Eselon III Basarnas Disebut Dapat THR Rp 10 Juta dari Pemenang Lelang
JAKARTA, KOMPAS.com - Mantan pejabat Badan Nasional Pencarian dan Pertolongan (Basarnas), Kamil menyebut, pejabat Eselon III di tempatnya bekerja mendapat tunjangan hari raya (THR) Rp 10 juta yang bersumber dari dana komando.
Kamil merupakan mantan Kepala Unit Layanan Pengadaan (ULP) ketika Basarnas dipimpin oleh Letnan Jenderal (Letjen) TNI Mar (Purn) Alfan Baharudin.
Ia dihadirkan sebagai saksi dugaan korupsi pengadaan truk angkut personel 4WD dan rescue carrier vehicle yang menjerat eks Sekretaris Utama (Sestama) Basarnas, Max Ruland Boseke.
Dalam persidangan itu, anggota Majelis Hakim Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat Alfis Setiawan mencecar Kamil terkait bagi-bagi THR hingga sembako di Basarnas. Sumbernya berbeda dari dana APBN.
“Bagi bagi begini boleh saja ya? Diperbolehkan” tanya Hakim Alfis di Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat, Kamis (2/12/2924).
“Izin, itu kebijakan Kabadan (Kabasarnas),” jawab Kamil.
Meski demikian, Kamil mengaku, tidak mengetahui penyampaian langsung dari Kabasarnas untuk membagi-bagikan THR.
Kamil mengaku tidak mengetahui berapa jumlah uang yang diterima Max. Menurutnya, hal itu hanya diketahui Max sendiri.
Adapun dirinya menerima bagian Rp 10 juta sebagaimana Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) pengadaan truk dan rescue vehicle karena masuk pejabat eselon III.
Menurutnya, pembagian uang THR itu hanya berjalan selama 2 tahun ketika Alfan menjabat Kabasarnas. Sebelumnya, tidak ada kebijakan membagi-bagikan uang.
“Izin enggak tahu (jatah Max), saya tahunya memang ditunjukin, ‘Oh saya Rp 10 juta, Pak Anjar Rp 10 juta untuk eselon III’, eselon IV kalau enggak salah Rp 7,5 juta,” tutur Kamil.
Hakim Alfis lantas mengulik sumber dana yang digunakan untuk dibagi-bagikan ke pejabat Basarnas.
Ia mengkonfirmasi apakah betul, uang tersebut berasal dari pengusaha-pengusaha yang memenangkan lelang di lingkungan Basarnas.
“Apakah memang benar yang mentransfer uang-uang itu adalah pihak yang sebagai pemenang setiap pengadaan di Basarnas?” tanya Hakim Alfis.
“Izin Yang Mulia, kami hanya membantu Pak Rudy Hendro Satmoko (Direktur Sarana dan Prasarana) karena yang berhubungan dengan peserta barang dan jasa ya beliau,” ujar Kamil.
Hakim Alfis tidak puas dengan jawaban tersebut. Sebab, materi yang ia tanyakan terkait sumber dana yang masuk ke rekening penampungan.
Dalam persidangan sebelumnya, dana dari perusahaan pemenang lelang disebut sebagai “dana komando”.
“Benar tidak dari para peserta lelang yang dinyatakan sebagai pemenang lelang pengadaan di Basarnas?” tanya Hakim Alfis.
“Iya,” jawab Kamil.
“Dari mereka semuanya kan? Ada beberapa perusahaan kan?” tanya Hakim Alfis lagi.
“Betul,” jawab Kamil.
Dalam perkara ini, Basarnas membeli sekitar 30 truk angkut personel 4 WD dengan pembiayaan Rp 42.558.895.000.
Padahal, dana yang sebenarnya digunakan untuk pembiayaan itu hanya Rp 32.503.515.000. Artinya, terdapat selisih pembayaran sebesar Rp 10.055.380.000.
Sementara itu, pembayaran 75 rescue carrier vehicle sebesar Rp 43.549.312.500 dari nilai pembiayaan sebenarnya Rp 33.160.112.500. Artinya terdapat selisih Rp 10.389.200.000.
Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) kemudian memasukkan selisih itu sebagai kerugian negara dalam Laporan Hasil Perhitungan Investigatif.
Jaksa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwa Max memperkaya diri sendiri Rp 2,5 miliar, memperkaya Direktur CV Delima Mandiri sekaligus penerima manfaat PT Trikarya Abadi Prima, William Widarta selaku pemenang lelang dalam proyek ini sebesar Rp 17.944.580.000.
Perbuatan mereka disebut merugikan keuangan atau perekonomian negara sebesar Rp 20.444.580.000.