Fenomena No Contact, Seberapa Mengkhawatirkan?

Fenomena No Contact, Seberapa Mengkhawatirkan?

Menjadi orangtua adalah sebuah penyesalan. Khususnya bagi orangtua seorang netizen yang ingin mengakhiri hubungannya dengan ibunya alias no contact. Pengguna Tiktok yang berasal dari Indonesia tersebut meminta pendapat kepada salah satu tiktoker yang menjadi narasumber soal komunikasi antara orangtua dan anak. Sang narasumber kemudian menceritakan pengalamannya sendiri bagaimana hubungan dengan ibunya yang tidak biasa. Intinya, ada problem yang terjadi diantara mereka. Namun dia tetap menyarankan untuk tetap menghormati ibu yang telah melahirkan ke dunia fana ini.

Di Amerika, fenomena no contact dalam konteks memutus hubungan (komunikasi) dengan orangtua semakin menjadi tren. Hal ini tampak di sebuah artikel di Majalah The New Yorker yang judulnya Why So Many People Are Going ‘No Contact’ with Their Parents yang ditulis oleh Anna Russell. The New Yorker menetapkan tulisan ini sebagai artikel terbaik 2024.

Dalam artikel itu disebutkan seorang mahasiswa bernama Amy yang mulai mempertanyakan nilai-nilai yang telah diajarkan sejak kecil oleh orangtuanya. Mereka berdebat. Selain perbedaan nilai-nilai keluarga yang dianggapnya kini tidak cocok, Amy juga mempertanyakan soal keyakinan, soal orientasi seksual, dan lainnya. Orangtua beranggapan anak gadisnya yang dulu manis, kini telah berubah menjadi pembangkang.

Hubungan keduanya menjadi renggang dan dianggap tidak sehat. Dia pun kemudian jadi jarang berkunjung ke rumah. Beberapa tahun terakhir, fenomena ini mulai mendapatkan dukungan dari kalangan yang senasib. Sehingga no contact pelan-pelan dianggap normal.

No contact di Indonesia

Agak lain dengan konteks di atas, di Indonesia, sebenarnya no contact dengan keluarga tampaknya lebih alami dan dilakukan secara tidak sengaja. Beberapa orang melakukan secara tidak sadar karena berbagai alasan.

Ketika membuka aplikasi Tiktok, sering sekali muncul di beranda saya orang-orang yang kehilangan kontak dengan ayah, ibu, anak, atau saudaranya selama berpuluh-puluh tahun. Dia mem-posting foto video orang yang dimaksud lengkap dengan ciri-cirinya dan biografi singkatnya. Beberapa orang bahkan lebih ekstrem mencari teman sekolah, teman kuliah, teman kerja yang telah tidak berkomunikasi selama puluhan tahun. Buat apa?

Waktu terus berubah dengan cepat, banyak hal telah terjadi pada kehidupan seseorang. Mungkin dulu dia memang bestie, tapi waktu bisa mengubah nilai-nilai dan pandangan hidup seseorang. Ingin mengulang romantisasi masa lalu tentu adalah hal yang tidak relevan.

No contact juga sering terjadi pada kaum urban. Banyak orang pergi merantau ke tanah yang dijanjikan dan terpaksa meninggalkan orangtuanya di kampung halaman. Beberapa tahun mengadu nasib di tempat baru, pelan-pelan ia melupakan orangtuanya. Karena kesibukannya dari pagi sampai pagi, jangankan pulang untuk menjenguk, menelepon menanyakan kondisinya hari ini –dan yang lebih penting memperhatikan kesehatan dan kesejahteraan orangtuanya– saja tidak pernah.

Beragam Alasan

Beberapa orang melakukan kontak dengan orangtuanya hanya setahun sekali, saat Lebaran tiba. Beberapa yang lain tidak pernah melakukan kontak sejak ia meninggalkan kampung halaman sampai orangtuanya meninggal.

Seperti yang dialami tetangga saya. Pasangan lansia yang ditinggal pergi 8 anaknya merantau. Setiap Lebaran, pagi-pagi sudah datang bertamu untuk bermaaf-maafan. Lalu curhat betapa bahagianya ketika Lebaran bisa berkumpul dengan semua anggota keluarga. Seperti yang terjadi di keluarga-keluarga lain. Dengan nada masygul dia berucap, mungkin anak-anaknya sudah lupa jalan untuk pulang.

Di keluarga yang lain, terjadi no contact yang lebih tragis. Selama berpuluh-puluh tahun merantau mengejar sukses, ia tak pernah berbagi kabar dengan orangtuanya. Setiap ditelepon ia menghindar dengan alasan sibuk. Ketika dikabari orangtuanya sakit, ia malah menjawab bahwa dirinya telah mengikhlaskan kepergian orangtuanya.

