Energi Fosil Diproyeksi Masih Jadi Primadona saat Trump Pimpin AS

Energi Fosil Diproyeksi Masih Jadi Primadona saat Trump Pimpin AS

Bisnis.com, JAKARTA - Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Tri Winarno memproyeksikan energi fosil masih  menjadi primadona usai Donald Trump terpilih sebagai presiden Amerika Serikat (AS).

Tri menjelaskan hal itu tak lepas dari langkah Trump yang memasukkan nama Chris Wright sebagai menteri energi di kabinet pemerintahan mendatang. Wright dikenal sebagai sosok eksekutif di bidang energi yang pro energi fosil.

"Berarti kebijakan Trump ke depan akan lebih condong kepada energi fosil. Kan kira-kira begitu kan?" kata Tri dalam acara Bisnis Indonesia Economic Outlook 2025 di Jakarta, Selasa (10/12/2024).

Oleh karena itu, Tri menilai jika Trump cenderung mendukung energi fosil, maka upaya transisi energi yang sudah dideklarasikan pertama kali di COP26 berpotensi jalan di tempat.

Selain itu, penggunaan batu bara juga akan terus berjalan. Tri menilai jika kedua hal di atas terjadi, maka produksi baterai kendaraan listrik (electric vehicle/EV) di Indonesia berpotensi ikut terhambat.

"Maka EV baterai dan lain sebagainya itu tidak akan eksponensial dalam 4 tahun ini paling enggak. Kan kira-kira seperti itu. Balik lagi ini bukan mewakili institusi ya, tapi ini karena lebih kepada pribadi saja," jelas Tri.

Trump sebelumnya pernah berjanji mencabut aturan wajib kendaraan listrik jika terpilih kembali menjadi presiden. Menurut Trump, mendorong penggunaan EV hanya menimbulkan pemborosan anggaran. Di satu sisi, Indonesia sedang menggenjot hilirisasi nikel untuk produksi bahan baku baterai EV.

Sementara itu, Executive Director Mining Association (IMA) Hendra Sinadia menilai pengaruh kemenangan Trump terhadap upaya hilirisasi dan pembangunan industri EV di RI tak akan terjadi dalam waktu dekat. Sebab, permintaan mobil bertenaga setrum itu tidak hanya berasal dari AS. 

"Tentu pasti ada dampak dengan proteksionisme di AS, tapi kan semua negara juga melakukan proteksionisme. Apapun hasil pemilihan di AS tentu tidak akan, bukan tidak berdampak, tapi dalam waktu dekat tidak terlalu berpengaruh terutama dalam pengembangan hilirisasi nikel," jelas Hendra kepada Bisnis di Jakarta, Rabu (6/11/2024). 

Hendra juga tak begitu khawatir terhadap potensi penurunan permintaan EV dari Negeri Paman Sam. Pasalnya, selama ini pasar EV terbesar masih dipegang oleh negara-negara Asia. 

"Ekspor kita kan paling banyak ke Asia," ucapnya.

Sumber