Erdogan Kini Dekati Kelompok Kurdi, Kenapa?
Merupakan kejutan besar ketika Devlet Bahceli, pemimpin partai ultranasionalis MHP, tiba-tiba berjabat tangan dengan politisi Kurdi dari partai DEM pada bulan Oktober silam. Padahal, selama ini dia menuntut DEM dibubarkan dengan dalih sebagai ekstremis kiri yang pro-Kurdi dan perpanjangan tangan dari organisasi teroris Partai Pekerja Kurdistan, PKK.
Beberapa pekan setelah peristiwa langka itu, Bahceli menyarankan agar pemimpin PKK Abdullah calan dapat dibebaskan bersyarat, jika dia bersedia mengumumkan pembubaran PKK. Sebagai informasi, MHP adalah tangan politik dari kelompok ekstrimis sayap kanan Serigala Abu-abu dan terkenal dengan ideologi anti-minoritasnya.
Pada hari-hari berikutnya, pemimpin PKK calan mendapat keringanan di dalam tahanan. Dia antara lain menerima kunjungan keluarga untuk pertama kalinya dalam 43 bulan. Pria berusia 76 tahun ini telah berada di sel isolasi di penjara dengan keamanan tinggi sejak 1999.
Turki pernah melakoni negosiasi damai dengan PKK sepuluh tahun lalu, yang dibatalkan Erdogan pada tahun 2015. Setelah tahun-tahun tanpa kekerasan, konflik berdarah kembali berkobar. Pemerintah mulai menindak politisi Kurdi di dalam negeri dan melancarkan operasi militer di Irak utara dan Suriah timur laut. Markas PKK terletak di Pegunungan Qandil di Irak. Pemerintahan mandiri Kurdi secara de facto telah didirikan di Suriah sejak perang saudara meletus.
Langkah Bahceli mengusulkan pembebasan dini bagi calan mencetuskan pertanyaan tentang apa yang sedang direncanakan Ankara. Kenapa perwakilan pemerintah mencari kedekatan dengan calan, sementara pada saat yang sama politisi lokal Kurdi yang terpilih digugurkan? Ketidakjelasan tersebut memicu terbitnya kabar burung, betapa pemerintah Turki telah gagal dalam negosiasi rahasia dengan PKK.
Dua minggu yang lalu, walikota distrik Esenyurt di Istanbul ditangkap karena dituduh memiliki hubungan dengan PKK. Beberapa hari kemudian, tiga walikota Kurdi di tenggara negara itu digeser paksa dan digantikan oleh pejabat sementara.
Hal ini terjadi pada Ahmet Trk, seorang veteran politik Kurdi. Pria berusia 82 tahun itu pernah terpilih menjadi Wali Kota Mardin sebanyak tiga kali dan diberhentikan sebanyak tiga kali.
Pengamat sepakat, lobi kepada kelompok Kurdi adalah cara Erdogan untuk memperpanjang masa jabatan. Perubahan konstitusi diperlukan untuk masa jabatannya yang keempat, namun dia kekurangan mayoritas di parlemen. Untuk mencapai hal ini, dia diyakini berusaha mengendalikan kelompok Kurdi dan DEM yang pro-Kurdi. Sebagai imbalannya, dia memberikan kelonggaran, seperti pelonggaran tahanan rumah bagi calan atau kemungkinan diakhirinya praktik pemerintahan militer di wilayah Kurdi. Artinya, dia juga bisa memecah belah oposisi.
Bagi ilmuwan politik Arzu Yilmaz di Universitas Kurdistan Hewler di Erbil, Irak utara, alasan lain memainkan peran yang menentukan, "pertama dan terpenting adalah situasi yang tidak stabil di Timur Tengah dan keputusan pemerintah AS untuk menarik tentara Amerika dari wilayah tersebut, dan pada tahun 2026 untuk menarik diri dari Irak dan Suriah". "Setelah terpilihnya kembali Donald Trump, hal ini mungkin bisa terjadi lebih cepat," kata Yilmaz..
Masih ada 2.500 tentara AS yang ditempatkan di Irak dan 900 di Suriah. Di Suriah mereka bekerja sama erat dengan milisi Kurdi di sana. "Keseimbangan kekuatan sedang bergeser di Timur Tengah, di sisi lainnya, Turki meski memiliki ambisi, bukanlah pemain penting di Timur Tengah," kata Yilmaz. Ankara mungkin sekarang ingin mengubahnya.
Bese Hozat, salah satu ketua KCK, organisasi payung PKK, juga mengungkapkan sentimen serupa. Dalam sebuah wawancara, dia mengatakan posisi dan pengaruh geopolitik dan geostrategis Turki di kawasan secara bertahap melemah. Hal ini menyebabkan pemerintah Turki panik. Mereka mencari jalan keluar dan mencoba mengeksploitasi pemimpin Kurdi calan untuk tujuan mereka sendiri.
Pada hari Minggu, Recep Tayyip Erdogan mengumumkan bahwa dia akan segera menutup "kesenjangan keamanan di perbatasan selatan," yang mengancam operasi militer Turki lebih lanjut di Suriah dan Irak.
Dari sudut pandang Arzu Yilmaz, kelompok etnis Kurdi Irak tidak perlu khawatir dengan masa depan. Status quo mereka tertanam dalam konstitusi negara. Namun, masa depan wilayah pemerintahan mandiri Rojava di timur laut Suriah masih belum pasti. Sejauh ini kelompok ini telah didukung oleh Amerika. Apa yang akan terjadi setelah penarikan pasukan AS dan siapa yang akan mengisi kekosongan kekuasaan masih belum jelas. Yang penting adalah bagaimana suku Kurdi bekerja sama satu sama lain di berbagai bidang. "Hal ini akan sangat penting untuk menentukan apakah suku Kurdi pada akhirnya akan keluar dari krisis ini dengan kekuatan atau kelemahan."
Menurut sumber yang dekat dengan PKK, pertemuan pertama partai Kurdi dari Irak, Iran, Suriah dan Turki berlangsung di Brussels pekan lalu, untuk membahas situasi di Timur Tengah dan kemajuan Ankara. Tidak ada yang diketahui tentang hasilnya.
Suku Kurdi adalah bangsa terbesar di dunia yang tidak mempunyai negara sendiri. Menurut perkiraan, ada lebih dari dua belas juta orang Kurdi yang tinggal di Turki, sekitar enam juta di Irak dan Iran, dan hampir tiga juta di Suriah.
Komunitas diaspora Kurdi terbesar tinggal di Jerman dengan jumlah sekitar satu juta orang. Komunitas ini menyerukan demonstrasi besar-besaran pada tanggal 16 November di kota Kln,untuk memprotes tindakan pemerintah Turki saat ini.
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman
Simak juga Video ‘Erdogan Sebut Israel Biang Kerok Kerusakan Lingkungan di Gaza’
[Gambas Video 20detik]