Formappi Ungkap 27 Anggota Dewan Pilih Mundur demi Maju Pilkada

Formappi Ungkap 27 Anggota Dewan Pilih Mundur demi Maju Pilkada

JAKARTA, KOMPAS.com - Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengungkapkan bahwa fenomena Pergantian Antar Waktu (PAW) anggota DPR terpilih banyak terjadi pada awal periode DPR 2024-2029.

Peneliti Formappi Lucius Karus menyatakan, sebanyak 45 anggota DPR terpilih dalam Pemilu Legislatif 2024 telah dan sedang dalam proses PAW.

Dari jumlah tersebut, 27 anggota DPR terpilih memilih mundur untuk maju dalam Pilkada 2024.

"Sebanyak 27 anggota DPR terpilih memilih mundur karena ingin berpindah haluan menjadi kepala daerah," kata Lucius dalam Konferensi Pers Evaluasi Kinerja DPR Masa Sidang I Tahun Sidang 2024-2025 secara virtual, Minggu (8/12/2024).

Lucius juga menjelaskan bahwa delapan anggota DPR memilih mundur karena ditunjuk oleh Presiden untuk bergabung dalam Kabinet Merah Putih, yang terdiri dari enam menteri, satu wakil menteri, dan satu kepala badan.

Sementara itu, satu anggota DPR lainnya memilih mundur setelah lolos menjadi anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), yaitu Fathan Subchi.

"Enam anggota lainnya mundur karena beragam alasan, mulai dari diberhentikan oleh partai, diminta mundur oleh partai, melakukan pelanggaran pemilu, hingga bersengketa dengan partai," tambahnya.

Serta, tiga anggota DPR lainnya meninggal dunia.

Lucius mencatat bahwa Fraksi Golkar menjadi yang terbanyak dalam proses PAW dengan sepuluh anggota.

Disusul oleh PDI-P dan Gerindra yang masing-masing memiliki sembilan anggota PAW.

Nasdem dan PKB masing-masing memiliki enam anggota, Demokrat dengan empat anggota, dan satu anggota dari PKS.

Menurut Lucius, tingginya angka PAW sebelum dan setelah pelantikan anggota DPR menunjukkan bahwa menjadi anggota DPR bukanlah prioritas utama bagi partai maupun anggota terpilih.

"DPR hanya dianggap sebagai tempat transit kader sambil menanti tawaran jabatan di lembaga lain, secara khusus lembaga eksekutif," tuturnya.

Lucius juga menyoroti bahwa dalam beberapa kasus, kekuasaan elite partai yang cenderung otoriter memaksa proses pergantian anggota DPR terpilih dengan figur yang disukai partai politik, sehingga pilihan rakyat sering kali diabaikan demi kader favorit partai.

"Praktik ini sesungguhnya mendegradasi makna suara rakyat melalui Pemilu langsung," ucapnya.

Sumber