Satu lagi seorang tetangga juga mengalami no contact dengan anaknya karena alasan perceraian. Anak single parent tersebut tidak pernah berkomunikasi lagi dengan ayah kandungnya. Apalagi men-support dalam bentuk materi. Dan, ini tampaknya telah dinormalisasi. Saya sendiri juga mengalami. Tidak pernah berkomunikasi dengan kakak tertua yang tinggal di Lampung. Sampai dia meninggal dunia. Berkomunikasi dilakukan hanya saat dia pulang kampung.

Teror yang Menjengkelkan

Fenomena no contact yang terjadi selain disebabkan soal perbedaan keyakinan seperti yang dialami Amy, alasan lainnya adalah adanya perubahan nilai dan tradisi. Sudah menjadi tradisi bahwa banyak kaum baby boomer yang ‘kepo’ dengan urusan orang lain. Salah satunya tentu saja soal kapan nikah, kapan punya adik, kapan beli mobil, kapan punya mantu, kapan punya cucu.

Teror-teror yang tidak disadari itu jika dilakukan terus-menerus akan menjengkelkan, dan no contact menjadi solusi terbaik. Daripada kejadian seperti di Tapanuli Selatan terulang; pemudah berusia 45 tahun membunuh tetangganya karena kesal, sering ditanya kapan nikah.

Di Indonesia masyarakatnya masih menjunjung tinggi budaya atau adat masa lalu. Contohnya menghormati orang yang lebih tua masih dipegang sangat kuat. Apalagi di kampung-kampung. Namun generasi Alpha atau generasi muda saat ini mulai menganggapnya tidak penting. Perbedaan pandangan ini bisa memicu konflik yang tidak bisa terselesaikan. Dinamika keluarga yang toksik bisa membuat seseorang memilih untuk memutuskan kontak demi menjaga kesehatan mentalnya.

Hal tersebut mendapatkan dukungan di media sosial dan komunitas online. Mereka memberikan dukungan dan validasi kepada individu yang memilih jalur no contact. Mereka tidak sendiri dan ada banyak orang lain yang membuat keputusan serupa.

Perpindahan ke kota besar atau ke luar negeri untuk pekerjaan atau pendidikan juga sering membuat hubungan dengan keluarga menjadi renggang. Hal ini, jika digabungkan dengan konflik keluarga, dapat memperkuat keputusan untuk memutuskan kontak secara permanen.

Keluhan Orangtua

Generasi muda di Indonesia mulai menunjukkan kecenderungan yang lebih individualistis, dengan penekanan pada kebahagiaan pribadi dan pencapaian individual, yang bisa bertentangan dengan nilai-nilai kolektif tradisional yang mengutamakan keluarga.

Orangtua yang mempunyai anak remaja saat ini banyak yang mengeluhkan bagaimana sulitnya mereka menghubungi anak-anaknya dengan cara menelepon. Bukan karena sibuk atau alasan lain, namun karena anak-anak lebih nyaman berkomunikasi dengan cara berkirim pesan di Whatsapp.

Karena bertelepon dianggap mengganggu kenyamanan. Anak-anak ketika menerima telepon, mereka harus fokus melakukan pembicaraan, tidak bisa sambil mengerjakan hal lain. Ini berbeda ketika mereka berkomunikasi melalui aplikasi percakapan yang bisa dikerjakan sekalian mengerjakan tugas-tugas lain. Kalau orangtua terus memaksakan diri, bukan tidak mungkin no contact akan terjadi.

Menurut seorang pakar psikologi, "Dalam beberapa kasus, keputusan untuk memutuskan kontak dengan keluarga adalah cara individu untuk menyelamatkan dirinya dari lingkungan yang merugikan. Ketika upaya untuk memperbaiki hubungan tidak berhasil dan terus menimbulkan stres atau trauma, pilihan untuk no contact bisa menjadi langkah terakhir yang sehat." (Psikologi Perkembangan Keluarga, 2023)

Jadi, sebagai orangtua atau anak saat ini harus lebih bisa berkompromi agar no contact tak pernah terjadi.

Fenomena no contact ini menunjukkan betapa kompleksnya dinamika keluarga pada era modern. Banyak faktor yang berkontribusi, mulai dari perbedaan nilai hingga konflik yang tak kunjung usai. Namun, dengan komunikasi yang baik dan upaya bersama, hubungan keluarga yang renggang bisa diperbaiki. Pada akhirnya, setiap individu harus menemukan keseimbangan antara menjaga hubungan keluarga dan menjaga kesehatan mental mereka sendiri.

Karmin Winarta kolumnis

Sumber