Evakuasi Rakyat Gaza ke Indonesia

Evakuasi Rakyat Gaza ke Indonesia

GAGASAN Presiden Prabowo Subianto untuk lakukan ’evakuasi’ rakyat Gaza ke Indonesia menuai kontroversi di ranah publik Tanah Air.

Para pendukung berpandangan bahwa gagasan Prabowo merupakan catatan tambahan dukungan kongkret kepada Palestina, sebuah posisi dasar kebijakan luar negeri (foreign policy) Indonesia.

Bagi para penolak, gagasan ini justru dianggap mengikuti genderang rencana PM Israel Benjamin Netanjahu dan Presiden Amerika Serikat Donald Trump.

Mereka ingin melakukan ‘relokasi’ warga Gaza ke negara lain. Indonesia memang menjadi salah satu destinasi.

Donald Trump bahkan pernah mengeluarkan pernyataan dramatis. Bahwa kelak, setelah warga Gaza terelokasi, kawasan itu akan dijadikan “Riviera di Timur Tengah” - merujuk destinasi wisata resor pantai terkenal di Eropa.

Bagaimanakah kita menilai kontroversi di atas?

Pada saat rasa frustasi kita semakin memuncak atas ketidakmampuan dunia internasional menyudahi kebrutalan Israel terhadap bangsa Palestina, rencana berani dari pemimpin dunia Islam seperti Indonesia amat sangat dinanti. Minimal, bagi umat di Tanah Air.

Dengan kata lain, keberanian untuk bersikap tetap perlu diapresiasi dibanding tidak bersikap sama sekali.

Terlebih, jika merujuk pernyataan Presiden Prabowo, fokus ‘evakuasi’ adalah kepada warga Gaza yang memerlukan perawatan medis, termasuk anak-anak yatim piatu.

Para evacuees hanya akan ditempatkan di Indonesia untuk sementara waktu. Jika situasi Gaza sudah pulih, mereka harus kembali ke tanah kelahirannya.

Secara sepintas, gagasan ini terlihat mulia. Namun, mengapa tidak sedikit suara publik yang lantang menentang? Dari Majelis Ulama Indonesia (MUI), ormas Islam besar, akademisi, dan bahkan emak-emak di media sosial, kritikan keras mengalir deras.

Ada beberapa alasan yang dikemukakan kalangan penolak gagasan Prabowo. Pertama, mereka membaca ‘evakuasi’ sama saja dengan ‘relokasi’. Setali tiga uang.

Sekalipun Pemerintah memberikan klarifikasi bahwa gagasan Prabowo adalah ‘evakuasi’, bukan ‘relokasi’, para penolak sulit menerimanya. Perbedaan diksi ‘evakuasi’ dan ‘relokasi’ hanyalah semantik. Substansinya sejalan, selaras.

Para penolak memberikan pertanyaan retoris, apakah ada jaminan ribuan warga Gaza yang dievakuasi ke Indonesia akan bisa kembali ke tanah kelahirannya? Sementara tanda-tanda besarnya adalah Gaza dan bahkan Palestina akan sepenuhnya dijajah Israel.

Kedua, para penolak membaca rencana evakuasi atau relokasi adalah bagian dari ‘ethnic cleansing’ yang ujungnya perampasan penuh tanah Gaza oleh Israel.

Sejauh ini, hanya Gaza yang secara relatif tidak dijajah Israel. Karena di Tepi Barat, sekalipun di sana ada pemerintahan Otoritas Palestina, secara realita mereka hidup dalam penjajahan.

Dalam konteks di atas, gagasan ‘evakuasi’ Prabowo justru terlihat kongruen atau sebangun dengan rencana Netanyahu dan Trump. Indonesia ikut menari dalam koreografi duo musuh besar peradaban abad ini.

Ketiga, ada juga dari kalangan penolak yang menyatakan bahwa Prabowo menggagas evakuasi karena mendapat tekanan AS akibat kebijakan tarif Donald Trump.

Para penolak berargumen, Prabowo tidak tulus ingin membantu. Prabowo dianggap ingin aman, menyelamatkan diri sendiri atau setidaknya kalangan bisnis di Indonesia.

Bagaimanakah sebaiknya kita menyikapi posisi diametral khususnya antara orang nomor satu di Indonesia dan publik kritis di Tanah Air?

