonial yang sifatnya hanya kepentingan internal, tanpa melakukan perbaikan substantif ke luar (kualitas pelayanan ke masyarakat).

Di sisi lain, Pemerintah dan DPR juga harus memikirkan ulang perbaikan Ombudsman secara kelembagaan melalui revisi UU tentang Pelayanan Publik.

Dari beberapa kasus yang diselesaikan Ombudsman, masih terdapat instansi yang tidak menjalankan rekomendasi Ombudsman. Artinya, secara kelembagaan eksistensi Ombudsman masih dipandang sebelah mata oleh lembaga yang menyelenggarakan pelayanan publik.

Tentu, meningkatkan marwah dan penghormatan kepada Ombudsman sebagai lembaga pengawas eksternal pelayanan publik harus dimulai dengan merumuskan kembali kewenangan Ombudsman untuk menjawab persoalan selama ini.

Tanpa adanya perbaikan secara kelembagaan, maka upaya apapun akan menjadi sia-sia.

Sejatinya, kelembagaan adalah jati diri dari sebuah institusi. Semakin baik jati diri suatu lembaga negara, tentu akan berdampak pada semakin efektifnya kewenangan yang dijalankan lembaga tersebut.

Secara jangka pendek, ‘Lapor Mas Wapres’ mungkin akan menjadi langkah yang diminati masyarakat di tengah ketidakpuasan masyarakat terhadap penyelenggaraan pelayanan publik. Harapannya, program ini bukan sekadar ‘gimik’ untuk mencari atensi masyarakat.

Namun, pemerintah perlu memikirkan menata ulang pengaduan pelayanan publik serta meningkatkan marwah Ombudsman.

Secara hierarki dan tupoksi, tidak mungkin wakil presiden tugas sehari-harinya menjadi saluran pengaduan dari berbagai sektor di seluruh Indonesia.

Tentu, berbagai sektor vital yang memengaruhi Indonesia di kancah nasional maupun internasional adalah tugas wakil presiden, termasuk penugasan penting yang diberikan apabila presiden berhalangan.

Kalau memang memiliki niat memperbaiki pelayanan publik, Pemerintah Pusat seharusnya dapat menjalankan koordinasi dengan kementerian/lembaga terkait sebagai langkah jangka panjang, termasuk menata ulang Ombudsman melalui revisi UU Pelayanan Publik.

Sebagai penutup, kalimat dari Alexander Hamilton, Bapak Pendiri Amerika Serikat, “Sistem check and balances memberikan setiap cabang pemerintahan kekuasaan untuk mengawasi dan membatasi kekuasaan cabang lain, dengan tujuan menciptakan pemerintahan yang seimbang, tidak ada yang dominan atau absolut."

Sumber