AFP/OMAR AL QATTAA Pemandangan dari atas memperlihatkan warga Palestina mengungsi kembali ke kamp pengungsi Jabalia yang hancur akibat perang di Jalur Gaza utara pada 19 Januari 2025, sesaat sebelum kesepakatan gencatan senjata Gaza dalam perang Israel-Hamas dilaksanakan.Sejatinya, hal yang sebaiknya dilakukan terlebih dahulu adalah konsultasi dengan rakyat Indonesia. Palestina, khususnya Gaza, adalah isu internasional paling sensitif bagi publik di Tanah Air.

Tatkala Presiden Prabowo melemparkan gagasan ‘evakuasi’ hanya pada menit-menit terakhir sebelum mengadakan lawatan ke lima negara di kawasan Timur Tengah, publik justru tercengang.

Publik akhirnya beranggapan bahwa presiden mereka hanya ingin ‘berkonsultasi’ dengan pemimpin negara lain, bukan dengan rakyatnya.

Padahal, tidak sulit bagi Istana Presiden untuk mengundang para tokoh pimpinan MUI, ormas, akademisi berpengaruh, dan lain-lain. Dalam konteks kebijakan publik, hal ini bukanlah ‘ilmu roket’.

Jika kita lihat opini di media massa maupun sosial, berbagai elemen masyarakat Indonesia sebenarnya memiliki pandangan yang sangat logis.

Salah satunya – hal ini sudah pernah saya sampaikan di sejumlah media massa – bahwa yang sangat dibutuhkan oleh rakyat Gaza adalah bantuan militer dan kemanusiaan.

Di saat dunia internasional gagal menyelamatkan warga Gaza, harapan terakhir mereka adalah bantuan negara sahabat. Indonesia tentu dipandang Palestina sebagai salah satu negara sahabat, bahkan sahabat dekat.

Adapun bantuan yang diharapkan warga Gaza dari Indonesia adalah intervensi militer dan kemanusiaan. Bukan evakuasi, apalagi relokasi.

Tentu muncul pertanyaan, jika Indonesia mengirimkan pasukan TNI ke Gaza tanpa mandat dari Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), misalnya, apakah memungkinkan secara hukum internasional?

Sebenarnya, dalam kasus penjajahan atas Palestina dan khususnya genosida di Gaza, multilateralisme dan hukum internasional sudah mati suri.

Apa yang dipertontonkan Israel dan didukung oleh AS, adalah pengangkangan paling telanjang atas multilateralisme (PBB) dan hukum internasional.

Bahkan, jika ditambahkan dengan kebijakan tarif Donald Trump yang sensasional, multilateralisme sudah ditinggal jauh di belakang.

Dengan kata lain, bantuan kepada Palestina pada kondisi kritis saat ini hanya dapat dilakukan secara bilateral.

Sederhananya, meminjam pandangan di berbagai forum media sosial, Presiden Prabowo seharusnya menerjunkan ke Gaza ribuan personel, terdiri dari prajurit TNI, tenaga medis, dan paramedis.

Tidak perlu menjadi jenius, saran tersebut paling logis. Prajurit militer diperlukan untuk melawan gempuran tentara Israel.

Adapun tenaga medis dan paramedis untuk memberikan penanganan langsung kepada para korban, seperti yang diinginkan Prabowo.

Keberadaan prajurit militer tambahan di Gaza – selain para pejuang internal mereka Brigade Al Qassam dari Hamas – diperlukan untuk memberikan rasa aman. Karena jika keamanan tercipta, barulah tugas-tugas kemanusiaan dapat dijalankan dengan maksimal.

Gagasan pengiriman personel militer, tenaga medis, dan paramedis ke Gaza besar kemungkinan akan mendapatkan dukungan mayoritas publik di Tanah Air. Bahkan, andaikan dibuka ‘lowongan’ kepada publik, para daftar akan membludak.

Netanjahu dan Trump tentu akan menolak gagasan intervensi militer dan kemanusiaan di Gaza. Pertanyaannya, apakah Indonesia dan bahkan dunia sudah terlalu takut dengan mereka? Sebagian rakyat di Israel dan AS sekalipun sudah muak dengan keduanya. Wallahu a’lam.

Sumber